Data luas kebakaran hutan dan lahan tahun 2013 – 2018 yang ditampilkan dalam situs Karhutla Monitoring System atau Sipongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Senin (14/10/2019), sempat berubah amat signifikan. Luasan kebakaran per Januari-September tahun 2019 pun tak ditampilkan.
Pada Senin sore, pukul 17.20, data pada Sipongi itu telah berubah seperti awal. Konfirmasi yang diberikan Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK Raffles Brotestes Panjaitan, menyatakan data yang sempat ditampilkan itu merupakan data luas lahan yang dipadamkan di lapangan. Kenapa bukan luas kebakaran hutan dan lahan seperti biasanya yang ditampilkan, ia mengatakan hal itu akan di-update pada Rabu ini. Saya belum lapor ke Bu Menteri datanya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/DEFRI WERDIONO-+Api yang membakar hutan di Taman Hutan Raya R Soerjo di lereng Gunung Arjuna di Malang, Jawa Timur, terlihat dari kejauahan, Jumat (11/10/2019) malam.
Perubahan data luas kebakaran hutan dan lahan ini sangat signifikan. Pada bagian keterangan di data terbaru yang ditampilkan, ada informasi “Luas kebakaran dihitung berdasarkan laporan dari daerah”. Bila disandingkan, perbedaan luas kebakaran hutan dan lahan amat jauh berbeda.
Sebagai contoh, tahun 2015 pada informasi baru luas karhutla ditampilkan di situs Sipongi (http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran) selama hampir seharian hanya menampilkan seluas 261.060,44 hektar atau ha (pada informasi sebelumnya luas karhutla 2.611.411 ha) dan 2018 hanya 4.666,39 ha (dari data sebelumnya 510.564 ha. Di tampilan itu, luas karhutla 2019 tak ditampilkan. Data terakhir, per Januari-Agustus 2019, luas karhutla mencapai 328.724 ha.
Terkait perubahan data yang sempat ditampilkan Sipongi KLHK ini, pakar karhutla dan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Bambang Hero Saharjo mengatakan data yang dilaporkan pemda jauh dari fakta di lapangan. Ia lebih yakin pada data yang ditampilkan Sipongi sebelumnya karena hasil digitasi pada citra satelit dan verifikasi lapangan.
Luas karhutla yang dilaporkan pemda dinilai memiliki banyak kekurangan dan celah yang berdampak pada ketidaakuratan. Itu disebabkan luasan dihitung sebatas perkiraan manual saat pemadaman di lapangan. Artinya, pengukuran luas karhutla menggantungkan pada pengamatan petugas yang memiliki cara penilaian maupun persepsi berbeda-beda.
Dari pengalaman dia, ada juga yang tidak mau melaporkan kejadian dan atau luasan kebakaran. Alasannya, bila terjadi kebakaran atau luas kebakaran meningkat, pejabat dianggap tidak bekerja mencegah karhutla. Ada juga temuannya, petugas atau pejabat melaporkan luasan karhutla jauh lebih kecil, bisa sepersepuluhnya. Tujuannya, data luasan karhutla tak tampak terlalu besar.
“Dari dulu saya sudah bilang ke KLHK bahwa data kecil itu tidak menunjukkan prestasi yang dicapai. KLHK harus jujur menulis fakta yang sesungguhnya terjadi,” kata dia. Ia mendorong agar KLHK menampilkan data sesuai fakta agar publik memahami isu karhutla dengan baik serta bisa mendorong berbagai pihak berupaya lebih maksimal untuk mencegah dan menangani karhutla.
Selain itu, data luasan karhutla dari citra satelit bisa dan sedang dianalisis berbagai institusi pemerintah, lembaga penelitian/peneliti, maupun organisasi masyarakat sipil. Karena itu, tak ada gunanya data luasan lahan ditutup-tutupi dan malah bisa menjadi bumerang bagi Indonesia dalam berbagai forum nasional dan internasional.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Data luas karhutla pada situs Sipongi (http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran) sempat berubah pada Senin (14/10/2019). Namun sekitar pukul 17.20, data telah kembali menampilkan hasil digitasi citra satelit dan verifikasi lapangan. Luas karhutla tersebut (highlihight kuning menunjukkan seri tahun 2014-2019).
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Data luas karhutla pada situs Sipongi (http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran) sempat berubah pada Senin (14/10/2019). Luas karhutla tersebut (highlihight kuning menunjukkan seri tahun 2013-2018). Luas kebakaran turun signifikan karena didasarkan pada luas karhutla yang dilaporkan daerah. Pada sore hari sekitar pukul 17.20, situs tersebut telah kembali menampilkan luasan yang biasanya ditampilkan atau hasil digitasi citra satelit.
Karhutla Sumatera Selatan
Terkait memburuknya kualitas udara akibat kabut asap di Sumatera Selatan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan M Hairul Sobri mengatakan penyebab utamanya adalah lemahnya pengawasan restorasi ekosistem gambut di kawasan konsesi. “Upaya restorasi ekosistem gambut tidak berjalan pada semua wilayah konsesi, padahal pemulihan gambut harus berdasarkan kawasan / lanskap,” ungkapnya.
Selama ini upaya restorasi berbanding lurus dengan temuan titik panas. Selain itu, Walhi Sumatera Selatan menemukan fakta karhutla terjadi berulang di tempat sama. Belum lagi ditemukan fakta dalam 2 tahun belakangan masih banyak izin-izin baru yang dikeluarkan pemerintah di lahan-lahan gambut.
Bertahun-tahun warga Sumsel terpapar asap, pemerintah tak pernah mencabut izin korporasi yang konsesinya terbakar berulang-ulang dari tahun ke tahun. Ia mengingatkan Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 pernah memerintahkan pencabutan izin pada perusahaan yang ditemukan karhutla.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 14 Oktober 2019