Mengantisipasi virus zika yang merebak awal tahun ini, Kelompok Penasihat Kontrol Vektor Organisasi Kesehatan Dunia (VCAG WHO) menyarankan cara-cara mengontrol nyamuk penular zika, yakni dengan bakteri Wolbachia, manipulasi genetik, sterilisasi, jebakan, dan umpan beracun.
Rekomendasi hasil sidang 14-15 Maret itu merujuk pada berbagai upaya pengendalian nyamuk vektor atau penular demam berdarah dengue yang mulai menunjukkan hasil. Seperti diketahui, virus zika juga ditularkan nyamuk Aedes sp.
Di Indonesia, pemberantasan demam berdarah dengue biasanya dilakukan dengan memberantas sarang nyamuk dan pengasapan. Namun, sejak 2011, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, bekerja sama dengan Yayasan Tahija dalam Eliminate Dengue Project (EDP) Yogya, mengembangkan metode baru pengendalian nyamuk Aedes aegypti dengan menyisipkan Wolbachia ke tubuh nyamuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Wolbachia adalah bakteri yang umum ditemukan pada serangga. Ketika diketahui lalat buah pembawa (carrier) Wolbachia berumur pendek, muncul ide untuk menempelkan Wolbachia pada nyamuk. ”Asumsinya, nyamuk yang mati muda tidak sempat menulari manusia. Ternyata Wolbachia justru melumpuhkan virus dengue,” kata Adi Utarini, Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Masyarakat, dan Kerja Sama Fakultas Kedokteran UGM sekaligus Ketua EDP (Kompas, 25/3/2015).
Penelitian bakteri Wolbachia sebenarnya sudah berlangsung sejak 1920-an. Namun, transfer bakteri itu ke nyamuk Aedes aegypti baru berhasil pada 2008. Metodenya dengan menyuntikkan Wolbachia pada telur nyamuk. Nyamuk betina yang mengandung Wolbachia akan menurunkan ke generasi selanjutnya, sedangkan nyamuk jantan menjadi mandul.
Nyamuk pembawa Wolbachia bukan nyamuk transgenik karena tak ada manipulasi genetik. Wolbachia aman bagi manusia karena hanya bisa bertahan pada sel serangga hidup. Ukurannya pun lebih besar dari probosis—alat pengisap darah pada nyamuk— sehingga tidak bisa berpindah ke manusia.
Indonesia endemik
Seluruh wilayah di Indonesia berpotensi menjadi tempat penularan demam berdarah dengue, 90 persen merupakan daerah endemik, termasuk Jabodetabek. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, jumlah penderita demam berdarah dengue sepanjang Januari-Februari 2016 mencapai 13.219 orang dengan korban meninggal 137 orang.
Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi titik awal program karena angka kejadian demam berdarah lumayan tinggi, lebih dari 55 kasus per 100.000 orang. Maka, pada fase II mulai Oktober 2013, nyamuk pembawa Wolbachia disebarkan di empat lokasi. Sebelumnya, Oktober 2011-September 2013, EDP-Yogya masih di fase I berupa persiapan dan penilaian keamanan.
Pelepasan pertama berlangsung di Nogotirto dan Kronggahan, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Diikuti dengan pelepasan di Jomblangan dan Singosaren, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Setelah pelepasan terakhir, Juni 2014 di Sleman dan Mei 2015 di Bantul, populasi nyamuk, persepsi masyarakat, dan kasus demam berdarah terus dipantau.
Menurut Bekti Andari, Koordinator Komunikasi dan Penyertaan Masyarakat EDP-Yogya, persentase populasi nyamuk Aedes aegypti pembawa Wolbachia di empat lokasi pelepasan tergolong tinggi hingga akhir Februari 2016. Artinya, Wolbachia dapat menetap dan berkembang biak di lingkungan alaminya.
Masyarakat di wilayah penelitian ternyata menanggapi positif upaya penanggulangan demam berdarah model ini. Mereka tidak hanya merelakan halaman rumahnya menjadi area pelepasan nyamuk, tetapi juga dengan sukarela menjadi ”juru bicara” program. Apalagi, Pedukuhan Kronggahan II menjadi wakil desa untuk Lomba Administrasi dan Wajah Desa 2016.
Untuk kasus demam berdarah, di wilayah nyamuk pembawa Wolbachia mencapai persentase tinggi dan stabil. Hasil pengamatan juga menunjukkan tidak adanya penularan lokal secara signifikan dan absennya kejadian luar biasa dengue.
Agus Susanto, General Manager Dukungan dan Layanan Proyek dari Yayasan Tahija, menambahkan, penurunan kasus demam berdarah akan spesifik diteliti dalam fase III. ”April ini kami akan membuat risk assessment menyeluruh dengan membentuk tim independen lintas universitas,” katanya.
Semua itu membangkitkan harapan untuk menanggulangi demam berdarah dengue secara berkelanjutan. Jika WHO sudah mengakui Wbachia dan bahkan mengadopsinya untuk memberantas zika, mengapa tidak untuk seluruh Indonesia?—AGNES ARISTIARINI
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2016, di halaman 14 dengan judul “Wolbachia”.