Berdasarkan dua temuan kondisi cuaca dan iklim serta curah hujan yang mulai menyimpang tahun lalu dan tahun 2021, muncul pertanyaan apakah kondisi ini merupakan bentuk atau bagian perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
—-Sumber: BMKG
Judul opini ini merupakan suatu kondisi yang sedang terjadi dan berkembang saat ini. Basisnya adalah terukurnya curah hujan sehari (3-4 April 2021), bersamaan perayaan hari Paskah yang diperingati oleh umat Nasrani di seluruh dunia.
Pada saat itu, terukur curah hujan di atas 200 milimeter, mungkin lebih, karena hingga opini ini disusun, hujan lebat masih berlangsung di hampir sebagian kawasan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dari catatan stasiun pengamat cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), hingga pukul 08.00 waktu Indonesia tengah, 4 April 2021, di Provinsi Nusa Tenggara Timur, diketahui sebagai berikut.
Stasiun Meteorologi Bandara El Tari mengukur curah hujan 241 milimeter. Stasiun Klimatologi Kupang mengukur curah hujan 230 milimeter. Stasiun Meteorologi Sabu mengukur curah hujan 205 milimeter. Selanjutnya, Stasiun Meteorologi Gewayantana mengukur curah hujan 150 milimeter.
Gambar awan dari satelit cuaca pada 4 April 2021 menunjukkan kondisi awan hujan masih cukup meliput di sebagian besar Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang artinya curah hujan masih berlangsung.
Situasi dan perkembangan yang terjadi ini secara meteorologis menunjukkan adanya suatu bibit badai tropis yang giat di selatan Pulau Timor, bergerak secara lambat ke arah barat. Pusat tekanan udara berkisar 1.000-1.002 milibar yang dalam istilah meteorologi dikenal sebagai depresi tropis.
Depresi tropis mengakibatkan angin berputar dan bertemu atau konvergensi, yang membentuk gugusan awan. Kondisi ini berlangsung beberapa hari sejak memasuki April 2021. Ini berlangsung empat hari dengan kecenderungan tekanan udara yang terus turun, termasuk di pusatnya.
Kecenderungan itu didukung oleh kondisi makro berupa gelombang tropis atau osilasi MJO. Dampaknya adalah menggiatkan kondisi udara yang berkembang dengan pembentukan awan dan hujan.
Banjir bandang
Berita media massa yang menyebutkan bahwa di Pulau Flores Timur terjadi banjir bandang semula memberitakan bencana itu menyebabkan lima orang meninggal. Ternyata pada 4 April 2021 siang, bencana itu menimpa suatu desa dengan korban puluhan orang.
Selain Pulau Flores, kemungkinan banjir bandang masih ada di pulau-pulau besar dan kecil sekitar Pulau Timor yang sepertinya terdampak dengan hadirnya curah hujan tinggi yang masuk kategori ekstrem dari pandangan dan ukuran dari BMKG.
Apabila curahan hujan per hari yang terukur dalam penakar curah hujan itu di atas 150 milimeter, masuk dalam kriteria hujan ekstrem. Sementara curah hujan antara 100-149 milimeter masuk kriteria hujan lebat, antara 50-99 milimeter masuk kriteria hujan, dan kurang dari 50 masuk kriteria hujan ringan-sedang.
Konsekuensi akan terjadi curah hujan sangat lebat hingga ekstrem dari pengalaman atas kejadian tersebut tahun 2021 seperti yang terjadi di beberapa kawasan. Mulai dari kawasan Kalimantan Selatan akhir Januari, kawasan ibu kota Jawa Tengah, kemudian kawasan Jawa Barat awal Februari, hingga pada akhir Februari 2021 kawasan Jakarta.
Kini, pada April 2021 terjadi di kawasan Nusa Tenggara Timur yang secara klimatologis April masuk dalam kategori musim kemarau. Artinya, curahan hujan mulai berkurang. Mengapa demikian?
Ini sengaja diketengahkan untuk menjadi perhatian dari pihak-pihak terkait dengan catatan jangan buru-buru mengatakan ini semua ulah dari perubahan iklim. Kalau masuk kategori ini, akan langsung terhenti untuk dibahas.
Akan lebih arif apabila ini dicermati dan diperhatikan dengan saksama untuk mencermati proses fisika dan dinamika udara kawasan Benua Maritim Indonesia sebagai bagian dari pembelajaran. Karena dari perspektif dan perkembangan yang terjadi, kondisi cuaca dan iklim kawasan Benua Maritim Indonesia kian memberi dampak, khususnya bencana hidrometeorologi kering dan basah.
Apabila kita jauh menyimak kondisi cuaca dan iklim periode 1980-2010, tampaklah keseringan kekeringan panjang dan kebakaran lahan dan hutan. Periode 2010-2021 didominasi oleh bencana hidrometeorologi basah dengan banjir, banjir bandang, dan tanah longsor.
Sesuai dengan periode klimatologi yang umurnya 30 tahun, sepertinya bencana hidrometeorologi basah akan berakhir 2040. Ini adalah suatu prakiraan sesuai dengan tingkat kejadian bencana yang telah terjadi sejak 1980 hingga kini tahun 2021.
Sebelumnya, kondisi cuaca dan iklim kawasan Benua Maritim Indonesia cenderung mantap atau stabil, di mana periode antara akhir dan awal tahun angin baratan dan umumnya musim hujan giat. Kondisi sebaliknya terjadi di sekitar pertengahan tahun dengan kondisi angin timur dan musim kering meski giat berbagai gejala alam global, seperti El Nino/La Nina.
Dari catatan perkembangan menunjukkan bahwa kondisi cuaca dan iklim sangat kondusif sehingga Indonesia berhasil menjadi lumbung beras. Kondisi ini terus memuncak tahun 1990, dengan penghargaan internasional dari Badan Pangan Dunia atas keberhasilan dalam swasembada pangan nasional.
Kondisi ini rusak dengan giatnya gejala alam global El Nino yang berkepanjangan dan berulang (1991-1994, 1997-1998, 2002-2003, 2007-2008) sehingga memunculkan bencana hidrometeorologi kering.
Pengaruh dominan
Kembali pada kondisi cuaca dan iklim, dalam dua tahun terakhir kawasan Indonesia didominasi pengaruh gejala La Nina, seiring gejala El Nino yang giatnya singkat (2015-2016 sekitar sembilan bulan) dan yang terakhir 2018-2020 hampir dua tahun, tetapi intensitasnya lemah dengan kondisi relatif basah saat periode akhir El Nino 2020.
Akhirnya, perkembangan dampak kondisi gejala El Nino 2018-2020 tidak memberi dampak yang nyata dengan kondisi bencana hidrometeorologi kering seperti yang terjadi di sekitar periode 1980-2010.
Bahkan, pada akhir periode gejala alam El Nino 2018-2020, terutama tahun 2020, muncul kontroversial dengan hujan sangat lebat hingga ekstrem di kawasan Jakarta dan Jawa Barat awal tahun 2020.
—–Dua bibit siklon tropis muncul di wilayah Indonesia, yaitu di Samudra Hindia sebelah barat daya Sumatera dan di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Fenomena ini diperkirakan memicu cuaca ekstrem di sebagian wilayah Indonesia sehingga berpotensi memicu bencana hidrometeorologi. Sumber: BMKG
Curah hujan ekstrem terjadi saat pergantian tahun 2019/2020 dengan kejadian hujan ekstrem yang meluas diikuti bencana hidrometeorologi basah yang meluas di tiga provinsi (Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat). Kemudian berlanjut dengan kejadian hujan sangat lebat enam kali dan dua kali kejadian hujan ekstrem.
Selain itu, juga dapat diinformasikan angin baratan mulai bertiup pada Februari hingga pertengahan Maret 2020, plus badai tropis sangat minim kala itu. Meski badai tropis sangat minim kegiatannya, seperti yang terjadi tahun 2021, kawasan Nusa Tenggara, baik Barat maupun Timur, masih terjadi curah hujan hingga memasuki pertengahan tahun 2020.
Tahun ini, khususnya musim hujan 2020/2021, mulai sekitar akhir tahun 2020 yang hingga kini terjadi curah hujan yang sepertinya setara dengan kuantitas dalam satu musim. Ini temuan kondisi pertama.
Temuan kondisi kedua adalah angin baratan yang berawal sejak akhir tahun hingga memasuki April 2021 belum berakhir hingga tulisan ini disusun.
Dengan demikian, dari dua temuan ini plus kondisi curah hujan yang mulai menyimpang tahun lalu dan tahun 2021, menjadi pertanyaan apakah ini merupakan bentuk atau bagian perubahan iklim. Ini yang perlu pengkajian lebih lanjut.
Paulus Agus Winarso, Praktisi Cuaca, Iklim, dan Lingkungan
Editor: YOHANES KRISNAWAN
Sumber: Kompas, 9 April 2021