Jembatani Kesenjangan antara Ilmuwan dan Publik

- Editor

Kamis, 12 April 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Komunikasi risiko ke publik menjadi tantangan berat di kalangan ilmuwan. Media dituntut berperan dengan menyampaikan informasi yang mendidik.

Persoalan yang muncul setelah paparan hasil penelitian tentang potensi tsunami di selatan Jawa menunjukkan adanya kesenjangan pengetahuan antara ilmuwan dan publik. Hal ini menuntut edukasi tentang risiko dengan bahasa yang mudah dimengerti publik. Media massa bisa berperan dengan pemberitaan yang akurat dan lebih fokus untuk mendorong upaya kesiapsiagaan.

Demikian terungkap dalam pertemuan antara akademisi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Polda Banten dan Polres Pandeglang, serta masyarakat Pandeglang, di Jakarta, Rabu (11/4/2018). Pertemuan ini diinisiasi oleh Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Gap (kesenjangan) terjadi antara ilmuwan dengan masyarakat, penegak hukum, dan juga media. Ini yang perlu dikomunikasikan dengan baik,” kata Sekretaris Jenderal IABI, Lilik Kurniawan.

Dalam seminar ilmiah di BMKG, 3 April 2018, peneliti BPPT Widjo Kongko memaparkan hasil kajiannya dari pemodelan potensi tsunami di Jawa bagian barat. Salah satunya menyebutkan, potensi ketinggian tsunami di pesisir Pandeglang, Banten bisa mencapai 57 meter. Berita ini ditulis media daring dengan menyebutkan BPPT memprediksi tsunami 57 meter di Pandeglang.

Dalam pertemuan ini, Ketua Paguyuban Nelayan Pandeglang, Nawawi mengatakan, dampak pemberitataan ini memicu kepanikan di masyarakat pesisir. Berita kemudian disebar melalui sosial media. Masyarakat mengira bahwa tsunami 57 meter akan segera terjadi sehingga ada yang sudah mengungsi.

Perekayasa BPTT Udrekh mengatakan, kepanikan di masyarakat dipicu kesalahan pengutipan media. Oleh karena itu, dia berharap media bisa lebih bijak menyampaikan informasi dari ilmuwan dan tidak membuat tafsir sendiri.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Banten Komisaris Besar Abdul Karim mengatakan, penyelidikan awalnya dilakukan karena melihat keresahan di masyarakat dan terganggunya investasi. “Harus juga dilihat sebelumnya kami juga menyelidiki penyebaran hoaks akan terjadinya tsunami,” kata dia.

Karim mengatakan tidak bermaksud mengkriminalisasi ilmuwan. Apalagi sudah ada klarifikasi dan hak jawab Widjo Kongko di media daring dan pengakuan kesalahan pengutipan oleh media terkait. Peristiwa ini sebaiknya diselesaikan di Dewan Pers.

Karim meminta, ke depan penelitian tsunami tidak harus menyebut nama daerah agar tidak menimbulkan kepanikan.

Sekurat mungkin
Namun, Jan Sopaheluwakan, profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, ilmuwan justru dituntut menampilkan seakurat mungkin daerah-daerah berpotensi terdampak.

Hal ini dibutuhkan untuk kepentingan mitigasi. Upaya mengomunikasikan risiko ke masyarakat memang tidak mudah, tetapi harus dilakukan. Ini yang juga terjadi saat sosialisasi di Padang sebelum gempa Aceh 2004.

Sekalipun upaya mediasi telah mempertemukan sejumlah pihak, tetapi media daring yang diundang dan Widjo Kongko tidak hadir. Widjo mengikuti pertemuan BPPT dengan Komisi VII DPR.

Secara terpisah, Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, AIPI sangat prihatin jika kajian ilmiah dipidanakan. Sebab, penelitian atau kajian ilmiah yang hakiki bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

Karena itu, kebenaran ilmiah tidak dapat dipidanakan, tetapi dapat disanggah oleh kajian ilmiah berikutnya. “Tugas peneliti adalah menemukan kebenaran ilmiah untuk kepentingan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan pemerintah,” katanya.–AHMAD ARIF DAN ESTER LINCE NAPITUPULU

Sumber: Kompas, 12 April 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma
Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa
Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap
Di Balik Lembar Jawaban: Ketika Psikotes Menentukan Jalan — Antara Harapan, Risiko, dan Tanggung Jawab
Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan
Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara
Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 12 November 2025 - 20:57 WIB

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Sabtu, 1 November 2025 - 13:01 WIB

Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa

Kamis, 16 Oktober 2025 - 10:46 WIB

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Rabu, 1 Oktober 2025 - 19:43 WIB

Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:58 WIB

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara

Berita Terbaru

Artikel

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Rabu, 12 Nov 2025 - 20:57 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB