Pembangunan sebuah kota yang manusiawi membutuhkan perencanaan masa depan dan pemahaman masa lalu. Pemahaman masa lalu dituturkan oleh para pelaku sejarah, salah satunya melalui karya sastra novel.
Narasi dan deskripsi di novel itu dikaji dengan menggunakan teori semiotika oleh Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan Kota Prof Ir Agus Budi Purnomo, Msc, PhD. Informasi pengalaman sehari-hari penduduk kota seperti Jakarta dan Banda Aceh sulit didapatkan dari data sekunder lembaga formal.
”Karya sastra novel dapat dikaji dan digunakan untuk melihat metamorfosis kehidupan sosial dan tata kota. Data ini juga bisa digunakan untuk membantu perencanaan pembangunan kota yang lebih manusiawi,” ujar Agus saat membacakan pidato pengukuhan di Auditorium Pascasarjana Universitas Trisakti, Jakarta, Rabu (25/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Data yang dikutip dari beberapa novel itu bersifat fakta lunak yang berisi persepsi manusia akan lingkungan mikro kota. Novel dianalisis menjadi tiga komponen semiotik Peirce (Atkin, 2013). Teori Peirce menganut sebuah sistem triadik yang terdiri dari tanda, obyek, dan penafsiran. Metode kualitatif ini menganalisis teks novel menjadi konsep ide yang ditafsirkan oleh pemahaman si penafsir. Kandungan pesan atau obyek yang ada di belakang teks itu bergantung pada pengetahuan, pengalaman, dan latar belakang pembaca.
Novel NH Dini
Agus memberikan contoh kutipan novel karya NH Dini yang berjudul Kemayoran (1958). Kutipan itu berbunyi ”… maka pada kunjungannya ke Ibu Kota, Francis selalu ingin makan masakan yang berbau Belanda atau Eropah. Dengan dia akan mengenal restoran-restoran Hotel Des Indes, Hotel Transaera, Rumah Makan Oen di dekat Pasar Baru.”
Teks tersebut ditafsirkan bahwa pada era 1960-an, hotel-hotel dan restoran tertentu lebih mewakili kelas sosial ekspatriat daripada bangsa Indonesia sendiri. Untuk memahami hubungan tempat mewah dan kelas sosial ekspatriat, pembaca harus memahami konteks sosial yang berkembang pada saat itu.
Penelitian yang dilakukan oleh Agus ini mengambil banyak acuan karya sastra yang dikarang pada 1928-2012.
Penelitian itu juga menunjukkan sentralisasi pembangunan kota Jakarta yang berfokus di kawasan selatan, seperti Blok M. Kesimpulan dari penelitian semiotik itu, di antaranya, adalah novel dapat dijadikan sumber informasi yang relatif kaya tentang kota dan kehidupan yang ada di dalamnya. Novel juga dapat dipahami sebagai aspek kemanusiaan yang ada di dalam sebuah kota. Aspek kemanusiaan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga aspek psikologis manusia yang menjadi tokoh dalam novel. Lebih lanjut, informasi tentang kota juga dapat mendukung prakiraan dalam perencanaan dan perancangan kota.
Saat disinggung soal validitas data yang diambil dari karangan fiksi, Agus mengatakan, justru unsur realitas fiksi dan imajinasi dalam novel dapat mewakili suatu kenyataan. Menurut teori Sigmund Freud, mimpi justru mewakili jiwa orang.
Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti Bambang Endro Yuwono mengatakan, saat ini tercatat ada dua guru besar arsitektur di sana. Ia berharap, tenaga ahli ini dapat ditambah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Universitas Trisakti. Rektor Universitas Trisakti Thoby Mutis mengatakan, Agus menjadi guru besar ke-52 yang dikukuhkan di universitas tersebut. (A13)
Sumber: Kompas, 26 Juni 2014