Penyebaran Covid-19 meluas ke sejumlah daerah. Hal itu disebabkan keterlambatan karantina di episenter wabah dan lambatnya penapisan atau pemeriksaan terhadap mereka yang berisiko terinfeksi.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Para penumpang yang akan pulang ke kampung halaman antre memasukkan barang bawaan ke dalam bagasi bus di pusat agen bus antarkota antarprovinsi (AKAP) Pondok Pinang, Jakarta Selatan, Kamis (26/3/2020). Saat masa tanggap darurat pandemi korona ini, banyak warga perantauan di Jabodetabek memilih pulang ke kampung halaman dengan menggunakan bus.
Keterlambatan karantina di episenter wabah dan lambatnya penapisan menyebabkan Covid-19 semakin meluas ke sejumlah daerah. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena bisa melumpuhkan layanan kesehatan jika terjadi ledakan kasus secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kekhawatiran itu dikemukakan Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indoseia (IDI) Adib Khumaidi dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (26/3/2020). ”Kami tidak ingin berpolitik, tetapi kondisi saat ini mengkhawatirkan. Layanan kesehatan bisa lumpuh kalau arus wabah meledak di mana-mana,” ujarnya.
Anjuran untuk isolasi mandiri tanpa ketegasan dan sanksi tidak berhasil membendung arus deras orang untuk meninggalkan Jabodetabek yang menjadi episenter wabah coronavirus disease 2019 (Covid-19). Menurut Adib, banyak orang yang mudik membawa virus karena sebagian besar orang yang terinfeksi hanya disertai dengan gejala ringan, bahkan asimtomatis. Situasi ini menyebabkan banyak kasus positif di daerah-daerah dan memicu lokal tranmisi, seperti terjadi di Subang dan Indramayu serta sejumlah daerah lain.
”Jadi, strategi kita untuk menahan pandemi ini apa? Apakah mau meniru Korea Selatan? Memang mereka tidak lockdown (karantina). Namun, mereka melakukan pemeriksaan besar-besaran dan melacak riwayat kontak. Masalahnya, kita juga tidak melakukan itu,” kata Adib.
Negara lain yang tidak melakukan penguncian total atau lockdown adalah Taiwan. Namun, mereka juga melakukan pelacakan riwayat kontak dan pemeriksaan massal. Kemampuan pemeriksaan Covid-19 di seluruh Indonesia dengan menggunakan analisis PCR saat ini hanya berkisar 350-600 per hari. Sementara itu, Korsel bisa melakukan pemeriksaan hingga 10.000 spesimen per hari.
Sejauh ini, Korsel telah melaksanakan tes terhadap 350.000 orang atau 7.000 tes per sejuta penduduk dan menemukan 9.314 kasus positif (2,6 persen). Singapura melakukan 39.000 tes atau 6.800 tes per sejuta penduduk dan menemukan 558 kasus (1,42 persen). Adapun Indonesia baru melakukan 3.332 tes atau 12 tes per sejuta penduduk dan menemukan 686 kasus (20 persen).
Beban di hulu
”Kami sebagai dokter berada di hilirnya, yaitu menangani pasien. Namun, jika di hulunya, yaitu penghentian sebaran ini, tidak dilakukan, beban di hilir akan sangat besar sehingga tidak bisa ditangani lagi. Karantina wilayah episenter sebenarnya bisa membantu menahan sebaran wabah ke daerah lain,” ujarnya.
Tri Maharani, dokter spesialis emergensi, pengurus Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia (Perdamsi), menambahkan, kapasitas tenaga medis di daerah sangat terbatas sehingga akan kesulitan menghadapi membeludaknya pasien. Apalagi, hingga saat ini tenaga medis masih bergulat dengan keterbatasan alat pelindung diri.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Petugas pemadam kebakaran membantu penyemprotan disinfektan untuk mengantisipasi penyakit Covid-19 di lingkungan SDN 05 dan 03 Petukangan Selatan, Jakarta Selatan, Kamis (26/3/2020). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperpanjang kegiatan belajar di rumah bagi pelajar sampai 5 April 2020.
Menurut dia, jumlah dokter yang meninggal karena Covid-19 juga terus bertambah. Hari Kamis (26/3/2020), setidaknya ada dua dokter meninggal sehingga total keseluruhan ada 10 dokter yang meninggal. ”Kita termasuk yang kehilangan tenaga medis paling banyak. Jangan lagi ada tenaga medis yang melayani pasien dengan gejala korona tanpa dilengkapi alat pengaman diri,” kata Tri.
Masalahnya, kata Adib, sejumlah pasien sengaja menyembunyikan gejala korona. ”Jadi, ada pasien yang datang mengeluhkan sakit lambung bawah dan saat mau dioperasi usus buntu ternyata ditemukan pneumonia di parunya, yang diduga korona. Ini sangat membahayakan medis,” ujarnya.
Adib juga berharap pemerintah lebih terbuka dengan data pasien yang meninggal untuk kepentingan penanganan. ”Kami belum dapat data dari pemerintah, yang meninggal sekarang rata-rata di usia berapa? Apakah ada faktor penyakit lain yang memperberat? Apakah ada kontak pasien? Atau karena ada penyebab lain. Data ini sangat penting untuk mempelajari karakteristik Covid-19 ini di Indonesia. Bisa jadi karakter virus di Indonesia berbeda dengan di China atau di negara lain,” katanya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 26 Maret 2020