Tulisan Rhenald Kasali berjudul ”Naiknya ’Harga’ Dosen” (Kompas.com, Senin, 15 September 2014) cukup menarik untuk ditanggapi.
Sebagai guru besar ilmu manajemen yang sudah tersohor, pendapat beliau mengenai naiknya ”harga” dosen beserta implikasinya tentu cukup valid. Namun, saya merasa tulisan tersebut jadi kurang bermakna ketika diarahkan hampir semata-mata untuk menyampaikan pesan agar para rektor perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH) bekerja lebih cerdas menggali dana-dana baru di luar biaya operasional pendidikan (BOP) dan pengelola yayasan perguruan tinggi swasta (PTS) berpikir lebih keras untuk menyediakan sumber-sumber dana baru untuk mempertahankan dosen-dosen berkualitas.
Di lain pihak, hampir bersamaan dengan tulisan tersebut, Quacquarelli Symonds (QS) World University Rankings 2014/2015 diumumkan. Ternyata dari delapan perguruan tinggi Indonesia yang masuk dalam radar QS World University Ranking, enam ”berhasil” mempertahankan peringkatnya pada posisi yang sama dengan tahun lalu. Sementara dua perguruan tinggi yang lain melorot: Universitas Indonesia turun satu peringkat dari peringkat ke-309 (2013) menjadi ke-310 (2014) dan Universitas Gadjah Mada melorot dari peringkat 501-550 (2013) menjadi 551-600 (2014).
Kemakmuran dan kinerja
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada kenyataannya, memakmurkan dosen semata-mata tak berkorelasi langsung terhadap kinerja dosen. Ketika pemerintah—berdasarkan PP No 41/2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor—memberikan insentif yang cukup besar kepada dosen, tak serta-merta hal ini berdampak terhadap kinerja dosen, apalagi terhadap kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan.
Bahkan, kalau boleh meminjam data yang telah dipublikasi QS World University Ranking, sejak 2009, dari delapan PT Indonesia yang masuk radar QS, semua turun peringkat dan kemudian stagnan. Sementara di bidang publikasi ilmiah, menurut pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Indonesia pun tertinggal jauh, bahkan hanya sekitar sepertujuh jika dibandingkan dengan publikasi ilmiah dari Malaysia. Hal ini pula yang membuat Dirjen Dikti mengeluarkan Surat Edaran No 152/E/T/201,2 yang memberlakukan ketentuan kewajiban menghasilkan makalah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3. Seperti dapat dibayangkan sebelumnya, surat tersebut akhirnya menuai kontroversi dan kehebohan di kalangan akademisi.
Sampai saat ini dampak surat edaran tersebut tampaknya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah publikasi karya ilmiah di Indonesia. Mungkin satu hal yang terlupakan ketika surat tersebut dikeluarkan, yaitu kenyataan bahwa tanpa ditopang kegiatan riset yang menghasilkan luaran yang layak, mewajibkan mahasiswa menulis makalah hanya akan mendorong para peserta didik mengambil jalan pintas. Salah satunya melakukan plagiarisme. Jadi, sangat jelas dalam hal ini menaikkan ”harga” dosen tidak serta-merta akan menaikkan kinerja dosen.
Dalam tulisan itu, Rhenald Kasali juga menyatakan bahwa Permendikbud No 84/2013 merupakan konsep penataan PT yang memberi nilai tambah lebih baik bagi para dosen. Menurut saya, ini suatu pernyataan yang juga kurang tepat.
Dengan ikut sertanya pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ”mengelola” dosen PT yang jumlahnya sekitar 270.000 orang dan tersebar di lebih dari 3.100 PT merupakan suatu langkah ”penataan” yang sungguh susah dibayangkan tujuan utamanya. Alih-alih menyusun langkah strategis dan menetapkan arah dan tujuan pendidikan tinggi, Kemendikbud melalui Ditjen Dikti tampaknya memosisikan diri dan berperan menjadi ”universitas” terbesar di dunia yang berisikan lebih dari 3.100 PT di dalamnya.
Bayangkan jika instrumen bernama Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) atau Nomor Induk Pengajar Nasional (NIPN) digunakan untuk “mengikat” kaum intelektual, yang disebut dosen, agar selalu ”loyal” kepada satu PT induknya dengan beban minimum 12 SKS untuk mendapatkan status dosen tetap. Sementara dosen bersangkutan mungkin adalah dosen yang ilmu dan kompetensinya sangat mumpuni dan diperlukan, tidak saja di dalam negeri bahkan mungkin sampai ke mancanegara.
Hal ini tentu bertolak belakang dengan semangat ASEAN Free Trade Area (AFTA), yang secara jelas dicantumkan bahwa salah satu program utama untuk bidang pendidikan adalah Student and Staff Mobility. Namun, harap dipahami, saya bukan orang yang mendukung adanya dosen ”empat penjuru angin” atau bahkan mungkin ”delapan penjuru angin”, yang bagaikan selebritas ngamen di mana-mana semata-mata untuk alasan uang.
Saya jadi bertambah kagum ketika menelusuri pasal demi pasal dari permendikbud dimaksud. Secara implisit semangatnya menuju pengaderan dosen profesional yang dimulai sejak mereka menyandang gelar S-2, bahkan mungkin sejak S-1. Jadi, skenario yang akan dan telah terjadi mungkin begini. Almamater sebuah PT merekrut alumninya untuk menjadi dosen. Maka, setelah lulus S-1, calon dosen tersebut melanjutkan S-2, kemudian langsung ke S-3. Setelah selesai S-3 jadilah dia dosen di almamaternya. Dari beberapa dosen tersebut, kemudian ada yang mendapat tugas sebagai pejabat struktural, mulai dari ketua program studi, sekretaris jurusan, ketua jurusan, kemudian wakil dekan, dekan, sampai dengan wakil rektor, bahkan rektor.
Kepemimpinan
Ada hal yang menarik dari cara memberi penugasan ini, yang pada umumnya menjadi kebiasaan di banyak universitas, yaitu memberikan tugas administratif kepada dosen dengan kualifikasi akademik atau jabatan akademik tertinggi di domain tersebut. Atau, belakangan ini, ada yang lazim dilakukan, yaitu melakukan pemilihan, yang katanya supaya lebih ”demokratis”. Padahal, pada tiap akhir jabatan sang dosen yang mengemban jabatan struktural itu tidak pernah memberikan laporan pertanggungjawaban kepada ”rakyatnya”.
Lengkaplah sudah, dimulai dengan perekrutan dosen yang cenderung dari alumni sendiri (in-breeding), dilanjutkan pemilihan pejabat struktural dengan semangat ”korsa” yang tinggi, dapat dibayangkan kualitas kepemimpinan seperti yang akhirnya didapatkan. Jika PT itu kebetulan yang memang sudah melaju kencang, kecepatannya akan cenderung stagnan, sedangkan kompetitornya di luar sana makin menambah akselerasi sehingga akan semakin jauh melaju meninggalkannya. Hal ini salah satunya disebabkan absennya kepemimpinan yang memiliki kompetensi manajemen PT yang mumpuni dan teruji, bukan sekadar figur seorang dosen favorit, motivator ulung atau selebritas terkenal.
Maka, sangat disayangkan ketika ”harga” dosen sudah naik, tetapi peringkat universitas kita tetap seperti dulu.
(Erry Yulian Triblas Adesta, Deputy Dean (Postgraduate & Research), Universiti Islam Antarabangsa (UIA) Malaysia)
Sumber: Kompas, 2 Desember 2014