Pada awal April 2018 ini Kementerian Perindustrian meluncurkan “Making Indonesia 4.0” yang berisi peta jalan revolusi industri 4.0 di Indonesia. Peristiwa ini bagian dari upaya merespons apa yang ditulis Klaus Schwab dalam The Fourth Industrial Revolution (2017).
Kalau peta jalan industrialisasi telah tersusun, bagaimana dengan peta jalan pendidikan tinggi untuk merespon Revolusi Industri 4.0? Bagaimana posisi perguruan tinggi (PT) dalam peta perubahan ini dan bagaimana strategi adaptasi terhadap perubahan ini?
Kini kita telah berada di era Revolusi Industri 4.0 yang, menurut Klaus Schwab, sungguh berbeda dari era sebelumnya. Revolusi Industri 1.0 dicirikan tumbuhnya mekanisasi dan energi berbasis uap dan air. Revolusi Industri 2.0 dicirikan berkembangnya energi listrik dan produksi massal. Revolusi Industri 3.0 dicirikan tumbuhnya industri berbasis elektronika, teknologi informasi, serta otomatisasi. Revolusi Industri 4.0 dicirikan dengan berkembangnya Internet of/for Things yang diikuti teknologi baru dalam data sains, ke- cerdasan buatan, robotik, cloud, cetak tiga dimensi, dan teknologi nano, yang telah mendisrupsi inovasi-inovasi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan perkembangan teknologi tersebut, kini orang bisa berjualan tanpa harus punya toko. Orang bisa berbisnis taksi tanpa harus punya mobil. Kondisi inilah yang telah membuat hilangnya sejumlah pekerjaan. Namun, sebenarnya era baru ini telah menciptakan berbagai jenis pekerjaan baru yang menggantikan pekerjaan lama. Di AS, ada 3.508 yang hilang tapi ada 19.263 jenis pekerjaan baru yang dibuat. Sementara pada tingkat global, ada sekitar 75 juta hingga 375 juta pekerja perlu beralih ke pekerjaan baru dengan keahlian baru (Global Institute Analysis Mc Kinsey, 2017).
Dinamika perubahan di atas semakin tak terelakkan. Namun, persoalannya, percepatan perubahan teknologi lebih tinggi daripada apa pun, khususnya kultur, kebijakan publik, riset, maupun pendidikan. Inilah yang dalam sosiologi dikenal dengan istilah kesenjangan budaya, yang menunjukkan bahwa perubahan kebudayaan material belum diikuti oleh kebudayaan non-material. Pertanyaannya, apakah PT akan mampu beradaptasi?
Dampak dan Strategi
Di mana posisi PT dalam empat tahapan revolusi industri di atas? Secara kasat mata tampaknya kebanyakan PT di Indonesia belum masuk dalam pola pikir Revolusi Industri 4.0. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah ciri konvensionalnya dalam keilmuan dan riset, kurikulum, metode dan teknologi pembelajaran, manajemen organisasi dan proses bisnisnya.
Dengan melihat ciri-ciri tersebut bisa jadi PT kita masih pada zona Revolusi Industri 3.0. Namun, kehidupan sehari-hari dosen dan mahasiswanya mungkin sudah memasuki era 4.0, di mana konektivitas sudah makin tak berjarak, melek media sosial, bisa memanfatkan teknologi kecerdasan buatan, menyenangi realitas virtual, cenderung aktif membaca media daring, dan mulai aktif dalam bisnis daring.
Persoalannya, kehidupan keseharian tersebut belum sepenuhnya mampu ditransformasikan ke dalam praktik secara institusional PT. Dengan demikian sebenarnya ada kesenjangan antara pola kehidupan personal dengan institusi PT. Secara personal sebagian sudah mencirikan generasi Revolusi Industri 4.0, tapi secara institusi masih berciri tahap Revolusi Industri 3.0. Pertanyaannya, langkah apa yang mesti dilakukan PT untuk bisa segera memasuki era 4.0 ini?
Faktor disrupsi tak hanya bertumpu pada perubahan teknologi akibat Revolusi Industri 4.0, tetapi juga perubahan struktur demografi, perubahan iklim, globalisasi, serta perubahan peta geopolitik. Oleh karena itu, strategi PT menghadapi disrupsi mestinya juga memerhatikan sejumlah faktor tersebut.
Beberapa langkah penting
Ada beberapa langkah penting sebagai berikut. Pertama, perubahan pola pikir atau orientasi PT dari “konsumen” ke “produsen” dalam bentuk karya ide, pemikiran, pengetahuan, teori atau barang. Perubahan ini akan tercermin dari neraca aktivitas keseharian kita: apakah akan lebih diwarnai aktivitas mengunggah (upload) atau mengunduh (download). Seringnya kita mengunggah akan jadi bukti bahwa kita adalah pemain di era disrupsi ini. Selama ini kita hanya penonton perubahan dengan lebih banyak aktivitas mengunduh.
Di sinilah mestinya PT memiliki orientasi mengunggah dengan memperbanyak karya riset dan inovasi untuk menginspirasi dan memberi manfaat bagi publik, baik pada level lokal maupun global. PT dari hasil risetnya mampu memproduksi pengetahuan dan teori baru sehingga memberi warna bagi ilmu pengetahuan dunia. Perubahan orientasi ini penting seiring harapan publik sejak dulu yang menganggap PT adalah sumber perubahan, penentu kecenderungan, dan bukan penonton perubahan. Mestinya PT bisa berciri 5.0 di saat industri baru memasuki 4.0.
Kedua, pengembangan keilmuan baru yang lebih transdisiplin dan peta jalan riset yang responsif terhadap Revolusi 4.0 dan faktor disrupsi lainnya. Ilmu data, kecerdasan buatan, drones, robotik, teknologi nano, kompleksitas dan sustainability sciences perlu didorong. Dalam pertanian, pertanian presisi melalui smart agriculture and fisheries harus dikembangkan. Di sinilah diperlukan program studi atau peminatan baru yang mengenalkan keilmuan baru. Namun, dimensi kemanusiaan tetap harus mewarnai sejumlah inovasi..
Ketiga, transformasi kurikulum yang adaptif terhadap tumbuhnya generasi milenial dan tantangan disrupsi. Di sinilah perlu integrasi dan harmonisasi kurikulum dengan ekstra kurikuler yang mampu memperkuat karakter, kompetensi, dan soft skill mahasiswa yang kompatibel dengan tuntutan perubahan. Di era disrupsi ini, soft skill milenium dan jiwa kewirausahaan harus diperkuat karena jiwa inilah yang akan dapat mendukung orientasi sebagai “produsen”. Mahasiswa perlu dirangsang untuk mengembangkan bisnis rintisan (start up).
ARIF SATRIA, REKTOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Sumber: Kompas, 19 April 2018