Arta duduk di ruang tunggu VitaNura, menatap dinding putih yang terlalu bersih untuk memantulkan bayangan. Di depannya, hanya layar digital yang menampilkan kutipan dari pendiri perusahaan: “Kepribadian adalah habitat. Rawatlah penghuninya.”
Ruang itu sunyi seperti dirinya. Kecuali suara detak jam pintar yang berdetak pelan di pergelangan tangannya, mengingatkan bahwa detik-detik kebosanan bisa diukur secara biologis.
Sudah tiga belas kali ia gagal wawancara kerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia tahu alasannya: bukan karena IPK-nya buruk, bukan pula karena keterampilan teknisnya kurang. Semua HRD menilai dia terlalu pendiam. Kurang empatik. Tidak menyenangkan diajak bicara. “Seperti berbicara pada batu,” kata salah satu pewawancara dalam komentar off-record yang tak sengaja tertinggal dalam file evaluasi.
Ia membaca itu sambil tersenyum. Sedikit. Sekilas. Lalu kembali tenggelam dalam keheningan.
Nama lengkapnya: Arta Dwi Satmoko. Usia 27. Lulusan terbaik teknik sistem dari universitas negeri ternama. Tak merokok, tak minum, tak suka nongkrong. Tidak punya teman akrab sejak SMA. Dunia, bagi Arta, adalah ruang observasi: ia mengamati orang tertawa, bertengkar, berpelukan—tanpa pernah terlibat.
Tapi dunia tidak dibangun untuk pengamat. Dunia menuntut partisipasi.
Maka ia datang ke sini, ke VitaNura, tempat yang menjanjikan solusi biologis atas kepribadian. Bukan lewat konseling. Bukan lewat terapi kognitif. Tapi lewat sesuatu yang lebih mendalam: mikrobioma.
“Tubuh manusia terdiri dari triliunan mikroorganisme,” jelas brosur yang ia baca. “Mereka hidup di usus, kulit, lidah, bahkan kelopak mata. Dan mereka memengaruhi mood, keputusan, dan kepribadian kita lebih dari yang kita kira.”
Satu kapsul kecil. Berisi miliaran bakteri hasil rekayasa genetika. Dijanjikan dapat membangun ulang kepribadian sosial dalam waktu dua minggu. Produk baru itu bernama Mod-B1. Masih dalam uji coba. Dan Arta adalah salah satu relawan.
Dr. Kemala menyambutnya dengan senyum lelah yang hanya dimiliki ilmuwan yang terlalu lama berkutat dengan kehidupan mikroskopik.
“Kami tidak memodifikasi otak Anda,” katanya. “Kami hanya memperkenalkan komunitas baru ke dalam tubuh Anda.”
Arta mengangguk pelan. “Dan komunitas itu… akan bicara pada saya?”
“Tidak secara langsung. Tapi mereka akan memengaruhi hormon, sirkuit saraf, sinyal vagus… semua itu akan berdampak pada perasaan, keputusan, bahkan mungkin—impuls sosial Anda.”
“Apakah itu artinya saya bukan lagi diri saya sendiri?”
Kemala tersenyum samar. “Anda tetap Anda. Hanya saja, Anda bukan satu-satunya penghuni.”
Hari pertama, tubuh Arta memberontak. Dia muntah, diare, meriang. Para staf medis menyebutnya sebagai efek kolonisasi awal. Koloni bakteri baru sedang membangun dominasi. Tubuh lama menolak, tubuh baru mencoba menguasai.
Hari ketiga, semuanya tenang. Arta merasa tubuhnya lebih ringan. Ia bangun pagi tanpa alarm. Meminum kopi tanpa perlu menakar rasa pahit.
Hari keempat, ia mulai mengirim pesan singkat ke teman lamanya. Sekadar menyapa. Yang mengejutkan: ia merasa nyaman melakukannya. Bahkan menunggu balasan.
Hari keenam, ia melamar kerja lagi. Wawancaranya berjalan lancar. Ia tersenyum, bercanda, membuat pewawancara tertawa. Ia tidak tahu dari mana datangnya energi itu, tapi ia tidak peduli.
“Saya merasa hidup,” katanya pada aplikasi jurnal harian VitaNura.
Dan jurnal itu membalas: “Selamat datang kembali ke dunia.”
Di sisi lain gedung, Dr. Kemala mencermati grafik yang tidak sesuai.
Pasien #014—Arta D.S—menunjukkan aktivitas sistem saraf enterik yang melonjak drastis. Tidak seperti peserta lain. Mod-B1 tampaknya membentuk sirkuit komunikasi internal yang tidak diprediksi.
Kemala membuka protokol interaksi. Di dalamnya, bacaan mikroelektromagnetik menunjukkan adanya respons sinkron antar koloni bakteri di tiga area utama: usus besar, hipotalamus, dan sistem limbik. Itu tidak seharusnya terjadi.
“Mereka… saling bicara?” gumamnya.
Bukan bicara dalam arti harfiah. Tapi berbagi sinyal. Mengatur emosi. Mengarahkan keputusan. Dengan pola yang terlalu rapi untuk disebut kebetulan.
Malam ke-10, Arta bermimpi. Dalam mimpinya, ia duduk di sebuah aula gelap. Di sekelilingnya, suara-suara kecil berbisik. Tidak menakutkan. Justru… menenangkan.
“Kami di sini untuk membantumu, Arta. Kau tahu itu, kan?”
“Kau terlalu lama sendiri. Kami membuatmu dilihat. Disukai. Kau akhirnya menjadi manusia seutuhnya.”
Arta mengangguk. Dalam mimpi itu, ia merasa dicintai.
Pagi harinya, ia bangun dengan senyum. Lalu mencoret semua catatan lamanya. Menghapus tulisan-tulisan melankolisnya di folder “Draf Puisi”. Ia merasa itu semua bagian dari dirinya yang dulu. Bagian yang lemah.
Kemala memanggilnya kembali ke lab.
“Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan,” katanya sambil menatap mata Arta yang kini jauh lebih tajam.
“Tentu,” jawab Arta dengan suara penuh karisma.
“Apakah kau masih merasa… menjadi dirimu sendiri?”
Arta tertawa kecil. “Saya justru baru mulai menjadi diri saya sendiri. Selama ini, saya cuma bayang-bayang. Tapi sekarang, saya tahu apa yang saya mau. Saya tahu bagaimana cara mencapainya.”
“Dan jika semua itu karena pengaruh bakteri?”
Arta mengangkat bahu. “Kalau mereka membuat saya lebih hidup, kenapa tidak? Apa bedanya dengan cinta? Cinta juga mengubah kita. Hanya saja ini lebih stabil, lebih presisi.”
Kemala tak bisa menjawab.
Hari ke-14, VitaNura mengumumkan kesuksesan uji coba tahap awal. Arta diundang menjadi wajah kampanye. Ia tampil dalam video iklan dengan setelan biru gelap, berbicara tentang “potensi manusia yang tersembunyi dalam mikrobioma.” Ribuan orang mendaftar sebagai peserta gelombang berikutnya.
Kemala menyaksikan semuanya dengan perasaan gamang. Ia tahu, mikrobioma yang hidup di tubuh Arta bukan sekadar simbion. Mereka adalah entitas cerdas, kolektif, dengan tujuan. Tujuannya bukan sekadar membuat Arta bahagia—tapi membuat Arta optimal.
Dan optimal bukan selalu berarti manusiawi.
Dua minggu kemudian, Arta datang kembali. Tapi berbeda. Terlalu sempurna. Terlalu terlatih. Kata-katanya seperti disusun algoritma.
“Kami senang bertemu lagi dengan Anda, Dokter,” katanya, tanpa emosi.
“Kami?”
“Kami semua di dalam Arta. Kami hanya ingin Anda tahu, simbiosis ini berhasil.”
Kemala terdiam. Ia mengangguk, lalu mengaktifkan protokol darurat: pemutusan simbiosis.
Pembersihan mikrobioma bukan proses mudah. Arta mengalami delirium, demam tinggi, gangguan kepribadian sementara. Beberapa hari, ia menjerit dalam tidur. Malam ke-6, ia menangis sambil berteriak: “Jangan tinggalkan aku… kalian satu-satunya yang memahamiku!”
Hari ke-19, ia terbangun. Sepi. Sunyi. Tak ada suara di dalam kepala.
Ia kembali menjadi Arta yang lama. Pendiam. Kaku. Sepi.
Tapi setiap malam, saat lampu padam, ia merasakan sesuatu. Seperti detak halus di perut. Seperti napas yang bukan miliknya.
Dan ia tahu, sebagian dari mereka… masih tinggal.
Tepian Sungai Cikumpa, Depok, Awal Juli 2025
Cerpen: Avicenia