Untuk melihat keberhasilan pembangunan bangsa, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang mencanangkan program Revolusi Mental disarankan tidak hanya mengacu pada indeks pembangunan manusia. Namun, perlu melihat tingkat kebahagiaan, yaitu gross national happiness, yang telah dikenalkan di Bhutan.
”Dalam hal ini, tingkat kebahagiaan masyarakat tidak hanya diukur dengan materi,” kata Hilmar Farid dari Perkumpulan Praxis dalam seminar ”Penguatan Lembaga Penelitian dan Pengembangan dalam Kebijakan Pemerintah dan Pembangunan Nasional”, di Jakarta, Selasa (16/9), yang diadakan Pusat Penelitian Sosial LIPI. Indeks tingkat kebahagiaan itu dirumuskan berdasarkan 33 indikator yang dikelompokkan dalam 9 kluster.
Selain itu, menurut Hilmar, juga perlu survei tentang masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Itu untuk melihat ciri keindonesiaan atau gramatika kebudayaan nasional. Hal itu dilakukan di India melalui survei antropologi untuk menemukan jati diri sesungguhnya bangsa India, bukan pada ciri agama mayoritasnya, Hindu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu Vedi R Hadiz, Guru Besar Bidang Politik dan Sosial Asia di Universitas Murdoch, Australia, mengatakan, pemecahan masalah sosial, seperti kemiskinan dan pengangguran, memerlukan penelitian agar pembangunan bangsa dapat tercapai. Namun, penelitian sosial harus independen dan berdasarkan sikap kritis.
Apabila tidak, riset sosial hanya menjadi alat legitimasi politik. Itu yang terjadi pada era Orde Baru yang otoriter, yakni ketika peneliti ilmu sosial kehilangan sikap kritis dan hanya menjadi alat legitimasi negara. Mereka tidak melakukan penelitian ilmiah untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan tentang masalah sosial.
Komunitas ilmu sosial, kata dia, juga mesti mengembangkan sistem yang menjamin mutu penelitian mendekati kriteria yang diterima internasional. (YUN)
Sumber: Kompas, 18 September 2014