Gerhana Bulan Total Terlama di Abad ke-21

- Editor

Rabu, 25 Juli 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gerhana Bulan total 28 Juli 2018 terjadi saat Bulan berada di jarak terjauhnya dari Bumi. Akibatnya, Bulan tampak lebih kecil dibanding gerhana 31 Januari. Durasi totalitasnya pun lebih panjang dan jadi yang terlama di abad XXI, yaitu 103 menit.

Gerhana Bulan total, Sabtu (28/7/2018) ini akan bisa disaksikan dari seluruh Indonesia. Namun di Indonesia timur, puncak gerhana terjadi saat Bulan mulai terbenam dan di Indonesia tengah, Bulan terbenam sesudah fase total gerhana usai.

Wilayah Indonesia barat akan bisa menyaksikan gerhana Bulan nanti lebih utuh. Gerhana akan dimulai selepas tengah malam hingga sesaat setelah Matahari terbit. Fase total gerhana akan terjadi mulai pukul 02.30 WIB hingga 04.13 WIB.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selain Indonesia, gerhana juga bisa disaksikan di sebagian besar Asia, Australia, Eropa, Afrika dan Amerika Selatan. Karena itu, jemaah haji Indonesia yang sudah tiba di Arab Saudi juga juga bisa menyaksikan gerhana Bulan tersebut selepas maghrib hingga tengah malam.

Gerhana kali ini terjadi saat Bulan ada di jarak terjauhnya dari Bumi (apogee) sebesar 406.223 kilometer yang dicapai 11,5 jam sebelum gerhana berlangsung. Kondisi itu berkebalikan dengan gerhana 31 Januari lalu yang terjadi saat Bulan ada di jarak terdekatnya (perigee) dari Bumi, sejauh 358.993 km.

Perbedaan jarak itu membuat Bulan pada gerhana Sabtu nanti lebih kecil 14 persen dan kecerlangannya cahayanya berkurang 30 persen dibanding gerhana Januari lalu. Dalam astrologi, gerhana Januari lalu disebut supermoon dan gerhana Juli ini dinamai minimoon.

Dosen Astronomi Institut Teknologi Banding Moedji Raharto menambahkan, gerhana kali ini adalah gerhana Bulan sentral, yaitu piringan Bulan akan melintasi pusat bayang-bayang Bumi. “Akibatnya, warna Bulan saat gerhana total akan terlihat merah dan lebih gelap dibanding gerhana biasanya,” katanya.

Warna kuning Bulan diperoleh karena memantulkan cahaya Matahari. Saat gerhana, Bulan harusnya tidak bercahaya atau gelap karena sinar Matahari terhalang Bumi. Nyatanya Bulan masih berwarna merah karena menerima cahaya Matahari yang dibiaskan atmosfer atas Bumi.

Warna merah Bulan saat gerhana akan bervariasi, mulai dari merah tembaga cerah hingga merah kehitaman nyaris tak terlihat. Selain bergantung pada posisi Bulan terhadap bayangan Bumi, warna merah itu juga ditentukan oleh kotor tidaknya atmosfer Bumi. Makin banyak debu di atmosfer, warna Bulan saat gerhaan makin gelap.

Terlama
Posisi Bulan di titik terjauhnya dari Bumi juga membuat gerhana kali ini berlangsung lama. “Jarak yang jauh membuat Bulan memasuki wilayah bayangan Bumi yang lebih besar sehingga lintasannya melalui wilayah bayangan itu juga lebih panjang,” kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin.

Fase totalitas gerhana 28 Juli akan berlangsung selama 1 jam 42 menit 57 detik. Itu akan menjadi gerhana Bulan total terlama di abad ke-21. Meski demikian, durasi gerhana Bulan total terlama di abad ke-21 itu lebih pendek 3-4 menit dibanding gerhana Bulan total terlama abad ke-20 dan ke-22.

Jika gerhana Bulan kali ini terlewat untuk diamati, maka gerhana Bulan berikutnya yang bisa dilihat di Indonesia terjadi pada 26 Mei 2021 dengan lama fase totalitas gerhana hanya 14,30 menit. Sementara gerhana Bulan total terlama di abad ke-22 terjadi pada 9 Juni 2123.

Dampak
Meski termasuk gerhana terlama, dampak dari gerhana Bulan kali diperkirakan tidak terlalu besar karena Bulan sedang berada di titik terjauhnya. Dampak paling sering dikhawatirkan saat terjadi gerhana adalah kenaikan muka air laut.

Kenaikan muka air laut yang memicu pasang naik maksimum rutin terjadi saat Bulan purnama dan Bulan mati. Saat itu, posisi Matahari, Bumi dan Bulan segaris hingga tarikan gravitasi Matahari dan Bulan terhadap Bumi saling menguatkan.

“Gerhana hanya naikkan pasang naik air laut 1-2 sentimeter dibanding pasang naik saat Bulan purnama atau Bulan mati biasa,” kata komunikator astronomi dan pengelola situs langitselatan.com Avivah Yamani.

Kenaikan muka air laut itu akan menimbulkan ancaman jika terjadi bersamaan dengan cuaca buruk atau munculnya siklon tropis. Situasi itu bisa memunculkan banjir rob, badai dan gelombang tinggi.

Pengaruh lain dari kesegarisan Matahari, Bumi, Bulan adalah meningkatnya aktivitas tektonik Bumi hingga memicu gempa dan aktifnya gunungapi. Namun, ahli gempa dari Universitas Washington di Seattle, Amerika Serikat John Vidale mengatakan kesegarisan Matahari, Bumi, dan Bulan itu hanya meningkatkan aktivitas tektonik Bumi kurang dari 1 persen. (Kompas, 14 Maret 2011).

Namun saat laut pasang surut maksimum, jumlah air di laut akan berkurang. Akibatnya, tekanan di dasar laut berkurang hingga lempeng Bumi di bagian itu mudah slip atau tergelincir oleh lempeng sekitarnya. Situasi itu hanya meningkatkan aktivitas kegempaan di bagian dasar laut tersebut sebesar 10 persen dibanding situasi normal.

Berbagai studi itu menunjukkan peningkatan tarikan gravitasi Matahari dan Bulan saat Bulan purnama, Bulan mati atau gerhana tidak akan mengganggu keseimbangan energi internal Bumi. Karena itu, tak perlu khawatir berlebih dengan dampak gerhana Bulan meski tetap harus waspada. Cukup siapkan diri agar tidak terlewatkan menyaksikan gerhana Bulan terlama di abad ini.–M ZAID WAHYUDI

Sumber: Kompas, 25 Juli 2018
———————

Saatnya Bermain di Luar Rumah

MARIA PASCHALIA JUDITH J UNTUK KOMPAS–Pengunjung Ancol antusias menyaksikan gerhana bulan

Malam Bulan purnama adalah saat yang ditunggu-tunggu bagi anak-anak yang lahir sebelum tahun 1990-an. Saat itulah, mereka bisa bebas bermain atau dolanan dan berlarian di luar rumah dengan teman-teman sekitar. Orangtua pun seringkali ikut berkumpul, mengawasi anak-anak bermain sembari bercengkerama dengan tetangga.

Dolanan yang dimainkan pun beragam, mulai dari petak umpet, bentengan, boi-boian, gobak sodor atau permainan apapun yang bisa dimainkan dalam penerangan yang kurang. Jaringan listrik saat itu yang terbatas membuat penerangan di luar rumah lebih banyak mengandalkan cahaya Bulan. Kondisi itu membuat permainan yang mengutamakan fisik lebih banyak dipilih karena lebih mudah dimainkan.

Namun, suasana saat terang Bulan itu kini sulit ditemukan. Bermain di luar rumah saat malam menjadi sesuatu yang dianggap tak lazim karena masa itu dianggap sebagai waktu belajar. Tayangan yang beragam memancing anak-anak untuk betah duduk di depan televisi. Bahkan dengan hadirnya teknologi informasi, anak-anak makin malas beringsut dari gawainya.

Suasana saat terang Bulan itu kini sulit ditemukan. Bermain di luar rumah saat malam menjadi sesuatu yang dianggap tak lazim karena masa itu dianggap sebagai waktu belajar.

KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO (N–Seorang anak laki-laki melemparkan bola yang terbuat dari daun lontar ke arah susunan pecahan genteng dalam permainan tradisional bernama “Boi-Boi” di acara “Festival Dolanan Anak dan Kuliner Tradisional”, di Desa Kebangsaan Ilmu Giri, Desa Selopamioro, Kabupaten Bantul, Selasa (5/6/2018). Permainan tradisional dinilai penting karena memiliki aspek sosial yang membuat anak tidak menjadi individualistis.

Selain itu, makin jarang rumah dengan halaman luas yang bisa dimanfaatkan anak-anak untuk bermain. Halaman rumah pun kini banyak yang disemen atau dipasangi paving block hingga mengurangi kenyamanan bermain.

“Di zaman dulu, saat Bulan purnama masih banyak anak bermain di luar rumah karena hanya itulah hiburan anak-anak,” kata pendiri Kampoeng Dolanan di Simokerto, Surabaya, Jawa Timur Mustofa Sam, Senin (23/7/2018).

Budaya itu mulai bergeser secara perlahan karena tergantikan oleh aktivitas yang lain, mulai dari menonton televisi, bermain gawai atau internet hingga bentuk-bentuk hiburan dan permainan teknologi yang lain.

Di sisi lain, pengetahuan anak-anak tentang dolanan sangat kurang. Orangtua sebenarnya masih memiliki pengetahuan tentang dolanan anak namun tidak mewariskannya kepada anak-anak mereka. Orangtua saat ini umumnya berorientasi untuk mengejar prestasi akademik anak, menyekolahkan anak pada full day school, atau mengikutkan anak pada berbagai les tambahan.

“Seharusnya, pendidikan semasa kecil berimbang, antara akademik dan bermain karena fitrah anak-anak adalah bermain dan bersenang-senang,” tambah Mustofa.

Bagi anak, dolanan atau permaianan tradisional memiliki banyak manfaat. Bukan hanya membuat fisik lebih aktif, dolanan mengajarkan anak sikap sportif, cermat, jujur, dan disiplin. Dolanan juga melatih ketekunan anak, belajar bekerja sama, responsif, peduli, dan kepemimpinan. Dolanan juga bisa melatih motorik anak dan membangun spiritualitas anak.

Dolanan mengajarkan anak sikap sportif, cermat, jujur, dan disiplin. Dolanan juga melatih ketekunan anak, belajar bekerja sama, responsif, peduli, dan kepemimpinan.

Meski demikian, Mustofa mengingatkan, sama dengan teknologi, dolanan pun perlu bijak dimainkan. Saat ingin mengenalkan permainan tradisional kepada anak-anak, maka orangtua dituntut mampu menyampaikan nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tersebut.

Dolanan juga tetap memiliki risiko, seperti terluka atau justru menimbulkan pertengkaran anak. Di situlah orangtua perlu bijak bersikap dan menjelaskan kepada anak karena dari kesalahan atau masalah yang muncul, anak-anak tetap bisa belajar hal-hal yang positif untuk membangun mentalnya.

KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO–Anak-anak dan remaja mencoba aneka permainan tradisional di Alun-Alun Purbalingga, Sabtu (19/5/2018).

Langit malam
Bulan purnama akan terjadi pada Jumat (27/8/2018). Saat itu, akan bertepatan dengan tanggal 15 Zulkaidah (Dzulqa’dah) 1439 Hijriah dalam kalender Islam atau 15 Sela 1951 Dal dalam Kalender Jawa.

Ketika itu, Bulan akan bersinar terang sejak awal malam hingga pagi menjelang. Bulan akan berwarna kuning cerah yang meneduhkan. Meski Bulan terang, sejumlah benda langit lain masih berpeluang untuk teramati, mulai dari planet, bintang, atau sejumlah rasi terang.

Saat Bulan baru terbit di ufuk timur, Venus mulai tergelincir di arah barat. Warnanya yang kuning cerah membuatnya mudah dikenali. Di atas kepala ada Jupiter dan di arah timur terdapat Saturnus, dua obyek langit yang juga cukup mudah dikenali. Di dekat Bulan yang baru terbit, akan terdapat bulatan kecil berwarna merah, planet Mars.

STELLARIUM–Peta langit Jakarta pada Jumat (27/7/2018) pukul 19.00 WIB.

Di arah selatan, ada rasi Layang-layang, Ikan Pari atau juga disebut Gubug Penceng. Bentuknya yang persis seperti layang-layang membuatnya mudah dikenali. Sedangkan di dekat rasi Layang-layang itu, ada dua bintang terang yang merupakan Alfa Centauri (Rigil Kentaurus) dan Beta Centauri (Hadar), dua bintang yang dalam mitologi Jawa dikenal sebagai Lintang Wulanjar Ngirim.

Sementara rasi bintang zodiak yang mudah diamati antara lain Scorpius dan Sagittarius. Rasi lain yang juga mudah diamati, meski tidak termasuk rasi zodiak, adalah rasi Orion atau yang lebih dikenal di Jawa dengan sebutan Lintang Luku atau Waluku. Orion akan terlihat di ufuk timur pada saat menjelang pagi.

Selain berbagai obyek menarik itu, langit malam juga akan diwarnai dengan gerhana Bulan total yang terjadi pada Sabtu dinihari hingga menjelang Matahari terbit. Meski tahapan gerhana sudah akan terjadi pukul 00.15 WIB, namun fase totalitas gerhana baru akan terjadi pukul 02.30 WIB hingga pukul 04.13 WIB. Gerhana Bulan yang terjadi kali ini merupakan gerhana Bulan total terlama di abad ke-21 dengan durasi fase totalitas gerhana mencapai 1 jam 42 menit 57 detik.

Gerhana Bulan yang terjadi kali ini merupakan gerhana Bulan total terlama di abad ke-21 dengan durasi fase totalitas gerhana mencapai 1 jam 42 menit 57 detik.

Gerhana kali ini terjadi saat Bulan berada di titik terjauhnya dari Bumi (apogee) sehingga disebut Bulan mini (minimoon). Meski ukurannya lebih kecil 14 persen dibanding ukuran Bulan pada gerhana Bulan 31 Januari lalu, namun perbedaan ukuran itu akan sulit dibedakan.

Saat gerhana Bulan total, Bulan akan berwarna merah kehitaman karena gerhana kali ini termasuk gerhana Bulan sentral. Piringan Bulan akan melintasi titik pusat dari bayang-bayang inti Bumi atau umbra. Menjelang subuh, fase totalitas gerhana akan berakhir dan warna Bulan akan perlahan-lahan berubah kembali jadi kuning cerah.

Selain itu, saat puncak gerhana, juga akan terjadi hujan meteor Delta Aquariid. Meski Bulan purnama akan membuat cahaya meteor sulit diamati, namun peluang mengamati meteor yang mencapai 10-20 meteor per jam itu tetap terbuka, khususnya saat gerhana Bulan total berlangsung.

Bersamaan dengan gerhana Bulan total itu juga akan terjadi oposisi Mars atau kesegarisan antara Matahari, Bumi dan Mars. Konfigurasi benda langit saat terjadi oposisi Mars itu mirip konfigurasi saat terjadi gerhana Bulan, yaitu Matahari, Bumi, Bulan. Oposisi itu akan membuat Mars terlihat sangat terang. Selama gerhana, posisi Mars akan berada di dekat Bulan.

Banyak obyek langit menarik dan mudah diamati akan membuat Bulan purnama pada Jumat malam atau malam Sabtu nanti jadi saat yang baik untuk menghabiskan malam di luar rumah. Bukan hanya bermain dolanan, namun juga bisa untuk bercengkerama dengan teman, keluarga dan tetangga. Selain semua itu, malam Bulan purnama nanti juga bisa dimanfaatkan untuk mengenal obyek-obyek langit malam.

Banyak obyek langit menarik dan mudah diamati akan membuat Bulan purnama pada Jumat malam atau malam Sabtu nanti jadi saat yang baik untuk menghabiskan malam di luar rumah.

Untuk bisa menikmati malam purnama itu, masyarakat hanya perlu berbekal baju hangat untuk mengantisipasi suhu dingin. Gerhana Bulan total akan terjadi saat dinihari dan saat ini sedang puncak musim kemarau, masa ketika suhu udara akan turun. Makanan-minuman hangat juga bisa membuat Anda lebih nyaman berada di luar rumah pada malam hingga dinihari.

Jadi, selamat menikmati langit Jumat malam!

M ZAID WAHYUDI

Sumber: Kompas, 24 Juli 2018

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum
3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum
Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023
Tiga Ilmuwan Penemu Quantum Dots Raih Nobel Kimia 2023
Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023
Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023
Berita ini 1 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Senin, 13 November 2023 - 13:46 WIB

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 November 2023 - 13:42 WIB

3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum

Senin, 13 November 2023 - 13:37 WIB

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 November 2023 - 05:01 WIB

Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:52 WIB

Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:42 WIB

Teliti Dinamika Elektron, Trio Ilmuwan Menang Hadiah Nobel Fisika

Berita Terbaru

Berita

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 Nov 2023 - 13:46 WIB

Berita

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 Nov 2023 - 13:37 WIB