Mobil konsep urban berbahan bakar hidrogen buatan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Antasena, resmi mewakili Tanah Air untuk berkompetisi di ajang Shell Eco-Marathon Global. Mobil hidrogen pertama di Indonesia ini di luar dugaan bisa meraih juara kedua di Drivers World Championship Shell Eco-Marathon Asia (DWC SEM) 2019.
Sorak-sorai kegembiraan riuh berkumandang ketika Antasena berhasil melalui garis akhir di Sirkuit Internasional Sepang, Selangor, Malaysia, Kamis (2/5/2019). Ia hanya selisih beberapa detik dari juara pertama, mobil konsep urban yang sama-sama berbahan bakar hidrogen dari Universitas Teknologi Nanyang (NTU), Singapura, NTU Venture 10. Agak jauh di belakang Antasena adalah LH Green, mobil bertenaga baterai listrik dari Universitas Lac Hong, Vietnam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Tim 5 Institut Teknologi Sepuluh Nopember bersama mobil mereka, Antasena, yang berhasil meraih juara kedua di Drivers World Championship Shell Eco-Marathon Asia 2019 di Sirkuit Internasional Sepang, Malaysia, Kamis (2/5/2019).
“Benar-benar enggak nyangka! Padahal, tujuan ke SEM Asia cuma untuk mendapat rekor valid dan mengetes mobil di sirkuit,” kata Yoga Mugiyo Pratama, mahasiswa semester VIII Teknik Material Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang mengemudikan Antasena menuju kemenangan.
Teknologi bahan bakar hidrogen masih belum terlalu berkembang di Asia. Keputusan ITS membuat Antasena juga lebih kepada eksperimen. Menurut Yogi, mereka bahkan tidak yakin mobil ini masuk lima besar DWC karena selama ini jarang ada mobil hidrogen bisa melakukannya.
Selain masuk tiga besar DWC, Antasena memenangi penghargaan khusus bidang inovasi mesin bahan bakar hidrogen. Berkat aliran udara yang baik ruang mesin, mobil ini tidak cepat panas sehingga bisa melaju stabil.
Dosen Teknik Mesin dan Luar Angkasa NTU Ng Heong Wah menjelaskan, di Singapura riset bahan bakar hidrogen masih pada level pemula. Di Asia, baru Jepang yang boleh dibilang cukup mapan di bidang ini.
“Eropa jauh lebih berkembang. Mobil-mobil hidrogen juga sudah dikembangkan tidak hanya pada kategori konsep, tetapi pada mobil komersial. Mereka akan menjadi lawan berat di SEM Global,” ujarnya.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Tim 5 dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember memenangi peringkat dua Drivers World Championship di Shell Eco-Marathon Asia 2019 di Sirkuit Internasional Sepang, Malaysia, Kamis (2/5/2019). Mereka mewakili Indonesia ke ajang SEM Global di London, Inggris bulan Juli.
Direktur SEM Asia 2019 Colin Chin mengatakan kemenangan dua mobil hidrogen di DWC tidak disangka. Biasanya mobil jenis ini membutuhkan waktu lama untuk akselerasi dan mesinnya mudah kepanasan sehingga bisa-bisa mati di tengah jalan.
Nyaris ditinggal
Antasena awalnya nyaris tidak boleh berangkat ke SEM Asia 2019. Alasannya, setiap perguruan tinggi dibatasi hanya boleh mengirimkan dua tim. ITS sudah mengirim tim mobil konsep urban yang lebih senior, yaitu Sapuangin yang memakai bensin dan memenangi SEM Asia 2018 serta Drivers World Championship (DWC) SEM Global 2018 di Inggris. Tim satu lagi adalah Nogogeni yang menggunakan baterai.
Wakil Direktur Bidang Komunikasi Eksternal PT Shell Indonesia Rhea Sianipar mengungkapkan, panitia SEM Asia 2019 lalu mengizinkan Antasena untuk ikut karena ITS adalah pemenang tahun lalu sehingga diberi kelonggaran kuota. Mereka berhasil melewati pemeriksaan teknis, bahkan pada hari Rabu mereka berhasil meraih juara kedua di kategori hidrogen.
DWC merupakan lomba final di SEM Asia untuk mobil konsep urban. Terdapat tiga kategori, yaitu pembakaran internal (bensin, solar, dan ethanol), hidrogen, dan baterai listrik. Pemenang tiga besar di setiap kategori akan diadu di DWC dan tiga teratas akan mewakili Asia di DWC SEM Global 2019 di London, Inggris pada Juli mendatang.
DWC merupakan lomba yang cukup sukar karena peserta diminta menuntaskan tiga putaran di sirkuit Sepang dengan kecepatan maksimal 40 kilometer per jam. Setiap pengemudi harus mengetahui titik-titik mereka mematikan mesin dan membiarkan mobil meluncur guna menghemat energi.
Sapuangin otomatis menjadi unggulan karena menang di DWC tahun lalu. Akan tetapi, ia justru memasuki finis pada posisi kelima. Posisi keempat diisi oleh mobil berbahan bakar bensin dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Garuda.
Dosen Teknik Otomotif UNY Sutiman mengutarakan kekalahan tahun ini memberi pelajaran. Tahun lalu UNY berada di posisi ketiga dan bersama Sapuangin mewakili Indonesia di London.
Garuda merupakan mobil yang baru dibangun sembilan bulan lalu sebagai perbaikan dari versi sebelumnya. Tubuhnya lebih besar dan berat dibandingkan versi lama, namun jauh lebih seimbang. SEM Asia 2019 merupakan kompetisi internasional pertamanya.
“Kami akan memperbaiki aliran listrik mobil biar lebih efisien. Ada juga beberapa aspek yang akan dibenahi berdasarkan pengamatan lomba dan terhadap mobil-mobil lain,” kata Sutiman.
Sementara juara ketiga di kategori pembakaran internal, Kalabia Evo 8 dari Tim Sadewa Universitas Indonesia gagal mengikuti lomba DWC. Mesin mobil bermasalah dan tidak bisa dinyalakan sehingga akhirnya dari sembilan mobil, hanya delapan yang berkompetisi.
Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 2 Mei 2019