Analisis deforestasi di Indonesia oleh Universitas Maryland, Amerika Serikat, lebih baik dijawab dengan kajian ilmiah serupa oleh Kementerian Kehutanan. Sebab, hasil penghitungan deforestasi di antara kedua pihak berbeda.
Menurut Kepala Badan Pengelola REDD+ Heru Prasetyo, kajian ilmiah dan publikasi ilmiah seperti dilakukan Universitas Maryland (UM) dengan peneliti Belinda Margono dan kolega penting untuk meyakinkan publik. ”Ini membuka data keseluruhan dan transparan metodologinya,” kata dia.
Kemenhut tak menolak ataupun membenarkan analisis UM karena kajian ilmiah bisa diperdebatkan secara ilmiah. ”Angka yang dihasilkan terkait metodologi. Di Kementerian Kehutanan ada lima angka terkait hutan rakyat karena beda metodologi. Masing-masing bisa benar dengan diurai metodologinya,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenhut San Afri Awang, Senin (7/7), di Jakarta.
Ia menjawab pertanyaan soal analisis UM bahwa deforestasi hutan primer Indonesia tahun 2012 mencapai 840.000 hektar (Kompas, 1 Juli 2014). Menurut Kemenhut, deforestasi hutan primer hanya 24.000 hektar dan deforestasi total 613.480 hektar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Balitbang Kemenhut Krisfianti L Ginoga mengakui, pihaknya lemah dalam mencatatkan kajian pengukuran deforestasi ke jurnal internasional. ”Kami menyusun kajian ilmiah deforestasi agar bisa dilihat metodologinya,” kata dia. (ICH)
———–
penebangan baru; 1,8 Juta Ton Karbon Lepas
Alih fungsi hutan primer untuk kepentingan tanaman industri di sekitar ekosistem hutan adat Kabupaten Bungo, Jambi, mengakibatkan lepasnya minimal 1,8 juta ton karbon. Ironisnya, kerusakan habitat itu terjadi di kawasan yang menjadi contoh pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Berdasarkan hasil riset dan analisis Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, penggundulan terjadi di kawasan hutan primer itu seluas 5.000 hektar. Hal tersebut mengakibatkan 1,8 juta ton karbon lepas ke udara. Padahal, menurut Wakil Direktur KKI Warsi Yulqari, hamparan kawasan hutan setempat masuk sebagai bagian areal percontohan pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Penolakan warga atas penghancuran hutan alam itu disuarakan sejak 1,5 tahun terakhir. Masyarakat telah sembilan kali berunjuk rasa ke kantor bupati dan DPRD setempat, bahkan ke Kantor Kementerian Kehutanan di Jakarta. Mereka menuntut penghentian penebangan hutan primer setempat. ”Namun, penebangan hutan tetap terjadi,” kata Mudarlis, warga Desa Aur Cino, Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Minggu (6/7).
Dalam 3 tahun terakhir, lebih dari 5.000 hektar hutan primer di penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat dan sekitar kawasan hutan adat Bukit Panjang Rantau Bayur, Kecamatan Bathin III Ulu, rata oleh alat berat perusahaan HTI karet. Perusahaan mendapat izin HTI 6 bulan sebelum ada kebijakan moratorium hutan.
Menurut Muchlis, masyarakat memprotes penggundulan itu karena selama ini memanfaatkan hutan untuk menunjang penghidupan mereka sehari-hari. Mereka juga turut melestarikan hutan melalui pengelolaan berbasis agroforest. ”Kami menanam karet dan memanfaatkan getah-getahan untuk menopang ekonomi masyarakat,” kata dia.
Selain mengganggu keseimbangan penghidupan masyarakat, penggundulan hutan untuk kepentingan tanaman industri mengganggu keseimbangan ekosistem kawasan hulu Sungai Batanghari. Sepanjang daerah aliran sungai di wilayah itu dimanfaatkan warga sebagai energi pembangkit listrik tenaga air dan mikrohidro. Tujuannya untuk memasok kebutuhan listrik.
Namun, Sekretaris Daerah Kabupaten Bungo M Ridwan mengemukakan, tak ada yang salah dalam perizinan HTI di kawasan itu. Sebelumnya, ekosistem hutan adat Bujangraba dikunjungi Parlemen Norwegia. (ITA)
Sumber: Kompas, 8 Juli 2014