Ayu Savitri menemukan 22 keong endemik di tanah Jawa berukuran mikro. Ia adalah satu dari sangat sedikit peneliti Indonesia yang bertahun-tahun meneliti keong darat.
Ketika remaja Ayu Savitri Nurinsiyah terpesona dan penasaran dengan keong. Rasa penasarannya membawa dia menjadi satu dari sangat sedikit peneliti keong darat di Indonesia. Hingga kini, ia telah menemukan 22 spesies endemik keong darat yang sebagian berukuran mikro di tanah Jawa.
KOMPAS/IDA SETYORINI–Ayu Savitri Nurinsiyah, peneliti keong darat Jawa dari LIPI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ayu Savitri menceritakan, saat ia duduk di kelas 3 SMA ada sebuah kejadian terkait keong yang tidak bisa ia lupakan. Sepupunya yang sedang bermain di kebun menginjak beling sehingga kakinya berdarah. Ibu sepupunya (bibi Ayu) tidak panik melihat luka di kaki anaknya.
Ia lantas menyuruh anak-anak mencari keong yang hidup di sela-sela pohon pisang. Setelah mendapatkan keong, sang bibi kemudian memecahkan cangkang keong itu dan mencomot badang keong yang penuh lendir untuk ditempelkan di atas luka itu. Tidak makan waktu lama, darah yang mengalir dari luka di kaki anaknya segera berhenti.
Sejak saat itu, Ayu penasaran dengan keong. Ia mencoba mencari berbagai bacaan tentang keong. Sayang tulisan tentang keong jarang muncul di laporan ilmiah maupun media massa. Saat ia menulis makalah tentang keong untuk tugas sekolah, ia kebingungan mencari bahan.
Ayu akhirnya datang ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan bertemu dengan Ristiyanti Marsetiyowati Marwoto, satu dari segelintir peneliti keong air tawar di Indonesia. Dari Ristiyanti, Ayu mendapatkan bahan-bahan tulisan tentang keong.
Setelah lulus SMA, Ayu masuk jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung. Rupanya ia tidak bisa jauh dari persoalan keong. Saat ia memilih penelitian untuk skripsi, yang ada di kepalanya adalah keong. Selepas kuliah S1, Ayu meneruskan kuliah bidang biologi di tingkat master di Unpad dan Universiteit Twente, Belanda serta S3 di Universitat Hamburg, Jerman.
SUNARDI–Ayu Savitri saat meneliti keong di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, pada Oktober 2019.
Meski tertarik dengan keong, saat itu Ayu belum terpikir untuk menjadi peneliti spesialis keong. Ia baru memutuskan mengabdikan diri meneliti keong ketika diterima sebagai peneliti di LIPI. Di lembaga itu, ia kembali bertemu dengan Ristiyanti yang ia temui saat SMA. Mereka pun bersinergi untuk meneliti keong. “Kami bersinergi hingga kini karena jarang ada peneliti keong,” ujar Ayu, Rabu (11/12/2019) di Jakarta.
Keong mikro
Sebagai peneliti keong, Ayu mesti blusukan ke hutan, gunung, dan daerah berbatu kapur (lime stone) yang disukai oleh keong. Kadang aktivitasnya di lapangan mengundang bahaya. Suatu ketika saat asyik mengamati, memotret, dan mendeskripsikan keong di daerah karst, ada ular yang mel di dekatnya ada ular melingkar. “Saya sempat panik, lalu buru-buru pergi.”
Dari hasil blusukan itu, ia menemukan 22 keong darat endemik Pulau Jawa. Sebagian besar keong temuan Ayu berukuran mikro. Tinggi cangkangnya hanya berkisar 1 mm-3 mm. Agar keong mikro itu bisa dilihat secara jelas, Ayu mesti menggunakan mikroskop. “Kalau dibandingkan dengan bekicot, keong ini jauh lebih kecil. Bekicot itu bak raksasa,” ujar Ayu.
TEDI SETIADI–Ayu Savitri saat meneliti keong di hutan Gunung Halimun, Jawa Barat, tahun 2016.
Sebanyak 16 dari 22 keong endemik itu merupakan temuan Ayu bersama peneliti moluska Marco Neibar dan Bernhard Hausdorf dari Centrum fur Naturkunde/Universitat Hamburg. Penelitian dilakukan berdasarkan investigasi terhadap keong Landouria hasil koleksi langsung di Jawa serta yang tersimpan di berbagai museum dunia.
Ayu membandingkan keong mini temuannya dengan saudara-saudaranya terutama dari sisi morfologi cangkang, genitalia, dan DNA. Untuk itu, ia perlu membedah masing-masing spesies agar yakin perbedaan atau persamaannya. Setelah itu, ia baru bisa menyatakan keong yang ditemukan adalah endemik atau spesies baru.
Dari hasil penelitiannya, lanjut Ayu, terlihat bahwa Landoria merupakan keong darat dengan keanekaragaman spesies tinggi di Jawa. Sebelumnya semua spesies itu diprediksi hanya tujuh, yakni enam dari hasil hasil penelitian Van Benthen Jutting pada 1950 dan satu dari hasil penelitian Bunyamin Dharma pada 2015.
“Dari tujuh spesies itu, kami deskripsikan lagi menjadi 28 spesies di Jawa dan 16 di antaranya adalah spesies baru dalam ilmu pengetahuan,” ucap Ayu.
Ayu menambahkan nama daerah asal keong temuannya di belakang Landouria. Misalnya, Landouria abdialem karena ditemukan di Provinsi DIY atau Landouria parahyanganensis karena spesies ini ditemukan di tanah Parahyangan. Selain itu ada yang diberi nama Landouria menorehensis, Landoria sewuensis, Landouria nusakambanganensis, Landoria pacitanensis, Landoria sukoliloensis. Dengan begitu, orang bisa langsung tahu bahwa keong itu berasal dari daerah
Menurut Ayu, sebagian besar Landouria bersifat endemik atau hanya memiliki sebaran di daerah-daerah tertentu di Jawa. Sebagian besar Landouria memilih hidup di dataran rendah di bawah 500 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Tercatat 19 spesies menghuni dataran tersebut. Hanya ada lima spesies yang berada pada ketinggian di atas 1.000 mdpl dan hanya dua yang hidup di ketinggian hingga di atas 2.000 mdpl.
“Sebaran terbatas menjadi faktor hewan endemik Landouria sangat rentan pada ancaman kepunahan. Sekarang ini perubahan dan kehilangan habitat adalah salah satu contoh ancaman yang sedang dihadapi Landouria di Jawa,” ucap Ayu prihatin.
TEDI SETIADI–Ayu Savitri saat penelitian lapangan di Gunung Salak, Halimun, Jawa Barat.
Rentan punah
Penelitian Ayu penting untuk mengetahui sifat keong. Keong itu bersifat invasif sehingga jika bekicot atau keong besar menghuni daerah yang dihuni keong lebih kecil, kemungkinan besar bekicot akan menguasai daerah itu dan membuat keong lain tersingkir dan punah.
Kepunahan keong akan merugikan. Pasalnya, banyak jenis keong yang bisa dimanfaatkan manusia untuk bahan pangan dengan protein dan asam amino tinggi. Jarang ada keong yang punya racun. Namun, ada parasit yang menetap di tubuh keong, terutama di lendirnya. “Makanya, cara mengolah keong sebelum dikonsumsi itu sangat penting agar parasit beracun terbuang,” tutur Ayu.
Selain itu, keong juga bisa dipakai sebagai bahan kosmetik. Sejauh ini, di Indonesia belum banyak yang memanfaatkan keong untuk industri. Industri kosmetik umumnya mengambil keong dari Thailand. Ayu ingin di masa mendatang, Indonesia yang memiliki beragam jenis keong, bisa memanfaatkan keong untuk keperluan industri.
Ayu mengaku sangat bersemangat meneliti keong karena masih banyak hal terkait keong yang perlu dipelajari. “Saya ingin kelak Indonesia punya banyak peneliti keong. Di pulau lain pasti banyak juga jenisnya dan endemik,” ujar Ayu.
Ayu Savitri Nurinsiyah
Lahir: Jakarta, 2 Maret 1986
Suami: Tedi Setiadi M.IL, M.Sc
Anak:
– M Fikri Nursetiadi
– Yusuf F Nursetiadi
Pendidikan
S1 Biologi, Unpad, Bandung (2003-2008)
Program Studi Master Ilmu Lingkungan, Unpad merangkap Master of Environmental on Energy Management, Universiteit Twente, Belanda (2008-2011)
Biologie, Universitat Hamburg, Jerman (2013-2018)
Pengalaman kerja
Intern di Natural History Museum of London (2011)
Penghargaan:
Mahasiswa Teladan Fakultas MIPA, Unpad (2007)
Walter Sage Memorial Award (2014)
2nd Best Poster Presentartion Award di World Congress of Malacology di Penang, Malaysia (2016)
Merit Scholarship Universitat Hamburg (2017-2018)
Tony Whitten Concervation Prize/Cambridge Conservation Initiative (2019)
LÓreal-UNESCO for Women In Science (2019)
Oleh IDA SETYORINI
Editor: MARIA SUSY BERINDRA
Sumber: Kompas, 20 Desember 2019