“Kalau ditanya apakah takut kembali tinggal di sini, ya, takut. Rumah kami terlalu dekat dengan laut. Tetapi, kalau Allah telah menghendaki ajal kita, di mana pun tinggal akan mati juga. Di pantai mati, di gunung mati.”
Jirman (57), korban tsunami dari Kelurahan Merduati, Banda Aceh
Saya menemui Jirman tak lama setelah tsunami. Dia kehilangan istri dan tiga anak ketika tsunami melanda kampungnya pada Minggu pagi, 26 Desember 2004. Sebanyak 6.300 dari 7.000 warga Desa Merduati tewas. Jumlah itu tak seberapa dibandingkan total korban tewas di Aceh yang mencapai 160.000 jiwa. Namun, rendahnya persentase orang selamat di Merduati menunjukkan betapa rentan desa yang berjarak 2 kilometer dari pantai itu terhadap bahaya tsunami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hanya tiga bulan di pengungsian, Jirman memilih membangun tenda di bekas fondasi rumahnya. Dua tahun kemudian, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias mengganti tenda itu dengan rumah tembok. Ia mendapat dua rumah bantuan yang dijadikan satu. Di sana, ia membangun keluarga baru.
Tak semua korban tsunami bersikap seperti Jirman. Beberapa orang tak mau lagi tinggal di tepi pantai hingga bertahun-tahun kemudian. Namun, mayoritas korban tsunami di Aceh memilih kembali ke kampung halaman. Kini, 11 tahun setelah bencana itu, rumah-rumah baru tumbuh di sepanjang pesisir yang pernah dilanda tsunami: Banda Aceh, Aceh Besar, Calang, Meulaboh.
Tak hanya di Aceh, kecenderungan kembali ke tapak bencana merupakan fenomena umum di Indonesia. Di Pangandaran, Jawa Barat, pantai yang porak poranda dilanda tsunami pada 17 Juli 2006, misalnya, kembali disesaki penduduk. Demikian pula kampung-kampung yang dilanda letusan gunung.
Konsep risiko
Dari perspektif modern, sebagaimana Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sikap masyarakat kembali ke zona bahaya adalah menentang upaya pengurangan risiko bencana. Pilihan kembali ke tapak bencana itu berangkat dari cara pandang masyarakat tentang risiko, tentang konsep hidup dan mati, sehingga tak bisa diabaikan begitu saja. Kegagalan memahami masalah itu akan mengarah pada kegagalan manajemen penanggulangan bencana.
Sekalipun tsunami merupakan bencana alam, respons menghadapinya merupakan proses kebudayaan. Konstruksi sosial dalam memaknai risiko terhadap tsunami akan membedakan respons kita dalam menyikapinya.
Menurut survei Litbang Kompas pada 2011, hanya 8,4 persen dari 806 responden di delapan kota yang pernah dilanda gempa, tsunami, atau letusan gunung api yang memandang bencana bisa dimitigasi. Selebihnya 48,7 persen memandang bencana sebagai semata takdir yang tak bisa dihindari dan 42,9 persen berada dalam keterbelahan antara percaya takdir dan upaya mitigasi.
Mengaitkan bencana alam dengan keyakinan dan agama terus dipraktikkan masyarakat Indonesia hingga kini dan menjadi inti dari respons kita. Sikap pasrah menghadapi bencana membuat masyarakat Indonesia cenderung abai terhadap risiko, tetapi liat menghadapi trauma. Inilah yang menuntut pemahaman baru terhadap risiko bencana, yang seharusnya melahirkan teori dan konsep baru dalam manajemen bencana.–AHMAD ARIF
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul “Memaknai Tsunami”.