Warisan pengetahuan dalam sejarah peradaban telah membentuk imaji tentang laut. Di era kolonialisme, laut adalah jalur kekuasaan. Pada kisah Nabi Musa, laut adalah jalan menuju ”dunia baru” (kebebasan). Pada banyak mitologi, laut adalah ”rumah dewa-dewi atau penguasa spiritual”. Di Tanah Jawa ada Nyai Roro Kidul, penguasa Laut Selatan yang turut menentukan nasib Tanah Jawa.
Pada perkembangan ilmu-ilmu positif, laut dipelajari dengan pendekatan multiaspek. Mulai dari fisika, kimia, biologi, model- model kelautan, biokimia, hingga proses di pantai dan tepian (shelf edge). Untuk menelisik kehidupan pada jutaan tahun lalu ada pendekatan ilmu kelautan purba (paleooseanografi).
Kisah pergulatan hidup manusia dengan laut selalu menarik. Laut adalah sumber makanan, laut menjadi jalan penghubung antar-ruang hidup, laut adalah jalan kekayaan dan kemakmuran. Sekitar abad ke-8 hingga abad ke-11, bangsa Viking—nenek moyang bangsa Skandinavia—membangun kehidupan berbasis budaya kelautan. Mereka menjelajah dan merampok hingga daratan Inggris.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada abad ke-15 muncul fajar kolonialisme. Berawal dari penjelajahan laut Bartholomeus Diaz, Christopher Columbus—penemu Benua Amerika—serta para pedagang Belanda
dan Portugis, mulailah era kolonialisme. Inggris, Belanda, Portugis, dan Spanyol menguasai negara-negara di benua-benua Amerika, Afrika, dan Asia.
Penjelajahan mengarungi samudra membuka cakrawala pengetahuan manusia akan laut bukan hanya sebagai jalur transportasi. Fiksi ilmiah Jules Verne, 20.000 Leagues Under the Sea, menyentuh soal keanekaragaman hayati laut. Misi ekspedisi penjelajah dan arkeolog Thor Heyerdahl telah membuktikan adanya arus laut utama.
Seiring kemajuan ilmu pengetahuan, terungkap bahwa proses serta kondisi fisika, kimia, dan biologi di lautan tak dapat dipisahkan dari aktivitas manusia yang hidup di daratan. Kemajuan teknologi yang berkembang cepat bak bola salju sejak Revolusi Industri pada abad ke-18 industri membawa manusia sebagai ”penguasa” atas alam. Laut tak luput menjadi obyeknya.
Pada 1950-an terjadi revolusi penangkapan ikan. Peralatan tradisional berganti dengan peralatan modern yang lebih canggih, lebih efisien, dan mampu menangkap lebih banyak ikan. Ancaman pada keragaman hayati di lautan tak terhindarkan.
Aktivitas manusia mengeksploitasi sumber daya alam di hutan dan lautan, yang terakhir ini meningkat pesat beberapa dekade, secara luar biasa mengubah kondisi fisik dan kimia lautan. Aktivitas manusia tersebut juga meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca penyebab pemanasan global yang mengganggu kelestarian aneka kehidupan di samudra.
Luas lautan yang sekitar 71,1 persen dari luas bumi telah melahirkan persepsi keliru. Semua hal tentang lautan dianggap tak terbatas dan bersifat berkelanjutan. Akibatnya, terjadilah perusakan masif pada tubuh laut. Mulai dari tes nuklir hingga pembuangan berbagai jenis sampah.
Semua persoalan kelautan di atas amat dekat dengan kita, Indonesia. Dengan 75,32 persen wilayah Indonesia berupa lautan, Indonesia sepantasnya mengedepankan penelitian kelautan secara masif, komprehensif, dan terfokus. Laut alat untuk berjaya, laut juga alat untuk mewujudkan kemakmuran. Catatan pentingnya: eksistensi laut demikian dekat dengan eksistensi manusia.
Oleh: Bbrigitta Isworo Laksmi
Sumber: Kompas, 23 Juli 2014