Sekali lagi kita disuguhi kabar mencengangkan: pembangkit listrik energi terbarukan terbesar di negeri ini. Selain pengembangan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) alias turbin angin berkapasitas 50 megawatt di Bantul, DIY, belum lama ini heboh pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terbesar berkapasitas 5 MWp di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kata ”terbesar di Indonesia” itu menyilapkan pikiran, padahal kapasitas itu tak ada ”seupilnya” energi utama 35.000 megawatt (MW), target pembangunan pemerintahan Joko Widodo. Pembangkit tenaga bayu 0,14 persen dan PLTS terbesar itu maksimal 0,01 persen.
Pembangkit tenaga surya berkesan hijau meski tak sebanding dengan energi fosil, terutama batubara, yang lebih dari 70 persen. Padahal, aplikasi panel surya itu paling luas, gampang, dan fleksibel saat ini, bahkan 25 tahun jadi sumber tenaga kalkulator meski untuk listrik rumah masih dianggap mahal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masyarakat sebenarnya tak sabar lagi dengan leletnya penguasa negeri ini sehingga banyak yang bereksperimen dengan merogoh kocek sendiri. Mereka tak hanya berharap bisa mandiri, bebas dari abonemen dan putusnya listrik PT Perusahaan Listrik Negara, tetapi juga menyumbang negeri ini.
Ada kesan ragu-ragu, padahal seyogianya energi surya yang tak pernah habis itu jadi solusi paling tepat bagi negeri ribuan pulau ini yang tak terjangkau jaringan. Faktanya, pemerintah memilih mendatangkan kapal pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 120 MW bersifat darurat daripada memassalkan panel surya.
Lebih celaka lagi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) semula hanya menganggarkan pengembangan energi terbarukan dengan dana kutipan pembeli bahan bakar minyak—yang lalu dibatalkan—itu pun tak seluruhnya.
Kesibukan mengais-ngais di lumbung energi itu mengabaikan kekuatan masyarakat, terutama energi surya yang skalabilitasnya amat tinggi. Untuk kebutuhan rumah tangga, bisa memakai RoofTopPV atau panel surya di atap rumah, yang lagi ngetren, dengan sistem on-grid atau grid-connected. Melalui syncronous inverter, arus listrik searah hasil panel surya diubah jadi listrik bolak-balik sehingga bisa dikoneksikan jaringan listrik PLN.
Pembangkit surya Kupang memakai sistem on-grid ini sehingga sepanjang ada cahaya matahari, ladang panel surya itu bisa memasok listrik ke PLN. Saat uji coba, PLTS 5 MWp itu mampu menghasilkan 4 MW. Keuntungan sistem itu, tak butuh baterai atau aki yang investasi dan pemeliharaannya mahal.
Kelemahannya, untuk kondisi daya efektif Kupang yang hanya 68 MW, setiap petang sampai malam jaringan PLN kehilangan daya 4 MW atau 6 persen. Hilangnya daya secara serentak saat matahari tenggelam bisa diidentifikasi sebagai gangguan oleh unit pengaman, mengingat saat itu terjadi beban puncak.
Idealnya, sistem on-grid memiliki storage untuk menampung sebagian daya dari solar sel. Bisa berupa sederetan aki ataupun cara lain, seperti dengan memompa air yang saat malam hari digunakan menggerakkan mikrohidro dan masih ada banyak cara lagi untuk dikembangkan.
Memang on-grid lebih cocok untuk pembangkit rumahan meski untuk saat ini belum sepenuhnya bisa diterima pengelola jaringan listrik. Siapa pun percaya, PLN itu gudangnya insinyur kelistrikan, tetapi kenyataannya hanya sedikit orang lapangan yang menguasai masalah dan tentu itu amat negatif untuk bisa memberikan layanan yang baik, apalagi edukasi kepada masyarakat selaku pengguna.
Perlu diketahui, untuk memasang RoofTopPV yang on-grid diperlukan jenis meter pengukur ekspor-impor. Namun, masyarakat masih dipersulit, ada kesan penggunaan sel surya tidak menguntungkan PLN, padahal sebenarnya tidak demikian. Bahkan, untuk membangkitkan energi bersih itu ada warga yang ”dipaksa” mengubah jaringan rumahnya menjadi tiga fase terlebih dahulu tanpa aturan yang jelas.—AW SUBARKAH
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “PLTS Setengah Hati”.