Peluang pengembangan obat baru dari fitofarmaka dan produk biosimilar di Indonesia terbuka lebar. Apalagi, Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati terkaya kedua di dunia setelah Brasil. Sayangnya, belum banyak riset tentang hal itu.
Demikian diungkapkan penerima Habibie Award 2016 Bidang Kedokteran, Raymond R Tjandrawinata, pada seminar tentang penemuan obat baru di era revolusi industri keempat di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Selasa (18/10).
Raymond mengatakan, 95 persen bahan baku obat Indonesia diimpor, padahal sumber daya manusia Indonesia mampu membuatnya sendiri. Namun, pembuatan obat sintetik melalui reaksi kimia sulit dilakukan karena tidak akan memenuhi skala ekonomi dan industri kimia dasar Tanah Air tak kuat. Penemuan obat baru sintetik kimia lebih tak mungkin dilakukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Hal yang dilakukan 200-an industri farmasi di Indonesia hanya memformulasi obat atau merakit obat. Bahan bakunya impor. Indonesia tak akan maju dengan begini,” kata Raymond yang juga dosen Fakultas Teknobiologi Unika Atma Jaya itu.
Dengan keragaman hayati yang melimpah, hal yang paling mungkin dilakukan Indonesia ialah mengembangkan obat berbasis bahan alam, yakni obat-obat berbasis fraksi bioaktif dari tanaman ataupun hewan. Obat bersumber bahan alam yang didesain dengan benar secara farmakologis tak kalah dengan obat kimia.
Tiga produk
Menurut Raymond, masa depan farmasi Indonesia ada pada tiga produk, yakni vaksin, fitofarmaka, dan produk biosimilar. Untuk vaksin, ada PT Biofarma yang diakui dunia dalam produksi vaksin. Tinggal fitofarmaka dan biosimilar yang peluang pengembangannya terbuka luas.
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang terbukti keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik. Bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi. Adapun produk biosimilar ialah obat biologi dengan khasiat, keamanan, dan mutunya serupa produk biologi yang telah disetujui dan habis masa patennya.
Sejauh ini, baru ada 8 produk fitofarmaka yang terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sementara obat herbal terstandar ada 36 produk dan jamu ada sekitar 4.000 produk.
Salah satu contoh fitofarmaka yang ada adalah obat diabetes melitus yang berasal dari bahan daun bungur (Lagerstroemia speciosa) dan kulit kayu manis (Cinnamomum burmannii). Obat ini juga memiliki indikasi untuk sindrom ovarium polikistik.
Menurut Prof Wardiman Djojonegoro, Ketua Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia Iptek The Habibie Center, Indonesia belum menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan. Itu menyebabkan Indonesia bergantung pada negara lain, misalnya di bidang farmasi.
Padahal, negara besar cenderung menumbuhkan sendiri industri farmasinya agar lebih mandiri dan tidak bergantung pada impor. Bahkan, industri farmasi yang berkembang bisa mengekspor produknya.
Sementara di Indonesia, sekitar 95 persen kebutuhan obat Tanah Air bersumber dari impor. Contohnya, tiap tahun Indonesia mengimpor 6.000 ton garam farmasi untuk infus, cairan cuci ginjal, dan kosmetika.
Beruntung, sejumlah peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi meneliti cara mengonversi garam rakyat jadi garam farmasi dan mematenkan hasil risetnya. Itu disambut industri, sehingga Indonesia diharapkan tidak lagi mengimpor garam farmasi. (ADH)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Oktober 2016, di halaman 14 dengan judul “Garap Potensi Fitofarmaka dan Biosimilar”.