Hasil analisis Greenpeace Indonesia terkait moratorium pemberian izin baru di hutan alam primer dan gambut selama delapan tahun terakhir yang menunjukkan ketidakefektifan menekan deforestasi dan kebakaran ditampik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hasil pemantauan KLHK pada periode yang sama menunjukkan terjadi penurunan angka deforestasi di dalam moratorium (PIPPIB) 38 persen dan total areal terbakar sampai Juli 2019 seluas 135.000 ha, sejumlah 77 persen berada di luar area moratorium (atau Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru/PIPPIB).
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–RA Belinda Arunawati Margono Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan KehutananDifoto pada 8 Mei 2019 di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“ Jadi di sini bisa dilihat efektivitas moratorium terhadap karhutla, karena luas areal berhutan yang terbakar di dalam PIPPIB sudah semakin berkurang, bahkan saat ini hingga mencapai kurang dari 1 persen total areal terbakar,” kata Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK, RA Belinda Arunawati Margono, Jumat (9/8/2019) di Jakarta.
Ia menjelaskan tahun 2019 merupakan tahun El Nino sedang. Pada Januari sampai dengan Juli 2019 KLHK memantau sebaran dan akumulasi titik panas api serta menghitung luasan. Ia menyebut total areal terbakar hingga Juli 2019 seluas 135 ribu ha, dimana 77% dari luas terbakar tersebut terjadi di luar wilayah area moratorium (PIPPIB).
Kebakaran yang tidak terelakkan di wilayah moratorium bisa ditekan hingga mencapai 0.8 persen pada areal yang bertutupan hutan alam. Sisanya 99,2 persen terjadi pada areal tak berhutan, yaitu lahan gambut dan kawasan yang merupakan ekosistim alami tidak berhutan.
Sementara terkait kajian Greenpeace bahwa kebakaran hutan dan lahan terparah 2015 yang membakar total 2,6 juta hektar (ha) dan 700.000 ha di antaranya berada di areal moratorium, Belinda menyebut menurut data KLHK sejumlah 69 persen dari luas itu terjadi di luar area moratorium. Ia merinci kebakaran di areal moratorium tersebut sejumlah 3 persen terjadi pada areal berhutan dan 97 persen berada pada areal tidak berhutan (yaitu lahan gambut dan kawasan yang merupakan ekosistem alami tak berhutan, misalnya savanna atau semak belukar).
Sementara terkait analisa Greenpeace terkait ketidakefektifan moratorium, Belinda menunjukkan data KLHK periode 2003-2010 (sebelum moratorium) deforestasi seluas 7 juta ha (atau 0,88 ribu ha per tahun). Sementara periode setelah moratorium, 2011-2018, deforestasi 5,6 juta ha. “Dengan informasi ini maka total deforestasi Indonesia untuk periode sebelum dan sesudah moratorium mengalami penurunan sekitar 20 persen,” katanya.
Kemudian, bila ia menganalisis hanya pada areal moratorium (PIPPIB) terjadi penurunan angka deforestasi di dalam moratorium (PIPPIB) sebesar 38 persen, dari periode 2003-2010 (sebelum moratorium) seluas 1,9 juta ha ke periode berikutnya (2011-2018/setelah moratorium).
Kondisi ini berbeda dengan yang ditunjukkan analisa Greenpeace Indonesia. Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia Kiki Taufik menyebutkan tutupan hutan yang hilang dari 2012-2018 di areal moratorium 1,2 juta ha, dengan rerata tahunan 137 ribu ha. Angka tersebut justru lebih tinggi jika dibandingkan dengan kehilangan tutupan hutan sebelum moratorium diberlakukan dari 2005-2011 yakni mencapai 800 ribu ha, dengan rerata 97 ribu ha untuk area moratorium yang sama (Kompas, 9 Agustus 2019).
Belinda mengatakan KLHK tidak tahu data yang dipakai Greenpace untuk mendasari pernyataan tersebut. Namun, KLHK menggunakan data resmi di bawah sistem pemantauan dalam kaidah akurasi dan konsistensi.
Dalam penjelasan, Greenpeace memakai data dari University of Maryland. Organisasi lingkungan itu tak menggunakan data dari KLHK karena hingga kini tak bersedia membuka data peta dalam bentuk shape file atau hanya dalam bentuk JPG/JPEG yang tak bisa diolah serta tak tersedia seri data yang lengkap.
Secara terpisah, Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi menyebutkan pada masa moratorium di rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terdapat penerbitan izin seluas 16,4 juta ha. Di masa Presiden Joko Widodo, saat moratorium juga berjalan, izin dikeluarkan pada areal seluas 1,7 ha.
Ia menyebutkan izin hak pengusahaan hutan (HPH) atau penebangan kayu (kini izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam/IUPHHK-HA) pada masa SBY mencapai 4,3 juta ha. “Izin HPH ini kan pasti di hutan alam primer karena menyasar kayu, bukan di hutan sekunder,” ungkapnya.
Pemanfaatan hutan
Dengan demikian, moratorium tidak menghambat pemanfaatan atau eksploitasi hutan alam dan gambut di Indonesia. “Jadi connect (terhubung) antara analisis kami (Walhi) yang berbasis perizinan dan analisis Greenpeace yang berbasis (peta) hutan. Moratorium tak menghambat keinginan orang untuk memperoleh hutan alam di Indonesia karena data bisa digeser-geser,” ujarnya.
Zenzi mengatakan perbedaan jumlah luasan izin menunjukkan efektivitas moratorium bergantung pada kepemimpinan. Ini dinilai tidak sehat dan karenanya sistem pada penghentian izin agar diperkuat.
Ia mengusulkan agar penguatan tersebut dengan penghentian izin berbasis penghentian peta moratorium (PIPPIB). Ini agar wilayah seluas 65,9 juta ha (PIPPIB revisi XV) tetap terlindungi dan tak terancam oleh peruntukan eksploitatif.
Selain itu, penghentian permanen pemberian izin agar tak dikecualikan pada izin prinsip. Hal itu dinilai merupakan celah karena peningkatan status izin prinsip menjadi izin operasional nantinya juga menjadi penyebab deforestasi.
Zenzi berharap penghentian pemberian izin juga diperluas pada hutan alam sekunder. Itu bertujuan menutup celah modus menurunkan kualitas tutupan hutan alam primer menjadi hutan alam sekunder pada perubahan/revisi PIPPIB. Selanjutnya, setelah menjadi hutan alam sekunder, korporasi memohonkan izin di wilayah tersebut.
Perlindungan hutan alam sekunder pun akan membantu upaya pemulihan kualitas area tersebut menjadi hutan alam primer yang lebih sehat dan memiliki fungsi ekologi sempurna. “Hutan sekunder harus masuk pula dalam moratorium sehingga bisa dipulihkan dan tidak ada pintu lagi akal-akalan menurunkan status kualitas tutupan hutan,” ujarnya.–ICHWAN SUSANTO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 10 Agustus 2019