Pengukuran terbaru terhadap gelembung udara yang melingkupi Bumi menunjukkan atmofer Bumi itu terentang jauh hingga melebihi jarak Bulan. Itu berarti, Bulan bergerak mengitari Bumi di dalam atmosfer Bumi.
Bagian atmosfer Bumi yang terentang hingga Bulan itu dinamakan geokorona, yaitu udara renggang yang masih mengandung atom hidrogen. Dari perhitungan terbaru, geokorona terentang hingga sejuah 630.000 kilometer dari Bumi. Sementara Bulan, mengorbit Bumi pada jarak rata-rata 384.000 kilometer.
ESA–Geokorona Bumi terentang jauh hingga mencapai jarak 630.000 kilometer dari Bumi atau 50 kali diamater Bumi. Dengan rentangan yang panjang itu, Bulan mengorbit Bumi dengan melintasi atmosfer Bumi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Igor Baliukin dari Institut Riset Antariksa, Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, Moskwa, yang memimpin studi mengatakan rentangan geokorona itu tidak disadari sampai para peneliti membersihkan dan mengolah data yang diperoleh wahana antariksa SOHO selama hampir dua dekade.
SOHO atau Solar and Heliospheric Observatory adalah wahana antariksa milik Badan Antariksa Eropa (ESA) dan Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA). Wahana ini diluncurkan 2 Desember 1995 untuk mempelajari bagian dalam dan atmosfer Matahari serta gas terionisasi dari Matahari yang mengalir hingga tepian Tata Surya.
“Bulan bergerak (mengelilingi Bumi) dengan melintasi atmosfer Bumi,” katanya seperti dikutip space.com. Kamis (21/2/2109).
Keberadaan geokorona itu sebenarnya sudah disadari ilmuwan sejak lama. Bahkan, antariksawan yang tergabung dalam misi Apollo 16, NASA, pernah memotret keberadaan geokorona itu dari permukaan Bulan pada 1972. Namun rentangan geokorona itu dianggap lebih terbatas dibanding yang baru disadari kini.
“Saat itu, para antariksawan di permukaan Bulan tidak menyadari bahwa mereka benar-benar berada di pinggir geokorona,” kata Jean-Loup Bertaux, peneliti lain yang juga berasal dari Institut Riset Antariksa, Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia.
NASA–Geokorona atau gelembung atmosfer Bumi yang masih mengandung hidrogen dipotret menggunakan kamera yang dioperasikan oleh antariksawan anggota misi Apollo 16 dari permukaan Bulan pada 1972.
Proses
Data SOHO yang dianalisis Baliukin dan timnya berasal dari perangkat yang melekat pada SOHO bernama Instrumen Anisotrofi Angin Matahari (SWAN). Perangkat itu mengukur radiasi Lyman-alfa yang dipancarkan atom hidrogen netral.
Selama ini, sinar Matahari berinteraksi dengan atom hidrogen geokorona pada panjang gelombang Lyman-alfa. Interaksi itu tidak bisa diamati dengan perangkat landas Bumi karena terhalang oleh atmosfer Bumi. Karena itu, pengamatan interaksi itu hanya bisa dilakukan dari luar angkasa.
Dari data pengamatan yang diperoleh, tim peneliti selanjutnya memetakan rentangan geokorona dan menilai kepadatannya. Hasilnya, geokorona akan ‘lebih padat’ pada sisi Bumi yang sedang mengalami siang hari karena tekanan dari sinar Matahari.
Namun, harus diingat bahwa terminologi lebih padat itu bersifat relatif. Hanya ada 70 atom hidrogen di setiap satu sentimeter kubik atmosfer pada ketinggian 60.000 kilometer dari permukaan Bumi yang mengalami siang hari. Sementara pada jarak sekitar 384.000 kilometer atau tempat Bulan berada, kerapatan hidrogennya mencapai 0,2 atom per sentimeter kubik atmosfer.
“Di Bumi, kerapatan hidrogen sebesar itu (0,2 atom per sentimeter kubik atmosfer), akan disebut sebagai ruang vakum. Jumlah hidrogen sekecil itu memang tidak cukup signifikan untuk mendukung eksplorasi antariksa,” tambah Baliukin.
SPACECRAFT: ESA/ATG MEDIALAB; SUN: ESA/NASA SOHO, CC BY-SA 3.0 IGO–Konsep artis wahana antariksa SOHO atau Solar and Heliospheric Observatory yang meneliti tentang Matahari dan cuaca luar angkasa.
Studi yang dipublikasikan di Journal of Geophysical Research: Space Physics, Jumat (15/2/2109) tentang keberadaan hidrogen di atmosfer luar planet itu, meski dalam jumlah sangat kecil, berimplikasi besar bagi pencarian kehidupan lain. Planet-planet yang atmosfer luarnya mengandung hidrogen, umumnya akan memiliki uap air di dekat permukaannya.
“Hasil ini sangat menarik karena bisa dijadikan indikator untuk mencari planet-planet di luar Tata Surya yang berpeluang memiliki air,” kata Bertaux.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 22 Februari 2019