Dorong Pengendalian dari Hulu hingga Hilir
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyiapkan payung hukum untuk menekan volume sampah plastik di Indonesia. Instrumen pengendalian diperlukan karena sampah plastik berkontribusi besar pada pencemaran lingkungan akibat sifatnya sulit terurai.
Dua regulasi yang disiapkan itu berupa peraturan menteri tentang pengurangan kantong belanja plastik dan peta jalan pengurangan sampah kemasan plastik oleh perusahaan. Dua aturan itu ditargetkan terbit pada 2018.
Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ujang Solihin Sidik menyatakan, uji coba pemakaian kantong plastik atau keresek berbayar pada awal 2016 berdampak signifikan. ”Kami mengestimasi sampah plastik berkurang 51 persen di 23 kota dalam tiga bulan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Berdasarkan hasil uji coba ini, pemerintah menyiapkan aturan sebagai landasan hukum penerapannya,” kata Ujang seusai temu media tentang hasil pertemuan United Nations Environment Assemby (UNEA) Ke-3, Jumat (29/12), di Jakarta. UNEA Ke-3 diadakan pada 4-6 Desember 2017 di Nairobi, Kenya.
VINA OKTAVIA–Nelayan payang beraktivitas di tengah timbunan sampah plastik yang terbawa air laut di permukiman nelayan di Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Bumi Waras, Kota Bandar Lampung, Selasa (5/12/2017). Banyaknya sampah di pesisir Teluk Lampung membuat nelayan kesulitan mencari ikan.
Pengendalian penggunaan kantong plastik dilakukan di tingkat produsen, dalam hal ini ritel, meliputi pusat perbelanjaan dan pasar tradisional.
Tiga opsi
Ada tiga opsi dipertimbangkan. Pertama, pihak ritel tak menyediakan kantong plastik. Pembeli harus membawa tas belanja. Kedua, ritel menyediakan keresek ramah lingkungan, tapi pembeli harus membayar untuk mendapatkannya. Keresek itu wajib dikumpulkan lagi di tempat penampungan, bank sampah, atau tempat pengolahan sampah.
Opsi lain adalah produsen menyediakan keresek yang bisa didaur ulang, tapi berbayar. Adapun pembeli wajib mengumpulkannya di tempat penampungan atau pelaku pengolahan sampah. ”Pengaturan ini penting agar kantong plastik tak dibuang ke lingkungan, tapi diolah karena bernilai ekonomi,” ucap Ujang.
Sementara rancangan peta jalan pengurangan kemasan plastik oleh produsen berupa panduan bagi perusahaan. Menurut rancangan aturan itu, perusahaan penghasil kemasan plastik menyusun langkah pengendalian sampah agar tak membanjiri tempat pembuangan. Kemasan itu diolah lagi.
Indonesia menghasilkan 9,75 juta ton sampah plastik atau 15 persen dari total 64 juta ton sampah per tahun. Sampah plastik itu dibuang ke tempat pembuangan akhir, sungai, dan laut.
Kepala Biro Humas KLHK Djati Witjaksono Hadi menambahkan, pihaknya berkoordinasi dengan pihak terkait untuk merampungkan dua aturan itu. Pihak terkait dimaksud adalah Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.
Dalam paparan hasil pembicaraan pada UNEA Ke-3, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dhewanti menyatakan, forum memberikan perhatian pada mitigasi dan pengendalian pencemaran. Langkah Indonesia saat ini sudah berjalan pada komitmen itu.
Secara khusus forum mengapresiasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan dua tahun terakhir setelah kebakaran hebat pada 2015. Banyak negara ingin bekerja sama dengan Indonesia dalam pengendalian kebakaran lahan dan hutan. Pada 2015, asap kebakaran hutan dan lahan mengganggu kesehatan masyarakat. (VDL)
Sumber: Kompas, 30 Desember 2017
——————–
Plastik Ancam Keberlanjutan Bumi
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Pekerja memilah limbah plastik yang dapat didaur ulang kembali di Desa Onggorawe, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Kamis (20/7/2017). Limbah plastik yang telah dipilah sesuai kualitasnya tersebut dijual kembali ke pabrik pengolahan untuk didaur ulang.
Meski baru mulai ada 60-70 tahun terakhir, plastik telah jadi raja bahan baku untuk beragam barang konsumsi. Barang yang semula diproduksi dengan bahan baku kayu atau logam beralih ke plastik karena alasan ekonomi.
Ahli lingkungan terkait industri, Roland Geyer dari University of California di Santa Barbara, Amerika Serikat, dan rekan penelitinya, menghitung, volume total produksi plastik sejak pertama ditemukan kini mencapai 8,3 miliar ton. Sekitar 6,3 ton telah menjadi limbah dan 79 persen limbah itu ada di pembuangan sampah terbuka atau langsung ada di lingkungan.
Asosiasi perdagangan PlasticsEurope menyebut pertumbuhan produksi plastik, yaitu 1,5 juta ton plastik tahun 1950, diperkirakan menjadi 275 juta ton tahun 2010. Sekitar 4 juta ton-12 juta ton dibuang ke lautan per tahun di negara-negara yang memiliki pantai. Sampah plastik sekarang bisa ditemukan ada di lingkungan sekitar, di mana-mana, mulai dari Gunung Everest hingga dasar lautan.
Plastik membawa banyak masalah: keracunan dioksin dalam proses pembakaran, salah makan oleh hewan, menyumbat saluran, atau bahkan menimbulkan gangguan kesehatan karena operasi dengan alasan estetika.
Masalahnya, dibandingkan bahan baku lain seperti logam, kertas, gelas, besi, aluminium, serta bermacam jenis logam lain, plastik lebih sulit didaur ulang. Proses mendaur ulang tak murah. Jadi, daur ulang biasanya mendapat subsidi atau diwajibkan pemerintah. Negara-negara Eropa adalah yang tertinggi tingkat daur ulang plastiknya, lebih dari 50 persen.
Tersebar bebas
Masalah terbesar dengan plastik ialah sifatnya tak bisa terurai secara alamiah (biodegradable). Sampah-sampah plastik seperti kemasan, barang sekali pakai, dan lembaran plastik yang kerap kali tipis yang dipakai untuk beragam keperluan tak diangkut dalam bak tertutup ke tempat pembuangan sampah terbuka (landfill), tempat insinerator, atau pabrik daur ulang plastik. Sampah-sampah plastik akan beterbangan bebas sehingga mengotori lingkungan. Negara dengan populasi tinggi jadi sumber polusi plastik dunia.
Beberapa negara seperti Jerman kini memakai kardus yang lebih mudah terurai. Beberapa negara Afrika kembali ke tradisi memakai daun pisang atau jenis daun lain. Di Indonesia, ada daun pisang dan daun jati sebagai pembungkus, tapi itu ditinggalkan saat plastik diproduksi. Untuk itu, perlu ada perubahan perilaku dengan diet plastik.
(BBC.com/Britannica.com/ISW)
Sumber: Kompas, 28 Desember 2017