Dilema Perguruan Swasta

- Editor

Kamis, 19 April 2012

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SD dan SMP sebagai pelaksana program wajib belajar dilarang memungut biaya investasi dan biaya operasi dari peserta didik, orangtua atau wali peserta didik. Demikian Pasal 3 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60 Tahun 2011. Larangan ini tak terkecuali bagi sekolah swasta.

Sejak bantuan operasional sekolah (BOS) digulirkan pada 2009, lambat laun pungutan dari orangtua murid dikurangi untuk menuju program pendidikan gratis dalam rangka wajib belajar sembilan tahun.

Pemahaman terhadap kebijakan ini menimbulkan dilema. Masyarakat menuntut layanan pendidikan berkualitas tanpa harus dibebani pembiayaan. Sementara itu, sekolah tak dapat menyelenggarakan pendidikan berkualitas karena besaran dana BOS tak cukup untuk menopang kebutuhan operasionalnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bagi swasta, sekolah gratis hampir mustahil. Selain dana BOS belum memadai, mekanisme penetapan besaran dana satuan pendidikan, perhitungan unit cost, dan analisis komponen pembiayaannya belum tepat.

Pembiayaan pendidikan di swasta, juga sekolah pada umumnya, mencakup: (1) biaya operasi; (2) biaya investasi; dan (3) biaya personal. Biaya operasi pendidikan mencakup gaji/tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan. Bagi sekolah swasta, sumber biaya untuk gaji/tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan selama ini mengandalkan pungutan dari orangtua murid.

Peruntukan BOS
Program sekolah gratis dengan pemberian BOS dimaksudkan agar orangtua murid tidak lagi dibebani biaya operasi. Dalam hal ini terbangun kesan, pemerintah melalui BOS mampu membiayai semua kebutuhan operasional sekolah.

Padahal, dengan besaran dana BOS tahun 2012 Rp 580.000 per siswa per tahun untuk SD dan Rp 710.000 per siswa per tahun untuk SMP, hanya dapat menopang biaya operasi dengan standar minimal berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP). Artinya, besaran dana itu tak cukup untuk membiayai program sekolah yang melampaui standar minimal SNP. Dalam konteks ini, larangan memungut biaya pendidikan sama halnya mempertaruhkan kualitas pendidikan.

Ketentuan pemanfaatan dana BOS untuk gaji/honorarium serta tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan tak boleh lebih dari 20 persen dari jumlah dana yang diterima sekolah mustahil dapat diterapkan di swasta. Jika dana BOS satu-satunya sumber pembiayaan, gaji/honorarium serta tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan jauh dari layak. Jangan heran jika kemudian ada pendidik/tenaga kependidikan menerima honorarium kurang dari Rp 100.000 per bulan.

Jika subkomponen gaji/honorarium serta tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan dikeluarkan dari biaya operasi, membebaskan orangtua murid sekolah swasta dari pungutan masih dimungkinkan. Persoalannya, apakah pemerintah sudah mampu menyediakan anggaran untuk membayar gaji/honorarium serta tunjangan bagi pendidik dan tenaga kependidikan swasta yang lebih dari 700.000 orang? Ini belum termasuk guru tidak tetap dan pegawai tidak tetap.

Dalam konteks satuan pendidikan, mekanisme penetapan besaran BOS berdasarkan variabel jumlah siswa kurang tepat. Sekolah yang siswanya lebih banyak menerima dana banyak, sedangkan sekolah yang siswanya sedikit memperoleh dana sedikit. Padahal, pembiayaan satuan pendidikan lebih banyak dipengaruhi oleh basis rombongan belajar. Artinya, dalam satu rombongan belajar biaya operasionalnya relatif sama, baik dengan jumlah murid banyak maupun sedikit.

Pengaturan vs pelarangan
Tampaknya, saat ini yang diperlukan bukan pelarangan memungut biaya dari orangtua murid, melainkan mekanisme dan peruntukannya yang perlu diatur. Pelarangan dapat dilakukan apabila pemerintah mampu mencukupi semua biaya pendidikan yang dibutuhkan satuan pendidikan, baik sekolah negeri maupun swasta, dengan semua komponen pembiayaannya.

Pengaturan pungutan memberi peluang kepada masyarakat berperan dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pemanfaatan dana masyarakat secara optimal. Bukankah dalam hal ini pemerintah telah menetapkan manajemen berbasis sekolah dengan mengedepankan perencanaan pengembangan satuan pendidikan.

Tak kalah penting, dalam hal pengaturan itu harus diberikan jaminan terhadap warga yang kurang beruntung secara ekonomi harus dapat mengakses pendidikan yang berkualitas. Sistem subsidi silang adalah alternatif yang dapat dipilih untuk memberi jaminan kepada mereka.

Ki Sugeng Subagya Sekretaris Badan Musyawarah Perguruan Swasta Yogyakarta

Sumber: Kompas, 19 April 2012

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 4 Juli 2025 - 17:25 WIB

Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB