Pembukaan fakultas kedokteran oleh perguruan-perguruan tinggi negeri dan swasta akhir-akhir ini menjamur sehingga menimbulkan kekhawatiran adanya persepsi yang salah mengenai pendidikan kedokteran di Indonesia.
Persepsi yang berkembang di masyarakat adalah bahwa fakultas kedokteran akan mendatangkan pendapatan cukup besar bagi perguruan tinggi dan dengan cara yang sangat mudah, yaitu dengan menerapkan uang pendaftaran dan uang kuliah yang sangat tinggi kepada para calon mahasiswa.
Besaran uang tersebut bahkan mencapai ratusan juta rupiah, suatu besaran yang sangat tidak manusiawi dan tidak sepatutnya diberlakukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Motif komersial
Animo masyarakat untuk masuk fakultas kedokteran sangat tinggi, bahkan mereka bersedia membayar berapa pun asalkan diterima sebagai mahasiswa kedokteran. Mereka beranggapan, pekerjaan sebagai dokter akan menghasilkan pendapatan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan profesi-profesi lainnya.
Perguruan tinggi mengantisipasi gejala tersebut dengan mengajukan pembukaan fakultas kedokteran. Karena motifnya hanya mencari uang, perguruan tinggi menghalalkan segala cara untuk mendapatkan izin pembukaan fakultas kedokteran, bahkan apabila perlu melanggar ketentuan yang berlaku. Pada saat ini sedang terjadi komersialisasi pendidikan kedokteran yang jika dibiarkan terus akan menjatuhkan reputasi pendidikan kedokteran Indonesia.
Pada saat ini telah ada 75 fakultas kedokteran dan jumlah tersebut sudah terlalu banyak. Idealnya Indonesia hanya perlu 30-35 fakultas kedokteran. Jumlah dokter saat ini sudah mencukupi jika dilihat dari perbandingan dengan jumlah penduduk. Masalah distribusi dokter sampai saat ini belum terselesaikan sehingga banyak daerah kekurangan dokter, sedangkan sebaliknya di kota besar terjadi penumpukan dokter.
Adanya kekurangan dokter di daerah dijadikan dalih oleh pemda dan perguruan tinggi setempat untuk mengajukan pembukaan fakultas kedokteran meskipun perguruan tinggi pengusul tidak mempunyai kompetensi dan kapasitas sama sekali untuk menyelenggarakan pendidikan dokter. Banyak pengusul yang hanya mengandalkan dana besar untuk merekrut tenaga pengajar untuk membangun fasilitas fisik dan membeli rumah sakit.
Pembukaan fakultas kedokteran diibaratkan seperti membuka toko dengan hanya menyediakan fasilitas fisik dan tenaga pelaksana. Padahal, kegiatan pendidikan apa pun bidang keahliannya memerlukan panggilan hati (passion), baik dosennya maupun mahasiswanya. Dapat dibayangkan apabila pendidikan dokter dilaksanakan tanpa panggilan hati, maka tujuan mulia pengabdian seorang dokter tidak akan terwujud.
Krisis kompetensi
Fakta menunjukkan bahwa ke 75 fakultas kedokteran mempunyai kesenjangan mutu yang sangat besar, sebagian besar masih terakreditasi C, sebagian besar masih mengalami kesulitan dalam ujian kompetensi dokter, bahkan sebagian besar mahasiswa yang mengulang ujian (retaker) sudah mengulang berkali- kali dan tetap tidak lulus. Mereka ini tidak akan pernah lulus karena memang tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk menjadi seorang dokter.
Hal ini karena proses seleksi mahasiswa baru tidak dilakukan secara teliti di mana banyak mahasiswa diterima walaupun tidak memenuhi syarat karena hanya mengejar jumlah atau kuota agar memperoleh uang yang cukup besar dari mahasiswa baru. Inilah gambaran sulitnya mengelola pendidikan dokter yang dilakukan secara massal dengan membiarkan banyaknya fakultas kedokteran yang beroperasi.
Aspek kualitas dan keselamatan publik telah dikesampingkan oleh sebagian besar pengusul pembukaan fakultas kedokteran, mereka hanya peduli dengan besarnya uang yang akan mereka terima. Hal ini yang akan menimbulkan bom waktu karena pada saat ini sudah ada puluhan usulan pembukaan fakultas kedokteran baru yang telah diajukan kepada pemerintah, dan jumlah tersebut akan meningkat terus karena mereka terbuai dengan besaran uang yang menggiurkan.
Pembukaan fakultas kedokteran telah menjadi bisnis pendidikan yang sangat komersial dan hal ini akan menjatuhkan hakikat pendidikan dokter. Sudah saatnya negara menyatakan bahwa tidak ada lagi pembukaan fakultas kedokteran baru. Tidak hanya itu, bahkan fakultas kedokteran yang ada sekarang ini pun perlu dievaluasi ulang keberadaannya, dan apabila perlu sebagian besar ditutup.
Satryo Soemantri Brodjonegoro, Dirjen Dikti (1999-2007) dan wakil ketua II Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 April 2016, di halaman 6 dengan judul “Bom Waktu Fakultas Kedokteran”.