Catatan Iptek; Sinergi Giri-Bahari

- Editor

Rabu, 24 September 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gairah kebaharian kembali meluap ketika presiden terpilih Joko Widodo berjanji mewujudkan kembali kejayaan Indonesia sebagai negeri maritim. Setelah Sriwijaya dan Majapahit, laut seolah menjadi wilayah yang terlupakan. Tak ada lagi pesona pesisir pulau-pulau yang dulu masyarakatnya makmur.

Kehadiran VOC yang memecah belah dan kemudian menguasai lalu lintas laut dan perdagangan di seluruh Nusantara menjadi penyebab utamanya. Jawa pun kehilangan kemampuan baharinya setelah perjanjian pembayaran utang Mataram kepada VOC tahun 1705, yang menyerahkan bandar-bandar utama di pantai utara Jawa dan monopoli pelayaran ke tangan VOC, sekaligus melarang orang Mataram membuat perahu (Ki Sabdacarakatama, Sejarah Keraton Yogyakarta, 2008).

Pasca kemerdekaan, prinsip hukum negara kepulauan dalam Deklarasi Djuanda 1957—diterima UNCLOS 1982—sebenarnya telah menjadikan laut bebas dalam negara kepulauan menjadi perairan nasional yang mempersatukan. Namun, hingga 69 tahun Indonesia merdeka, kejayaan bahari tak juga kembali.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Masa 32 tahun Orde Baru justru memperburuk semangat kelautan. Seluruh kebijakan berorientasi darat dengan sawah dan beras, termasuk untuk kawasan Indonesia timur, yang semula asing dengan semua itu. Tidak ada kampanye makan ikan, apalagi pembangunan kawasan pesisir dan upaya pemberdayaan nelayan.

Padahal, dalam diskusi ”Jaya Giri Jaya Bahari” yang diselenggarakan Bentara Budaya Jakarta sebagai lembaga kebudayaan harian Kompas, Senin (22/9), terkuak sejarah panjang bangsa yang pernah mencapai kesejahteraannya karena sinergi giri dan bahari.
Kejayaan masa lalu

Sebelum musnah akibat letusan Gunung Tambora tahun 1815, Kesultanan Tambora sangat berjaya karena hasil bumi yang berlimpah dan lalu lintas perdagangan lautnya. Dalam diskusi, Drs I Made Geria, Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengungkapkan hasil ekskavasi berupa kerajinan dan hasil bumi, seperti kemiri dan kopi, yang diperdagangkan.

Pelabuhan di kesultanan itu dilalui jalur lalu lintas perdagangan, seperti Labuan Kenanga dan Teluk Saleh, yang pada masa itu menjadi jalur lintasan ke pelabuhan-pelabuhan besar di Bima. Keterbukaan Kesultanan Tambora bisa dilihat dari peninggalan berupa keramik Tiongkok dan tingkat kesejahteraannya bisa diukur dari temuan tali tambang, kuda, dan dendeng rusa. Sejarah mengenal masyarakat Sumbawa sebagai penghasil ternak kuda dan hasil hutan, seperti madu dan kayu sepang.

Demikian pula dengan Liyangan, sebuah situs kampung kuno yang berlokasi di kaki Gunung Sindoro, Jawa Tengah. Susunan permukiman yang meliputi area pertanian, hunian, dan peribadatan di tempat tertinggi menunjukkan peradaban yang sudah tertata pada zaman Mataram kuno abad VIII-IX.

Drs Sugeng Riyanto, arkeolog pada Balai Arkeologi Yogyakarta, yang menjadi Ketua Tim Ekskavasi Situs Liyangan, menjelaskan pula bahwa penduduk Liyangan sudah berkomunikasi dengan dunia luar. Itu dilihat dari barang-barang yang ditemukan. Sekali lagi, ada kaitan giri dan bahari di sini.

Kembali ke masa kini, sinergi giri dan bahari menjadi penting mengingat Nusantara sebagai ”Negeri Cincin Api”—dengan 127 gunung api—dianugerahi kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Namun, semua itu tak akan menyejahterakan rakyat tanpa sinergi dengan laut yang mengelilingi pulau-pulau ini sebagai pemersatu.

Jaya giri jaya bahari, rakyat pun menunggu janji Jokowi.

Oleh: Agnes Aristiarini

Sumber: Kompas, 24 September 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 4 Juli 2025 - 17:25 WIB

Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB