Isu Pertanian Berkelanjutan Tak Dianggap Penting
Deforestasi pada kawasan hutan akibat perluasan perkebunan kelapa sawit diperkirakan masih terjadi. Riset terbaru Universitas Indonesia menunjukkan ekstensifikasi lahan masih menjadi pilihan mudah bagi pekebun skala kecil untilk meningkatkan hasil panennya.
Penelitian Lembaga Riset Perubahan Iklim (RCCC) Universitas Indonesia itu dilakukan pada 1.350 pekebun kelapa sawit yang mengelola 2-8 hektar di 96 desa di Kabupaten Pelalawan, Kampar, Siak (Riau), Musi Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan). Dua provinsi ini menyumbang 47,5 persen produksi sawit perkebunan rakyat Indonesia (Kementerian Pertanian 2014). Total 10,7 juta ton minyak sawit mentah (CPO) nasional berasal dari Riau (3,7 juta ton) dan Sumsel (1,1 juta ton) serta serta provinsi lain.
”Bagi petani kecil, sustainability itu tidak panting,” kata Sonny Mumbunan, Kepala Tim Peneliti Studi Ekonomi Pekebun Kecil Lembaga Penelitian Perubahan Iklim (RCCC) UI, dalam peluncuran hasil studi ini, Kamis (27/10), di Jakarta. Contohnya, isu yang selama ini dinilai penting, seperti legalitas lahan dan penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan, tak menjadi pemikiran petani kecil. Dua faktor itu diperlukan dalam skema sertifikasi keberlanjutan kebun sawit yang disyaratkan beberapa
pabrik kelapa sawit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Petani kecil masih berkutat pada isu pragmatis, seperti ketersediaan pupuk, kekeringan panjang, dan penurunan harga tandan buah segar. Survei itu juga menemukan pekebun kelapa sawit memandang ekstensifikasi atau perluasan lahan sebagai cara utama meningkatkan panen. ”Keinginan ekstensifikasi kebun sawit besar, ketergantungan pada kebun sawit tinggi,” ujarnya.
Padahal, peningkatan panen bisa didapatkan melalui penerapan prinsip keberlanjutan, seperti penggunaan bibit yang tepat, pemakaian penyubur tanah yang efisien, dan penggunaan lahan resmi (legal atau bersertifikat). Itu mendorong produktivitas tanpa memperluas lahan yang menggerus area hutan. Jadi, petani kecil secara terorganisasi bisa bekerja sama dengan pabrik kelapa sawit yang memberi harga ”premium” bagi tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan secara berkelanjutan.
Joko Priadi, Chief Manager Smallholder PT Hindoli Cargill, mengatakan, harga TBS dari sumber lahan legal atau bersertifikat Rp 500-Rp700 per kilogram lebih mahal dibanding TBS dari sumber tak jelas. Selain itu, kepastian harga lebih terjamin daripada TBS dijual ke tengkulak.
Minim informasi
Dian Maya, Kepala Departemen Transformasi dan Lingkungan, Serikat Petani Kelapa Sawit, mengatakan, petani kecil manganggap isu keberlanjutan tak penting karena minim informasi manfaat penerapan prinsip berkelanjutan. ”Seharusnya perusahaan dan pemerintah daerah memberi informasi penting ini ke petani,” ucapnya.
Menurut Sonny Mumbunan pekebun kecil membutuhkan bukti dan pendampinganuntuk melihat manfaat ekonomi praktik berkelanjutan. Karena itu, berbagai program atau kegiatan pemerintah dan perusahaan perlu menjawab isu penting versi petani kecil.
Hasil riset menunjukkan, hanya 1 dari 3 pekebun kecil mau menerima kompensasi untuk tidak membuka lahan baru, termasuk hutan. Itu menunjukkan ketergantungan petani kecil amat tinggi dari sektor kelapa sawit.
Dalam survei itu, para petani kecil rata-rata mengharapkan kompensasi Rp 116 juta per hektar. Bahkan, ada petani yang meminta kompensasi miliaran rupiah per hektar karena lahan mengandung batubara. (ICH)
Sumber: Kompas, 28 Oktober 2016