Belajar dari Masa Lalu untuk Masa Depan

- Editor

Kamis, 21 November 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Selain menewaskan 30 orang, gempa bermagnitudo 6,5 mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya juga merusak ratusan rumah. Di Desa Liang, seperti terpantau pada Selasa (1/10/2019), banyak rumah dalam kondisi rata dengan tanah. Rumah-rumah itu tidak dibangun dengan konstruksi yang kuat. Ada bangunan yang sama sekali tidak ditopang besi, dan ada yang hanya ditahan satu urat besi di setiap tiangnya. Sementara rumah lain yang dibangun dengan konstruksi standar masih kokoh berdiri.



KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN (FRN)

01-10-2019

Selain menewaskan 30 orang, gempa bermagnitudo 6,5 mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya juga merusak ratusan rumah. Di Desa Liang, seperti terpantau pada Selasa (1/10/2019), banyak rumah dalam kondisi rata dengan tanah. Rumah-rumah itu tidak dibangun dengan konstruksi yang kuat. Ada bangunan yang sama sekali tidak ditopang besi, dan ada yang hanya ditahan satu urat besi di setiap tiangnya. Sementara rumah lain yang dibangun dengan konstruksi standar masih kokoh berdiri. KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN (FRN) 01-10-2019

Gempa bumi yang telah menjadi siklus berulang di negeri ini telah melahirkan pengetahuan dan teknologi untuk menyiasatinya. Pemahaman mengenai sejarah kawasan dan belajar dari kegagalan maupun kesuksesan strategi mitigasi sebelumnya, menjadi kunci untuk selamat dari ancaman bencana ke depan.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN–Hein Bakarbessy (71) mengayam daun sagu untuk bahan bangunan rumah tahan gempa. Korban gempa itu ditemui di lokasi pengungsian Desa Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, pada Selasa (19/12/2019).

Berada di zona pertemuan tiga lempeng besar dunia, hampir tak ada tempat yang aman dari gempa bumi di negeri ini. Sebagian gempa bumi juga memicu tsunami dan likuefaksi seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Gegar Prasetya dalam penelitiannya yang diterbitkan di jurnal Natural Hazard (2001) menyebutkan, 14 kejadian tsunami terjadi di kawasan ini dari tahun 1820 hingga 1882. Adapun sejak 1927 hingga 2001 telah terjadi enam kali tsunami di kawasan ini. Ditambah dengan kejadian kali ini, berarti total kejadian tsunami di kawasan ini sudah 19 kali dari tahun 1820 hingga 2018. Jumlah ini merupakan yang terbanyak di Indonesia.

Demikian halnya, fenomena tanah runtuh dan pergeseran tanah setelah gempa rupanya telah berulangkali terjadi di Sulawesi Tengah. “Ayah kami pernah cerita, tahun 1972 kampung kami pindah karena terjadi pergeseran tanah setelah terjadi gempa,” kata Sekretaris Desa Lonca, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Tomy Dedu, yang ditemui Minggu (17/11/2019).

Penelusuran di arsip berita Kompas mengonfirmasi pengakuan Tomy. Berita pada 14 Maret 1985 berjudul “Muka Bumi Sulteng Berubah Akibat Gempa” menyebutkan, sekitar satu kilometer tanah perbukitan di Dusun Kanuna, Desa Siwongi sekitar 121 kilometer Kota Palu, runtuh sesaat setelah terjadi gempa.

Dalam artikel yang sama disebutkan, fenomena serupa pernah terjadi di masa lalu, yaitu ketika terjadi gempa tahun 1972, penduduk Desa Lonca terpaksa pindah karena terjadi pergeseran tanah hingga 1.500 meter. Desa ini lalu pindah ke lapangan bola yang dijadikan tempat permukiman baru hingga kini. Perpindahan warga juga terjadi di Desa Tompibangka, Kulawi, setelah gempa bumi tahun 1973.

Perulangan bencana di masa lalu dipastikan memengaruhi migrasi dan pola ruang. Masyarakat tradisional di Indonesia cenderung berpindah-pindah untuk menghindari zona bahaya. Itu menyebabkan pesisir Kota Palu di masa lalu relatif sepi dari peradaban. Penduduk asli di Sulawesi Tengah cenderung tinggal di dataran tinggi di pedalaman seperti Kulawi atau Pipikoro.

Konstruksi-Rawan-Roboh_83588478_1569942006-720x405.jpgKOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN–Selain menewaskan 30 orang, gempa bermagnitudo 6,5 yang mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya juga merusak ratusan rumah. Di Desa Liang, Selasa (1/10/2019), banyak rumah rata dengan tanah. Rumah-rumah itu tidak dibangun dengan konstruksi yang kuat. Ada bangunan yang sama sekali tidak ditopang besi. Ada pula yang hanya ditahan satu urat besi di setiap tiangnya.

Fenomena serupa terjadi di pantai barat Sumatera dan selatan Jawa hingga Bali. Pola keruangan yang menjauh dari Pantai Selatan Jawa yang rawan tsunami masih terjadi hingga abad ke-19. Berdasarkan peta Belanda tahun 1800-an, lokasi permukiman di pantai selatan Jawa cenderung berjarak dari pantai.

Pertumbuhan kawasan di selatan Jawa baru terjadi setelah Belanda membangun pelabuhan di Cilacap pada tahun 1840. Hingga awal 1900-an, di kawasan pesisir selatan Jawa, hanya Cilacap yang berkembang. Seperti ditulis Ahmad Wongsosewodjo dalam bukunya Tanah Djawa Keradjaan Lama (1937), ”Di pantai selatan seluruh tanah Jawa, hanya sebuah negeri Cilacap sajalah bandar pelabuan yang diperbaiki gubermen dan yang disinggahi kapal.”

20191120-H10-ARS-Rumah-Gempa-mumed_1574266565.pngSiklus tsunami besar yang melanda pesisir Nusantara di masa lalu memengaruhi pola keruangan. Contohnya, peradaban besar di Sumatera hampir semuanya tumbuh di sepanjang pantai timur yang aman dari bencana, mulai dari Kerajaan Sriwijaya, Melayu-Riau, hingga Samudera Pasai. Bahkan, akses utama ke Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau melalui sungai-sungai di pantai timur, dibandingkan pantai barat Sumatera.

Hal itu menyebabkan, tsunami-tsunami besar yang berulang kali melanda pantai barat Sumatera di masa lalu, tak berdampak signifikan pada masyarakat lokalnya. Catatan kolonial menyebutkan, pada 10 Februari 1797 pukul 22.00 malam, terjadi gempa bumi yang disusul tsunami yang menghancurkan permukiman di Air Manis (Padang Selatan) dan menewaskan 300 orang, yang patut diduga sebagian besar di antaranya pendatang (Soloviev dan Go, 1974).

Hingga tahun 1797 itu, pesisir Padang sepi penduduk karena orang Minang aslinya tinggal di pedalaman Bukit Barisan. Peta kuno Belanda tahun1781 menunjukkan, permukiman masyarakat lokal hanya ada di sisi selatan Batang Arau, di kaki Gunung Padang (Apenberg) sekitar 2 kilometer dari pantai.

Namun, kini Padang tumbuh jadi kota pesisir. Sekitar 830.000 penduduknya kini tinggal di tepi pantai barat Sumatera yang rentan terdampak tsunami. Jadi, dibandingkan 222 tahun lalu, risiko gempa dan tsunami di Kota Padang, yang saat ini menghadapi ancaman gempa bumi dari segmen Mentawai yang dianggap telah mendekati siklusnya, jelas berlipat.

20190526-H10-BET-Rumah-Tahan-Gempa-mumed_1558886047 1.pngFenomena serupa terjadi di pesisir selatan Jawa yang menghadapi ancaman gempa dan tsunami. Selain faktor perdagangan dan kolonial, pertumbuhan penduduk ke zona rentan tsunami ini juga dipicu siklus bencana yang panjang.

Setelah letusan Gunung Krakatau diikuti tsunami pada tahun 1883 yang menewaskan lebih dari 36.000 jiwa, geologi Indonesia memasuki fase tenang. Pada periode inilah pertumbuhan penduduk melonjak dari 25 juta jiwa pada tahun 1885 menjadi 205 juta jiwa pada tahun 2000, sebagian besar di antaranya tinggal di pesisir (Reid, 2016).

Pertumbuhan penduduk itu meningkatkan kerentanan, seperti terlihat dalam 15 tahun terakhir, korban jiwa akibat gempa dan tsunami di negeri ini lebih dari 200 ribu jiwa. Mayoritas korban terjadi karena penduduk di zona bahaya tidak lagi memiliki pengetahuan tentang risiko dan bagaimana memitigasi bencana, yang sebenarnya telah dimiliki leluhur kita.

Tahan gempa
Sebagaimana perubahan tata ruang, pergeseran juga terjadi dalam hal teknologi bangunan. “Saat gempa 28 September 2018 lalu, rumah-rumah adat dari kayu itu seperti menertawakan bangunan-bangunan tembok yang roboh. Lobo (rumah adat) di desa kami masih utuh, tidak ada yang rusak,” kata Kepala Desa Bola Dangko, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah Roni Tohama, Minggu (18/11/2019).

Tak hanya di Sulawesi Tengah, rumah-rumah tradisional di Nias, Aceh, Batak, Karo, Minang, Flores, Jawa, Sumba, hingga Lombok terbukti mampu bertahan dari berbagai kejadian gempa. Rumah-rumah tradisional di Bayan yang tak jauh dari pusat gempa Lombok pada 2018 lalu, misalnya, kebanyakan masih utuh, sementara rumah-rumah tembok telah roboh. Bahkan, Masjid Kuno Bayan Beleq dari kayu dan bambu yang berumur sekitar 300 tahun masih tegak berdiri.

Rumah-rumah tradisional, meski bentuknya beragam, memiliki kesamaan pada penggunaan konstruksi kayu, dinding bambu atau papan, sambungan pasak atau teknik ikat, dan tiang yang ditumpukkan di atas batu atau fondasi umpak. Gaya lateral gempa diserap fondasi rumah yang bersendi dinamis.

William Marsden (1783) menulis, ”Alasan kuat mengapa rumah-rumah memakai material kayu adalah karena seringnya gempa. Bangunan kayu di Sumatera tahan gempa, penduduk aman.”

Namun seiring waktu pengetahuan lokal masyarakat tentang bangunan tahan gempa perlahan ditinggalkan. Di Kulawi, menurut penuturan Roni, terjadi sejak tahun 1980-an. “Tahun 1980-an, datang pemerintah yang menyatakan bahwa rumah-rumah kayu ini tidak layak huni dan tidak sehat. Sejak saat itu, rumah-rumah kayu berubah menjadi tembok bata atau batako yang akhirnya banyak hancur saat gempa 2018 lalu,” ungkapnya.

Bangunan dari tembok sebenarnya bisa tahan gempa asal diperkuat dengan tulangan dan teknik sambungan yang sesuai standar. Namun, tranformasi dari prinsip membangun rumah tahan gempa yang dimiliki arsitektur tradisional kita ke bangunan modern itu tak terjadi. Demikian halnya, perpindahan penduduk dari zona aman ke zona bahaya di pesisir kerap kali tidak diikuti dengan pengetahuan tentang risiko yang harus dikelola.

Oleh AHMAD ARIF

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 21 November 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB