Di tengah tuntutan lahirnya kebijakan yang berbasis riset, dunia penelitian terhadang paradigma birokratis. Pengurusan izin larut dalam prosedural, tetapi kemudian tidak menopang substansi dari penelitian itu sendiri.
Munculnya polemik seputar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian patut menjadi koreksi terhadap birokrasi riset di negeri ini.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng di Jakarta, Senin (12/2), mengatakan, permendagri yang merupakan pembaruan dari Permendagri Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Penerbitan Rekomendasi Penelitian itu memang akhirnya dibatalkan setelah menuai polemik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, secara esensial, regulasi penelitian cenderung prosedural, tetapi tak berpijak pada subtansi dan realitas. Pengurusan izin penelitian tak memastikan adanya jaminan perlindungan hukum dan keamanan bagi peneliti serta terhambatnya akses data dan narasumber. ”Sudah rumit, hasil penelitian pun tidak dijamin akan digunakan untuk menghasilkan kebijakan publik yang berbasis riset,” katanya.
Kompas/Ester Lince Napitupulu–Lembaga riset Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) memaparkan kajian soal birokrasi penelitian di Indonesia yang menghambat ekosistem penelitian. KPPOD meminta agar Permendagri soal ijin atau rekomendasi penelitian dicabut saja.
Ia mengatakan, birokrasi penelitian sudah menjadi masalah klasik, jauh sebelum adanya Permendagri No 3 Tahun 2018 yang pekan lalu sudah dicabut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Namun, ketika peraturannya kembali ke yang lama, iklim birokrasi penelitian pun tidak lebih baik dan subtantif. ”Kami mendesak agar kewajiban untuk mengurus rekomendasi/izin penelitian dihapus saja,” katanya.
Ia mencontohkan, bagaimana China dan Malaysia yang tidak kental birokratis bagi penelitian di dalam negeri, ekosistem penelitiannya tumbuh pesat.
Menurut Robert, aturan soal izin penelitian sudah ada sejak 1972. Pendekatannya lebih pada keamanan, dengan adanya pengendalian agar hasil riset jangan sampai mengancam kesatuan dan keamanan negara.
Robert mengatakan, dibatalkannya permendagri terbaru soal izin penelitian menunjukkan lemahnya kesadaran akan kebijakan publik berbasis riset di negeri ini. Permendagri mengatur obyek peneliti maupun lembaga penelitian. Namun, penyusunan peraturan itu tidak melibatkan peneliti.
”Adanya izin yang diurus mulai dari Kemdagri hingga tingkat pemerintah daerah, nyatanya tidak mendukung kelancaran proses riset. Seharusnya, urusan riset ini murni dipandang urusan akademik untuk mendukung produksi ilmu pengetahuan. Semestinya diserahkan saja ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi,” kata Robert.
KPPOD melaksanakan studi kasus bertajuk ”Birokrasi Izin Penelitian di Indonesia” di dua provinsi, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta) serta Jawa Timur (Kabupaten Malang dan Kota Surabaya).
Dari lapangan ditemukan bahwa soal ketentuan izin ini, ada peneliti atau lembaga riset yang mengetahui dan patuh mengurus izin, ada yang tidak peduli, ada yang awalnya tidak tahu, tetapi akhirnya mengurus izin.
”Pengurusan izin ini berbeda-beda di tiap daerah, mulai dari instansi yang berwenang, waktu pengurusan yang tidak pasti, hingga masa berlaku yang berbeda. Hal-hal administratif seperti ini menghambat tumbuh kembangnya ekosistem penelitian yang sehat di Indonesia.
”Padahal, negara yang maju di era sekarang harus kuat dalam riset dan inovasi,” ujar peneliti KPPOD, Boedi Rheza.
Tak realistis
Menurut Boedi, dari kajian terungkap tidak adanya dampak signifikan bagi kemajuan riset dari adanya keharusan izin dari Kemdagri hingga pemerintah daerah. Peneliti juga tidak mendapatkan adanya jaminan keamanan dan perlindungan hukum serta terhambatnya akses data dan narasumber. ”Pencarian data dan narasumber sering kali terhambat karena harus izin ada ini dan itu. Jika penelitian sampai tingkat lurah, izin bisa sampai hampir sebulan. Padahal, sudah ada UU Keterbukaan Informasi Publik yang menjamin informasi yang dapat diakses publik mudah didapatkan,” kata Boedi.
Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Asep Saefudin mengatakan, riset jangan terlalu banyak diatur. ”Peneliti tak perlu dicurigai atau dianggap sedang melakukan kegiatan mata-mata. Ilmu pengetahuan dan teknologi
Jangan dikibin “ribet”
Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Asep Saefudin mengatakan sehubungan denga aturan izin penelitian dari Kemdagri, sebaiknya riset itu jangan terlalu banyak diatur. “Peneliti jangan selalu dicurigai atau dianggap sedang melakukan kegiatan mata-mata. Ilmu pengetahuan dan teknologi hasil inovasi dan riset itu akan berkembang bila birokrasinya tidak ribet. Kita harus menumbuhkan rasa percaya kepada ilmuwan. Jadi, jangan dibikin ribet aturannya,”ujar Asep yang juga Rektor Al Azhar Indonesia.
Asep yang juga Guru besar Statsitik Institut pertaniuan Bogor mengatakan akan sulit bagi Indonesia untuk masuk dalam jajaran negara dengan indeks inovasi yang tinggi bila pemerintah terlalu banyak mengatur jalannya riset. “Para peneliti harus diberi ruang kebebasan yang luas. Mereka melakukan kegiatan untuk penemuan baru, pembangkitan dan pengembangan ilmu, bukan berpolitik,”kata Asep.
Menurut Asep, ketenmtuan izin riset dari Kemdagri jelas-jelas bertolak belakang dengan Kemenristekdikti yang sedang gencar-gencarnya mendorong inovasi dan riset untuk pengembangan ilmu pengetahuan. (ELN)–ESTER LINCE NAPITUPULU
Sumber: Kompas, 13 Februari 2018