Pelaku usaha bioetanol berharap pemerintah konsisten mewajibkan pemanfaatan bioetanol sebagai campuran bahan bakar kendaraan. Selama tak konsisten menerapkan kebijakan itu, penggunaan bioetanol tak maksimal.
”Potensi bioetanol Indonesia amat besar dan jika dimanfaatkan bisa mengurangi beban impor minyak,” kata Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara Subiyono di Surabaya, Kamis (4/12). PTPN X memiliki pabrik bioetanol dan produknya diekspor ke Filipina 4.000 kiloliter (kl) serta ke Singapura 12.000 kl.
Meski diminati pasar ekspor, produk dari ampas tebu itu minim peminat di pasar domestik. Pertamina yang diharapkan jadi pelopor pencampuran bahan bakar minyak dengan bioetanol hanya membeli sedikit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di luar negeri, pewajiban pemanfaatan bioetanol dalam bahan bakar cukup besar demi mengurangi ketergantungan pada minyak. Di Brasil, pencampuran bioetanol dalam BBM 85 persen (E-85). Thailand mengarah dari pewajiban pencampuran bioetanol 10 persen jadi 20 persen.
Di Indonesia, kebijakan pencampuran bioetanol belum berjalan. Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 20 Tahun 2014, BBM bersubsidi wajib dicampur bioetanol minimal 1 persen mulai Januari 2015. Jika konsumsi premium 2014 sekitar 32 juta kl, butuh 320.000 kl bioetanol.
Secara terpisah, Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyatakan, kapasitas produksi bioetanol dari tetes tebu atau singkong 186.000 kl per tahun, tetapi belum dimanfaatkan di dalam negeri karena harga belum sesuai. Kini, harga indeks pasar baru bioetanol mengacu harga publikasi Argus ditambah 14 persen. Penerapan kewajiban pencampuran bioetanol 1 persen dalam bensin bersubsidi dan 2 persen untuk bensin nonsubsidi mulai April 2015. (ETA/EVY)
Sumber: Kompas, 5 Desember 2014