Bekal Ilmu Tahan Gempa bagi Tukang di Sulteng

- Editor

Senin, 16 Desember 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Konstruksi rumah tahan gempa selama ini seolah terasa jauh bagi para tukang bangunan. Mereka tak dibekali keterampilan yang sangat dibutuhkan di negeri rawan bencana

Konstruksi rumah tahan gempa selama ini seolah terasa jauh bagi para tukang bangunan, garda terdepan dalam setiap pembangunan rumah rakyat. Mereka tak dibekali keterampilan yang sangat dibutuhkan di negeri rawan bencana ini. Kini, perlahan para tukang dibekali kemampuan yang menjadi aplikasi nyata dalam mitigasi bencana gempa.

KOMPAS/VIDELIS JEMALI–Seorang tukang menyemprotkan coran untuk memperkuat paku payung yang ditambatkan pada kawat dalam pelatihan membangun rumah tembok tahan gempa dengan balutan ferosemen, Selasa (3/12/2019), di Desa Rogo, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Burhan Arif Ladcai (45) berdiri dengan tatapan kosong, persis di bekas dinding rumahnya dulu. Dinding sepanjang 7 meter setinggi 3 meter itu ambruk karena gempa bermagnitudo 7,4 yang melanda Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 lalu. Beruntung, saat gempa, tak ada anggota keluarga di rumah.

”Bagaimana saya bangun lagi rumah ini nanti?” ujar tukang bangunan Desa Bulubete, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulteng, itu, Selasa (3/12/2019), mengulang ucapannya sesaat setelah gempa setahun lalu.

Dinding utama di sisi timur rumah itu hingga kini belum diperbaiki. Puing telah dibuang. Yang tersisa dari dinding tersebut hanya satu tiang beton kecil. Tak hanya dinding utama, sebagian dinding antara dapur dan ruang utama rumah yang belum sempat diplester itu pun ikut roboh.

”Beruntung, saat gempa, tak ada anggota keluarga di rumah,” ujar Burhan yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi tukang bangunan itu. Rumah berukuran 9 meter x 7 meter itu dibangun Burhan 10 tahun silam. Saat membangun dulu, tak terlintas pikiran rancangan konstruksi tahan gempa. Burhan, seperti kebanyakan warga Dolo Selatan, sebelum bencana tak tahu bahwa daerah itu rawan gempa.

Kerangka tiang rumah Burhan dari besi berdiameter 8 milimeter (mm) dengan behel besi 6 mm. Padahal, merujuk konstruksi standar, tiang besi minimal berukuran 10 mm dan behel 8 mm. Campuran beton yang dipakai pun jauh dari standar, yakni satu zak semen diaduk dengan 10 ember pasir.

Berdasarkan pengalaman itu, Burhan bersama 111 tukang dan delapan perempuan di Sigi tak menyia-nyiakan saat ada kesempatan belajar membangun rumah tahan gempa, 2-4 Desember 2019. Para tukang berasal dari enam desa, antara lain Desa Rogo, Bulubete, Kaleke (Kecamatan Dolo Barat), dan Salua (Kulawi).

”Saya tidak tahu seperti apa rumah tahan gempa. Selama ini, kami hanya dengar-dengar, tetapi persisnya tidak tahu,” ujar bapak enam anak itu. Saat gempa yang memicu tsunami dan likuefaksi melanda Kota Palu, Sigi, dan Donggala, 14 bulan lalu, tak kurang dari 4.800 orang tewas, di antaranya karena tertimpa reruntuhan elemen rumah. Jumlah rumah atau bangunan yang rusak tercatat sebanyak 110.000 unit.

Kegiatan yang berlangsung di Desa Rogo, Kecamatan Dolo Selatan, itu diselenggarakan Adventist Development and Relief Agency (ADRA) didukung Kerk in Actie, Help International, dan Czech Republic Humanitarian. Pelatihan diberikan oleh Teddy Boen, ahli yang memperkenalkan rumah tembok atau beton tahan gempa dengan balutan ferosemen.

Ferosemen merupakan rekayasa konstruksi tahan gempa dengan tambahan rajutan kawat pada sisi luar dan dalam dinding rumah. Kawat yang dipakai berdiameter 1 mm dan dirangkai atau dirajut berjarak 1 sentimeter dari dinding. Kawat anyam bagian luar dan dalam dinding kemudian dirangkai dengan kawat ikat. Karena melapisi dinding dua kali, gambaran konsep ini kira-kira mirip dengan sandwich.

Setelah kawat dipasang, tembok atau dinding bata dicor dengan campuran semen dan pasir dalam formula 1:3 (satu takaran semen, tiga takaran pasir). Dengan balutan ferosemen, rumah tak perlu memiliki tiang atau kolom. Kekuatan rumah akan ditopang oleh tembok atau dindingnya itu.

Lebih murah
Manajer Proyek ADRA Samson menyebutkan, berdasarkan rumah contoh yang sudah dibangun berukuran 6 meter x 6 meter, biaya yang dihabiskan Rp 48 juta. Itu lebih murah dari alokasi satu rumah atau hunian tetap penyintas bencana yang dibangun pemerintah dengan dana Rp 50 juta per unit.

Selain ADRA, pelatihan untuk para tukang juga dilakukan oleh Arsitek Komunitas (Arkom) dan lembaga swadaya masyarakat lain yang terlibat dalam penanganan pascabencana di Sulteng. Sebelum pelatihan di Sulteng, ADRA dan Teddy Boen juga pernah menggelar pelatihan serupa di Padang, Sumatera Barat, pascagempa 2009.

Setelah mendapat pelatihan, Burhan bertekad untuk memperbaiki lagi rumahnya dengan tambahan ferosemen. Ia akan memanfaatkan dana stimulan perbaikan rumah dari pemerintah untuk membangun rumah tahan gempa. ”Saya sudah paham cara membuatnya. Biar dikerjakan bertahap nantinya. Saya tidak mau anggota keluarga saya terjadi apa-apa karena runtuhan dinding lagi saat gempa terjadi,” ujarnya.

Selain diterapkan sendiri, rumah tahan gempa dengan balutan ferosemen itu juga akan ditawarkan kepada pengguna jasa tukang. ”Dengan bekal pelatihan, kami bisa tawarkan ini kepada masyarakat. Kalau dihitung-hitung, biaya tambahannya tak terlalu besar juga,” ucap Abdurahman (28), tukang asal Desa Baluase.

KOMPAS/VIDELIS JEMALI–Tampak rumah contoh yang dibangun dengan dinding dalam dan luar dilapisi ferosemen agar tahan gempa di Desa Rogo (bawah). Rumah berukuran 6 meter x 6 meter itu dibangun dengan biaya sekitar Rp 48 juta.

Nawir (52), tukang berpengalaman dari Desa Salua, Kulawi, yakin lapisan ferosemen menguatkan struktur dinding. Dua lapisan itu mencengkeram dinding sehingga menjadi sulit roboh. ”Kalau logika pertukangan, paling mungkin hanya retak. Nah, ini melindungi penghuni rumah, baik saat masih di dalam rumah maupun saat lari ketika bencana terjadi,” ujarnya.

Teddy menuturkan, untuk rumah rakyat, kekuatan utamanya dinding. ”Saat gempa terjadi, dinding itu pula yang mematikan penghuni rumah. Ferosemen memperkuat dinding tersebut agar tak roboh,” ucapnya. Tak hanya untuk rumah yang baru dibangun, rekayasa ferosemen juga bisa dipakai untuk memperkuat bangunan atau rumah yang sudah ada. Ini bisa dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi keuangan keluarga. Kamar tidur bisa diprioritaskan, mengantisipasi bencana saat malam hari.

Bagi Teddy, rumah tahan gempa menjadi tempat yang aman bagi penghuninya. Saat gempa, orang tak perlu jauh dari rumahnya (mengungsi) karena rumah dijamin tak rusak. Rumah tahan gempa dengan lapisan ferosemen sudah diuji coba di Jepang pada 2014. Saat diberi guncangan JMA Kobe 2g, rumah tak roboh.

Adapun rumah lain tanpa lapisan ferosemen ambruk. JMA Kobe 2g adalah ukuran getaran gempa yang setara skala intensitas guncangan X (sepuluh) MMI ke atas. Sebagai gambaran, intensitas gempa Sulteng pada September 2018 adalah skala VII-VIII MMI. Teddy mengingatkan, pendampingan teknis konstruksi rumah tahan gempa kepada warga menjadi prioritas karena kerawanan Indonesia akan gempa. Langkah itu ditempuh agar masyarakat tak mengalami musibah yang sama setiap kali gempa terjadi.

Hal itu juga bisa membantu keuangan negara karena mengurangi biaya rekonstruksi pascabencana. Sekadar ilustrasi, untuk membangun kembali rumah rusak berat sebanyak 15.000 unit di Sulteng, pemerintah menggelontorkan dana stimulan Rp 750 miliar. Teddy pun tak setuju dengan munculnya model rumah tahan gempa belakangan, tetapi dikomersialisasikan. Seharusnya desain itu dikenalkan kepada warga secara gratis sebagai bentuk mitigasi bencana.

Setelah pelatihan ini, para tukang akan diuji keterampilannya memperkuat rumah yang telah dibangun dengan ferosemen. Itu sekaligus cara menyosialisasikan rumah tahan gempa kepada masyarakat luas agar menjadi pilihan dalam membangun rumah. Rumah tempat menata kehidupan keluarga menjadi lebih baik. Karena itu, rumah harus terlebih dahulu dijamin aman, termasuk dari guncangan gempa. Dan, peran para tukang bangunan pun menjadi sangat krusial.

Oleh VIDELIS JEMALI

Sumber: Kompas, 16 Desember 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 16 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB