Sejarah bukan kumpulan fakta dan teori. Sejarah mengandung pelajaran hidup dari masa lalu, masa kini, dan bahkan masa akan datang. Bagi Aminuddin Kasdi (71), mempelajari sejarah sebenarnya sama dengan belajar bijak dalam menyikapi hidup.
Siang itu, Aminuddin baru saja kembali dari menjalani terapi pengobatan tulang di RSUD Dr Soetomo. Dengan berjalan pelan, pria berkacamata dan berambut putih itu mempersilakan kami menunggunya di ruang tamu.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI–Aminuddin Kasdi, guru besar sejarah Universitas Negeri Surabaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari ruang tamu tampak ruang sebelah sedang direnovasi. Di sana terdapat rak buku besar berisi aneka buku termasuk buku-buku sejarah. Koleksi buku Aminuddin bukan hanya tersimpan di rak depan. Di ruang kerjanya di bagian tengah rumah, meja kerja Aminudin didampingi oleh rak buku menjulang. Rak kayu itu, sekali lagi, penuh dengan aneka buku.
“Belajar sejarah adalah belajar kehidupan,” demikian pandangan Profesor Aminuddin Kasdi (71), sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya, Selasa (28/01/2019). Kami berbincang di rumahnya di Jalan Tenggilis Utara, Kota Surabaya.
Orang yang belajar sejarah, menurut Aminuddin, seharusnya bisa menjadi sosok bijaksana. Jika meminjam istilah dalam buku Sunan Bonang, maka Aminuddin menyebut sosok bijak adalah mereka yang meniadakan diri dalam samudera ketidakadaan. Dalam samudera yang tidak ada apa-apanya.
Belajar sejarah, baginya, tidak melulu harus duduk di bangku kuliah. Belajar bisa dengan melihat keping kehidupan di sekitar. Pengamatan itu harus dengan kesadaran bahwa tidak ada kejadian tiba-tiba terjadi begitu saja. Ada hukum kausalitas (sebab akibat).
“Sejarah tidak bisa diciptakan oleh satu orang. Harus dalam setting sosial. Sehingga, pasti memunculkan kontroversi. Versi satu orang dengan orang lain, bisa jadi berbeda. Sebab, sudut pandang yang digunakan juga berbeda,” kata Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Surabaya ini. Kearifan untuk memahami hal-hal itulah yang menurut Aminuddin menjadikan orang menjadi bijak.
Sayangnya, tidak semua orang paham kondisi itu, sehingga cenderung tidak bijak menyikapi peristiwa, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
“Yang jadi persoalan adalah bangsa kita sejak dulu hingga sekarang memiliki sifat inkonsisten atau tidak konsisten. Tidak mau mengaku salah kalau salah, dan tidak mau mengaku kalah kalau memang kalah. Yang terjadi, untuk menutupi kelemahan, maka cenderung wadul (laporan) dan meminta bantuan pihak lain/luar,” kata pria kelahiran Nganjuk, 9 Januari 1948 itu.
Hal itu misalnya, tergambar dalam kisah Perang Trunojoyo di mana Amangkurat II akhirnya meminta bantuan VOC untuk menguasai Mataram utara yang sebelumnya berhasil dikuasai pasukan Trunojoyo. Kisah pelibatan VOC juga muncul pada konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa di Banten dan anaknya Sultan Haji. Akhirnya, Sultan Haji meminta bantuan VOC untuk mengalahkan penguasa saat itu. Dua kasus tadi hasilnya sama, yaitu sebagian wilayah tersebut harus diserahkan sebagian imbal jasa untuk VOC.
“Bangsa kita harus belajar dari sejarah. Harus bijak. Berbeda pendapat boleh, tapi jangan libatkan pihak ketiga yang nanti justru akan meraup untung atas perpecahan bangsa ini,” kata Aminuddin menegaskan. Hal itu dilontarkan mengacu pada situasi bangsa belakangan ini, di mana masyarakat semakin antiperbedaan, tidak mau mengakui keunggulan pihak lain, serta cenderung melibatkan pihak luar untuk memenangi ‘persaingan’.
Pendidik
Aminuddin, mungkin sejak kecil ditakdirkan untuk menjadi pendidik. Ia memulai karirnya dengan menjadi guru SD di Nganjuk sejak tahun 1966 (selama 5 tahun), guru di SMP Muhammadiyah Nganjuk selama 5 tahun, dan menjadi guru di Pendidikan Guru Agama selama 5 tahun. Jadi, 15 tahun ia menekuni profesi guru umum.
“Saat itu ada hal nylekit (menyentil) saat saya menjadi guru di PGA. Tidak ada guru yang mau mengajar sejarah (umum), karena katanya tidak terkait dengan ‘pitakon kubur’ (pertanyaan kubur). Makanya saya diminta jadi guru di sana,” kata Aminuddin mengenang. Pertanyaan kubur ini merujuk pada keyakinan muslim di mana saat di alam kubur, mereka akan ditanya soal siapa tuhannya, agama, dan seterusnya.
Aminuddin yang memang menyukai sejarah khususnya pewayangan, maka ia pun kuliah pendidikan sejarah di IKIP Malang (1976), pendidikan S2 ilmu sejarah di UGM (1990), dan S3 di UGM (tahun 2000).
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI–Aminuddin Kasdi, guru besar sejarah Universitas Negeri Surabaya, dengan buku-buku koleksinya, Kamis (28/1/2019).
Pelajaran sejarah, menurut Aminuddin dahulu banyak yang tidak suka. Tapi dengan menarik ilmu sejarah dalam konteks kedekatan, Aminuddin mengatakan banyak orang mulai mau belajar sejarah. Ia meniru cara gurunya saat menariknya menekuni sejarah.
“Misalnya guru saya dulu mengajarkan soal kisah Raja Jayabaya yang terkait kisah Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji. Dikisahkan perjalanan mereka lewat di selatan desa saya. Kisah-kisah dengan konteks kedekatan inilah yang menjadikan saya tertarik belajar sejarah,” katanya. Model seperti itu pula yang dilakukan Aminuddin selama mengajar.
Dalam mempelajari kehidupan berbangsa dan bertanah air, Aminuddin mengajak seluruh masyarakat untuk kembali menengok rangkaian peristiwa yang terjadi. Sebagaimana sifat ilmu, selalu ada aksioma dengan kesamaan antara satu kejadian dengan lainnya. Sejarawan bidang Sejarah Indonesia itu mengajak masyarakat tidak lelah mengamati dan belajar dari pengalaman sejarah. Jangan sampai, negeri ini tercabik-cabik gara-gara hanya ingin dikatakan sebagai pemenang.
Aminuddin terus menularkan pandangannya dalam diskusi, seminar, serta menuliskannya menjadi buku. Setidaknya sudah ada 30-an buku ditulis, di luar makalah dan penelitian. Di usianya yang tak lagi muda, dosen yang semula bercita-cita menjadi dokter itu juga masih terus menulis. Baginya, tulisan adalah salah satu jejak sejarah yang bisa menjadi pelajaran generasi penerus.
Di luar dunia tulis-menulis, Aminuddin aktif membagi ilmunya dalam berbagai forum. Ia menjadi rujukan penelitian, tugas kuliah, atau kajian sejarah di Jawa Timur.
Bicara sejarah di Jawa Timur, siapa tidak kenal dengan Aminuddin. Sebagai penasihat Masyarakat Sejarawan Indonesia di Jawa Timur, Aminuddin menjadi sejarawan rujukan, termasuk untuk sejarah di Jawa Timur. Bukan saja sejarah Surabaya, namun juga kota-kota lain di Jawa Timur.
Meski ahli dalam sejarah Indonesia, namun Aminuddin juga paham sejarah luar negeri seperti Asia Barat. Dengan kemampuan sejarah dalam dan luar negeri itu pula, Aminuddin turut diajak menjadi bagian dari tim pertimbangan cagar budaya Kota Surabaya. Bersama pakar sejarah dan praktisi budaya lainnya, Aminuddin termasuk menjadi bagian dari pendukung revitalisasi dan pelestari bangunan-bangunan bersejarah di Surabaya.
Sebagai akademisi, Aminuddin menjadi penyedia kajian sejarah akademis dan turut serta menentukan skema pelestarian cagar budaya yang tepat untuk sebuah kota. Ia, turut pula menentukan bangunan-bangunan mana yang layak dilestarikan atau lebih baik dipugar.
Keterlibatan Aminuddin dalam tim cagar budaya tersebut boleh membuatnya bangga, bahwa ia menjadi bagian dari tim yang kini menjadikan Kota Surabaya menjadi kota yang sangat menghargai sejarah. Lihat saja, di Kota Pahlawan tersebut, masih kokoh berdiri jejak sejarah bangsa berupa bangunan-bangunan kuno.
Dengan kajian dari tim pertimbangan cagar budaya, tahun 1996, Wali Kota Surabaya melalui surat keputusannya menetapkan ada 61 bangunan dan situs cagar budaya. Tahun 1998, Pemkot Surabaya kembali menetapkan 101 bangunan dan situs cagar budaya. Hasilnya, beberapa rumah tokoh bangsa serta bangunan-bangunan kuno lainnya tetap terjaga hingga kini.
Dalam pelestarian bangunan cagar budaya, Aminuddin memiliki beberapa kriteria, yaitu mempertimbangkan umur bangunan, nilai sejarah, nilai estetika, kejamakan, kelangkaan, memperkuat kawasan, dan keasliannya.
Dari berbagai kriteria itu, maka bangunan cagar budaya akan dikategorikan sebagai golongan A, B, C, dan D. Golongan A dipertahankan dengan preservasi (dilarang membongkar bangunan asli). Golongan B dapat dipugar dengan restorasi/rekonstruksi/rehabilitasi. Golongan C dapat dipugar dengan rehabilitasi/adaptasi. Dan Golongan D masuk kategori berbahaya bagi keselamatan pengguna dan sekitarnya sehingga dapat dibongkar dan dibangun kembali sesuai aslinya.
“Revitalisasi dan pelestarian benda cagar budaya adalah salah satu cara kita belajar sejarah. Setidaknya, dengan menjaga bangunan-bangunan tersebut, kita tidak melupakan sejarah yang telah dilalui bangsa ini,” kata Aminuddin dalam beberapa forum.
Aminuddin Kasdi
Lahir: Nganjuk, 9 Januari 1948
Pendidikan:
S1, Pendidikan Sejarah IKIP Malang 1976
S2, Ilmu Sejarah UGM 1990
S3, Ilmu Sejarah UGM 2000
Pekerjaan/kegiatan:
Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Surabaya
Tim Pertimbangan Cagar Budaya Kota Surabaya (1998-sekarang)
Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (2011-2014)
Ketua Penyunting Jurnal Sejarah Indonesia (2009-sekarang
Tim Pokja Kemenkopolhukam Perumusan Rekom Pres dalam masalah penyelesaian HAM tahun 1965 (2016)
Dewan Redaksi Jurnal Sang Guru (2011-sekarang)
Buku (antara lain):
Surabaya dan Jejak Kepahlawanannya (2008)\
Abad 18-19 Masa Feodalisasi atau Modernasi dalam Sejarah Indonesia? (2011)
Perkembangan Birokrasi Tradisional di Jawa abad XVIII (2014)
Hubungan Antara Faktor Pemilikan Tanah Dan Gerakan POlitik Petani di Pedesaan Jawa Timur (1960-1965)
Prestasi:
Warga Kota Surabaya Berprestasi (piagam wali kota tahun 2009)
Sebagai warga Muhammadiyah berdedikasi (piagam majelis pendidikan dan kebudayaan Muhammadiyah Kota Surabaya tahun 2009).
ADI SUCIPTO, DAHLIA IRAWATI, IQBAL BASYARI
Sumber: Kompas, 12 Maret 2019