Kompas hari Jum’at, 12 Juni 1992 melaporkan, serangan keong mas pada padi di sawah di 29 kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan. Tahun 1988 serangan keong mas hanya di lima kecamatan, setahun kemudian menyebar di 15 kecamatan. Tahun 1990 bertambah lagi menjadi 22 kecamatan yang diserang keong mas. Tahun 1991 keong mas itu sudah menyerang tanaman padi di 29 kecamatan dari 32 kecamatan di Lampung Selatan. Sekitar 400 hektar sawah yang sudah diserangnya.
Beberapa pejabat pertanian meminta masyarakat yang memelihara keong mas memusnahkan keong mas miliknya. Malahan, Kepala Subdinas Perlindungan Tanaman Pangan Jawa Barat Ir H Ali Maskoem mengusulkan memberantas keong mas yang sudah menyebar ke persawahan dengan moluskosida, pestisida khusus satwa Moluska (Kompas 15/6).
”Jangan memberantas dengan menggunakan moluskosida karena keong yang lain akan ikut mati,” komentar Machfudz Djajasasmita, ahli Moluska, staf Balitbang ZooIogi, Puslitbang Biologi LIPI hari, Selasa (16/6). Selain itu kita belum tahu apa efeknya seandainya keong lainnya ikut musnah. ”Sebaiknya pemeliharaannya ditertibkan harus jauh dari areal persawahan. Manfaatkan keong yang dipelihara atau yang berada di sawah untuk makanan bebek atau campuran makanan ternak lainnya. Dan, perkenalkan cara mengolah keong mas menjadi makanan yang lezat,” tambah Machfudz.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Belum jelas
Selain itu, sampai saat ini tata nama yang pasti masih belum jelas. Beberapa ahli memberikan nama spesies yang berbeda-beda. Nama-nama itu antara lain Pomacea canaliculata karena ”konde” cangkangnya berkanal (bukan Pomacea caniculata), Ampularius canaliculata, Ampularius insularum, Ampularius insularus (Chang, 1985; Miyazaki, 1985; Mujahara at al., 1986). Dalam pustaka-pustaka tidak ditunjukkan yang mana yang menjadi hama padi. Karena itu, ”Saya lebih suka menyebutnya Pomacea sp. saja,” kata Machfudz.
Yang pertama kali menggunakan nama Ampularius adalah Montfort tahun 1810. Baru kemudian tahun 1811, Perry mendeskripsikannya lagi dan menyebutnya Pomacea, yang masuk famili Ampulariidae, super famili Cyclophoracea ordo Mesogastropoda.
Menurut Mochida (Internatonal Rice Research News Letter, nomor 12 vol. 4, 1987, halaman 48-49), keong Pomacea berasal dari Amerika Selatan yang diperkenalkan di Taiwan, Jepang dan Filipina itu merupakan sumber pangan. Masyarakat beberapa daerah di Indonesia juga memakan keong. ”Rasanya gurih. Dibandingkan daging bekicot kebun yang disukai oleh orang Perancis, daging keong mas lebih halus karena hidupnya di air tidak banyak gerakan,” cerita Machfudz, yang sudah pernah mencobanya. Sepengetahuan Machfudz, keong mas, yang disebut juga keong murbai karena kelompok telurnya seperti buah murbai berwarna merah jambu, diekspor.
Ada banyak
Berdasarkan pemantauan Kompas di lapangan ditemukan ada empat jenis keong yang masuk Pomacea sp. Selintas bentuk keempat jenis keong itu sama. Jenis yang satu cangkangnya kuning kehijuan berggaris-garis hitam, “konde”nya atau susunan rumahnya tinggi, lingkaran “konde”-nya berkanal dalam, kelompok telurnya merah jambu seperti buah murbai.
Masih ada dua jenis keong yang kelompok telurnya merah jambu. Jenis pertama, warna cangkangnya kuning kehijauan tetapi tidak ada pola garis-garis hitam. ”Konde”-nya rendah dan kanalnya tidak dalam. Jenis kedua warna cangkangnya kuning keemasan, kanalnya dalam dan ”konde”-nya rendah.
Jenis yang terakhir warnanya kuning bersih keemasan, ”konde”-nya tinggi dan tidak berkanal. Ciri lain yang jelas membedakan dengan ketiganya adalah kelompok telurnya. Keong mas yang kuning bersih keemasan itu memiliki kelompok telur berwarna putih dengan sedikit warna merah muda, malah cenderung sedikit coklat muda.
Berdasarkan pengamatan Kompas di lapangan, Pomacea yang banyak dipelihara masyarakat di akuarium, kolam-kolam dan yang banyak diperjual belikan di kios ikan hias adalah jenis yang berwarna kuning keemasan, ”konde”-nya rendah, kanalnya dalam telurnya merah jambu. Jenis lainnya termasuk jarang dipelihara.
Yang hama
Berdasarkan pengamatan Ristiyanti M Marwoto, peneliti Puslitbang Zoologi, beberapa waktu yang lalu, Pomacea yang kuning keemasan maupun yang kuning kehijauan, yang sama-sama memiliki telur merah jambu, berpotensi menjadi hama padi. Mengapa?
Kedua jenis keong itu dengan rakus mau menyantap segala macam daun-daunan, mulai dari daun selada sampai daun pepaya, termasuk pepayanya. Perkembangan kedua jenis keong ini cepat sekali. Seekor induk betina dalam sebulan bisa menghasilkan 10-12 kelompok telur. Perkawinannya berlangsung setiap hari, siang dan malam. Dalam waktu beberapa bulan besarnya bisa mencapai sekepalan tangan orang dewasa kalau mendapatkan makanan yang cocok dan bergizi.
Berbeda sekali dengan Pomamacea yang warnanya kuning bersih keemasan. Keong mas ini lebih lamban. Ia hanya, mau menyantap daun-daunan yang lunak teksturnya, seperti daun selada kol sawi dan sejenisnya. Kecepatan reporduksinya termasuk lamban. Kelompok telurnya putih kecokelatan. Induk betinanya hanya menghasilkan dua kapsul telur perbulan. Kopulasinya hanya berlangsung tiga hari sekali dan hanya malam hari atau subuh. Karena tidak rakus pertumbuhannya juga lamban dan besarnya hanya sekepalan anak berumur satu tahun.
Pomacea yang cocok dipelihara di akuarium adalah jenis yang menaranya tinggi dan kanalnya tidak dalam, telurnya putih kecokelatan. Keong mas ini memang indah berada dalam akuarium apalagi ukurannnya tidak besar. Ia juga lebih mau menyantap pelet ikan daripada tanaman akuarium. Untuk membatasi populasinya cukup dengan memusnahkan sebagian telurnya.
Sebenarnya yang lebih penting adalah bagaimana memperketat pengawasan karantina hewan dan tanaman. “Kalau pengawasan tidak diperketat akan tetap terulang kasus masuknya keong mas sengaja maupun tidak sengaja. Sama dengan kasus kijing Taiwan sekitar tahun 1969 yang ikut dengan ikan nila,” ujar Maschfudz. (Harry Surjadi)
Sumber: Kompas, tanpa tanggal