Mereka hanyalah titik-titik. Yang jauh dan tidak bermakna. Kalau mendadak berhenti bergerak, mereka hanyalah titik-titik.
Jack McCoy, “Law & Order”
Jack McCoy adalah asisten jaksa wilayah eksekutif dalam film seri Law & Order. Dalam episode ”Fluency”, McCoy meminta hukuman seberat-beratnya untuk penjahat pemalsu vaksin yang ulahnya telah menewaskan 19 anak. Pembela terdakwa berkelit. ”Yang Mulia, klien saya hanya menjual larutan garam. Itu substansi yang tidak berbahaya.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
McCoy menjawab dengan analogi film lama, The Third Man. Dalam film yang juga tentang pemalsu vaksin itu, ada adegan si penjahat naik kincir ria dengan temannya. Saat di puncak kincir, temannya bertanya, ”Mengapa engkau setega itu?”
Orson Welles, demikian nama penjahat dalam film itu, menjawab sambil menunjuk orang-orang yang jauh di bawah mereka. Tampak sangat kecil. ”Apakah engkau merasakan sesuatu, jika di antara noktah-noktah itu berhenti bergerak?”
McCoy, menyitir film itu, berkata kepada si terdakwa, ”Begitukah engkau melihat risiko vaksin palsumu pada pasien? Mereka hanya titik-titik bagimu. Jauh. Tidak bermakna. Kalaupun mereka berhenti bergerak, apa pedulimu?”
Hari-hari ini, kisah fiksi The Third Man dan Law & Order menjadi kisah nyata di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, pemalsuan vaksin itu telah berlangsung 13 tahun. Ironisnya, upaya pemerintah menenangkan masyarakat justru seperti si pembela di ranah fiksi. Kekhawatiran lebih pada tidak sterilnya vaksin palsu, bukan pada tiadanya kekebalan tubuh.
Dalam film, korban vaksin influenza palsu bisa segera diinvestigasi. Dalam kehidupan nyata, di Indonesia, metode epidemiologi bisa diterapkan sepanjang sistem administrasi dan rekam mediknya benar. Faktur pembelian obat dan vaksin bisa ditelusuri. Anak-anak yang divaksin, kapan, apa vaksinnya, dan bagaimana kondisi kesehatannya, seharusnya bisa dipetakan.
Pekan lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan, ada lima merek yang dipalsukan. Namun, pekan ini beredar kabar, paling tidak ada 12 merek yang dipalsukan, termasuk vaksin tuberkulosis, polio, hepatitis, serta DPT (difteri, pertusis, tetanus) untuk bayi dan anak balita.
Vaksinasi atau imunisasi adalah bagian dari upaya menurunkan angka kematian bayi dan anak balita yang masih tinggi. Namun, target imunisasi di Indonesia belum tercapai karena berbagai faktor. Menurut data Kementerian Kesehatan, cakupan imunisasi nasional tahun 2014 mencapai 86,8 persen, sementara target 90 persen. Di tingkat pedesaan, cakupan imunisasi bahkan hanya 82 persen.
Upaya imunisasi semakin terkendala oleh vaksin palsu. Pemerintah bisa saja mengatakan, masyarakat tak perlu resah karena vaksinasi bisa diulang. Namun, bagaimana jika anak terpapar penyakit saat tubuhnya tak terlindungi?
Kenyataan menunjukkan, masih ada kejadian luar biasa (KLB) polio di Sukabumi pada 2005. Padahal, pemerintah mengumumkan virus polio liar tidak ada lagi sejak 1995.
Tahun 2015, muncul KLB difteri di Padang, Sumatera Barat, dan Aceh. Di Padang, 62 orang diduga terinfeksi dengan 6 orang didiagnosis positif dan 2 orang meninggal. Di Aceh, 16 orang terinfeksi dan 2 orang meninggal (The Jakarta Post, 17/6).
Menurut Kepala BPOM (2001-2006) Sampurno, pemangkasan kewenangan BPOM memicu banyak pelanggaran. Selain menghukum pelaku seberat-beratnya, pengawasan harus dibenahi agar tak ada lagi korban.
Mereka bukan titik-titik. Mereka anak-anak tak berdosa, masa depan bangsa Indonesia.–AGNES ARISTIARINI
———–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Bencana Vaksin Palsu”.