Restorasi gambut Indonesia menarik minat para pakar di Jepang untuk mengaplikasikan riset. Strategi pembasahan dan pemantauan gambut ditekankan tetap melibatkan dan membantu kesejahteraan masyarakat.
“Perlu memanfaatkan seluruh ilmu pengetahuan dalam upaya restorasi gambut di Indonesia,” kata Guru Besar Universitas Kyoto yang juga Kepala Pusat Kajian Asia Tenggara (CSEAS) Kosuke Mizuno seperti dilaporkan wartawan Kompas, Ichwan Susanto, dari Kyoto, Senin (25/4).
Hari itu, Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead, Rektor Universitas Kyoto Juichi Yamagiwa, dan Rektor National Institute for Humanities Tachimoto Narifumi mengeluarkan pernyataan bersama mengawali kerja sama riset dan aplikasi di lapangan. Hadir pula Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pernyataan bersama itu menegaskan bahwa restorasi gambut penting. Kebakaran hutan dan lahan membuat 43 juta jiwa terpapar asap, 500.000 orang sakit pernapasan, dan belasan orang meninggal. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada 2015 melepaskan emisi karbon di atas emisi Jepang pada 2013.
Kerja sama Indonesia-Jepang akan dilanjutkan dengan penandatanganan nota kesepahaman di Jakarta, Juni 2016. Intinya, mereka sepakat restorasi dilakukan dengan pembasahan dan tetap memprioritaskan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead (kanan), Senin (25/4), di Kyoto, Jepang, berjabat tangan dengan Narifumi Tachimoto, Presiden National Institute for Humanities (NIHU), disaksikan Rektor Universitas Kyoto Juichi Yamagiwa. Mereka menyepakati pernyataan bersama tentang kelanjutan riset gambut di Indonesia.
Mizuno mengatakan, sejak 2008, pihaknya bekerja sama riset dengan Universitas Riau. Pada 2010, kerja sama dilanjutkan dengan pembasahan di Tanjung Leban, Bengkalis, Provinsi Riau.
“Kalau basah, revegetasi masuk dan mendatangkan hasil bagi masyarakat,” ujarnya. Dia mencontohkan tanaman jelutung yang getahnya bisa dimanfaatkan. Ada juga sagu dan meranti.
Menurut Nazir Foead, kerja sama dan penelitian Jepang dengan Indonesia-yang nantinya terbuka bagi negara/institusi lain-unik. “Penelitian tidak hanya riset ilmiah untuk publikasi. Ada monitor untuk mengoreksi aksi-aksi di lapangan yang hasilnya tak sesuai harapan,” ujarnya.
Tahun mendatang, replikasi dan kerja sama dikembangkan di enam provinsi lain. (ICH)
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 April 2016, di halaman 14 dengan judul “BRG Gandeng Ahli dari Jepang”.