Kapitalisme Institusi Akademik

- Editor

Senin, 12 September 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

PEMBERIAN gelar doktor honoris causa(DR HC) oleh Universitas Indonesia (UI) kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz mengundang kontroversi dan perhatian publik. Banyak pihak menentang pemberian gelar kehormatan itu, termasuk dari UI, di antaranya dan  paling keras adalah Emil Salim, guru besar Fakultas Ekonomi. Profesor sepuh yang santun itu sampai mengatakan UI is not for sale. Kalau seorang Emil Salim sampai ikut turun tangan tentu ini karena persoalannya dianggap sangat serius.

Sangat mungkin persoalan itu tidak hanya menyangkut prosedur tetapi ada hal yang jauh lebih mendasar, mengingat aturan pemberian gelar doktor honoris causa oleh perguruan tinggi sudah diatur dalam UU Sisdiknas. Lebih dari itu, persoalan serupa tidak hanya terjadi  di UI.Tulisan singkat ini tidak membahas seputar aturan pemberian gelar tersebut tetapi mencoba melihat motif pemberian gelar itu, yang tampaknya menjadi tren bagi perguruan tinggi di Indonesia saat ini.

Secara tersurat, motif pemberian gelar iru sudah disampaikan oleh Rektor UI Gumilar R Somantri. Tetapi sebagaimana spirit yang tertuang dalam UU Sisdiknas, alasan kelayakan suatu penganugerahan gelar harus dipenuhi. Seandainya syarat kelayakan dan prosedur sudah terpenuhi secara obyektif pun, pertanyaan lain masih tersisa, yakni adakah motif lain di luar dari yang diungkapkan secara resmi, misalnya motif politik, komersial, atau yang bersifat transaksional? Apakah karena motif lain itu sehingga Emil Salim sampai mengatakan,’’UI is not for sale.’’Saya merasa tidak pantas mengomentari apa yang terjadi di UI, saya lebih memilih  pertanyaan reflektif,’’ Pelajaran berharga apa yang dapat dipetik dari kasus itu?’’

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Memberikan gelar kehormatan, termasuk DR HC oleh perguruan tinggi kepada seseorang adalah hal yang wajar. Namun, karena penganugerahan itu adalah suatu penghormatan kepada seseorang dan kehormatan bagi penerima, tentu sangat ideal jika dasar pemberian gelar itu semata-mata karena jasa besar dari si penerima.

Berbeda Pendapat

No pay, no gain. Katakanlah pendekatan itu  bisa diterima sebagai  suatu kewajaran maka  pertanyaannya kemudian adalah kemanfaatan  apa yang dianggap sebagai suatu kepantasan sehingga anugerah itu patut diterima, dan  pemberi penghargaan nantinya tidak kecele. Misalnya, penerima gelar itu justru melakukan tindakan tidak terpuji di mata publik, atau hilang ’’ditelan bumi’’, sebab umumnya gelar tersebut diberikan kepada tokoh yang secara umum sudah dikenal masyarakat, setidaknya masyarakat akademik.

Untuk menghindari atau setidaknya mengurangi kemungkinan ketidakpantasan tersebut, maka organ-organ perguruan tinggi perlu mengambil peran dan berani melakukan assessment secara objektif. Hal lain yang juga perlu dihindari adalah jangan sampai pemberian gelar hanya akan dijadikan amunisi tambahan oleh penerima gelar untuk tujuan yang tidak ada kaitannya dengan pengembangan perguruan tinggi dan masyarakat.

Apapun pertimbangannya, pemberian gelar DR HC dengan menggunakan pendekatan transaksional, apalagi komersial, tetaplah tidak patut. Kekhawatiran masyarakat, kalau tidak boleh dikatakan kecurigaan, bahwa pemberian gelar DR HC bukan karena alasan akademik seolah-olah sudah terwakili oleh ’’Tajuk Rencana’’Suara Merdeka edisi Selasa, 6 September 2011.

Apa yang ditulis dalam ’’Tajuk Rencana’’ itu seharusnya dilihat sebagai rasa memiliki masyarakat atas institusi terhormat: perguruan tinggi, agar tidak makin terdegradasi dan terdemoralisasi lebih jauh. Jangan sampai terjadi suatu saat, karena kekuatan ekonomi atau politik, ada pihak yang merasa pantas meminta gelar DR HC hanya karena telah mengucurkan uang mereka kepada institusi perguruan tinggi.

Apalagi sekarang banyak pihak luar dengan mengatasnamakan tanggung jawab sosial perusahaan membantu perguruan tinggi. Mungkin saya terlalu berani untuk mengatakan kapitalisme secara sistematis mulai menggerayangi institusi akademik yang bukan tidak mungkin bisa menjadi invisible driver. Untuk itu, ada baiknya kita yakini benar apa yang dikatakan Emil Salim; institusi perguruan tinggi seharusnya mampu mempertahankan nurani dan kemerdekaan untuk berbeda pendapat tetap sebagai roh yang menjiwai insan-insan di dalamnya. (10)

FX Sugiyanto, guru besar Fakultas Ekonomi Undip

Sumber: Suara Merdeka, 8 September 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 4 Juli 2025 - 17:25 WIB

Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia

Berita Terbaru

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB