Nobel Kimia untuk Dua Perempuan Penemu Gunting Genom

- Editor

Rabu, 14 Oktober 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Professor Pernilla Wittung Stafshede, left, and Goran K. Hansson, Secretary General of the Academy of Sciences, after announcing the winners of the 2020 Nobel prize in Chemistry during a news conference at the Royal Swedish Academy of Sciences, in Stockholm, Sweden, Wednesday Oct. 7, 2020. The 2020 Nobel Prize for chemistry has been awarded to Emmanuelle Charpentier, left on screen, and Jennifer Doudna “for the development of a method for genome editing.” (Henrik Montgomery/TT via AP)

Professor Pernilla Wittung Stafshede, left, and Goran K. Hansson, Secretary General of the Academy of Sciences, after announcing the winners of the 2020 Nobel prize in Chemistry during a news conference at the Royal Swedish Academy of Sciences, in Stockholm, Sweden, Wednesday Oct. 7, 2020. The 2020 Nobel Prize for chemistry has been awarded to Emmanuelle Charpentier, left on screen, and Jennifer Doudna “for the development of a method for genome editing.” (Henrik Montgomery/TT via AP)

Dua perempuan ilmuwan meraih penghargaan Nobel Kimia 2020 atas temuan mereka yang membuka jalan akan berbagai terobosan, mulai dari teknik rekayasa tanaman hingga terapi kanker.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

—Emmanuelle Charpentier dan Jennifer Doudna menjadi dua perempuan pertama yang berbagi Hadiah Nobel Kimia 2020

Emmanuelle Charpentier dan Jennifer A Doudna menjadi dua perempuan pertama yang berbagi Hadiah Nobel Kimia. Keduanya dianggap berjasa mengembangkan teknologi pengeditan genom organisme, yang memberi sumbangsih pada riset dasar sekaligus juga rekayasa tanaman hingga terapi kanker.

”Hadiah tahun ini adalah tentang menulis ulang kode kehidupan,” kata Goran K Hansson, Sekretaris Jenderal Academy of Sciences, dalam pengumuman pemenang Nobel Kimia 2020, yang juga disiarkan secara daring, Rabu (7/10/2020).

Charpentier (51) merupakan ilmuwan Perancis yang menjabat sebagai Direktur Max Planck Unit untuk Ilmu Patogen di Berlin. Adapun Doudna (56) merupakan profesor kelahiran Amerika Serikat yang mengajar di University of California, Berkeley. Keduanya berbagi rata hadiah Nobel senilai 10 juta krona Swedia atau setara Rp 16,6 miliar.

AP PHOTO/MARKUS SCHREIBER—Emmanuelle Charpentier, ilmuwan Perancis, peraih Nobel Kimia 2020

Setelah bertemu di sebuah kafe di Puerto Rico pada tahun 2011 di sela-sela konferensi yang mereka hadiri, sebut Komite Nobel, keduanya pertama kali memublikasikan penemuan gunting genetik CRISPR-Cas9 pada tahun 2012. Temuan ini memberikan cara untuk membuat perubahan spesifik dan tepat pada DNA yang terkandung dalam sel hidup.

Dalam bentuk aslinya, gunting genetik clustered regularly interspaced short palindromic repeats atau CRISPR/Cas9 berfungsi untuk mengenali urutan DNA dari genom mikroorganisme. Akan tetapi, Charpentier dan Doudna membuktikan bahwa hal itu dapat dikontrol dan digunakan untuk memotong molekul DNA.

Dengan metode ini, para peneliti bisa mengubah DNA hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme dengan presisi yang sangat tinggi. Sebelum penemuan ini, peneliti yang hendak memodifikasi gen membutuhkan waktu panjang, sulit, dan terkadang tidak mungkin dilakukan. Dengan menggunakan gunting genetik CRISPR/Cas9, pekerjaan untuk mengubah kode kehidupan bisa dikerjakan selama beberapa minggu.

Berdasarkan temuan mereka tersebut, metode ini telah digunakan dalam berbagai aplikasi ilmiah, dari memodifikasi tanaman secara genetik hingga untuk terapi baru kanker yang kini tengah berlangsung. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengambil sel punca yang membuat darah baru dan memperbaiki mutasi yang terjadi sebelumnya.

Ketua Komite Nobel Kimia 2020 Claes Gustafsson mengatakan, penemuan pasangan itu memungkinkan kita membelah urutan apa pun dalam genom. ”Ada kekuatan luar biasa dalam alat genetik ini, yang memengaruhi kita semua. Ini tidak hanya merevolusi ilmu pengetahuan dasar, tetapi juga menghasilkan tanaman yang inovatif dan akan mengarah pada perawatan medis baru yang inovatif,” katanya.

BRIAN ACH / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / AFP—Jennifer A Doudna, pengajar di University of California, Berkeley. Peraih Nobel Kimia 2020.

Pertama kali
Dengan raihan ini, untuk pertama kalinya dua perempuan berbagi Nobel Kimia. Keduanya merupakan perempuan keenam dan ketujuh yang dianugerahi Hadiah Nobel Kimia di abad ke-21, dari lebih dari 50 penerima.

Sebelumnya, perempuan yang pernah mendapatkan Nobel Kimia adalah Frances H Arnold pada tahun 2018, Ada Yonath pada tahun 2009, Dorothy Crowfoot Hodgkin pada tahun 1964, Irene Joliot-Curie pada tahun 1935, dan Marie Curie pada tahun 1911.

Sementara itu, Nobel Kimia tahun 2019 dianugerahkan kepada tiga ilmuwan laki-laki atas pekerjaan mereka mengembangkan baterai litium-ion yang sumber dayanya memicu revolusi teknologi serta memunculkan ponsel dan mobil listrik.

Sebagai satu dari dua perempuan pertama yang berbagi hadiah Nobel Kimia ini, Charpentier mengatakan, ”Harapan saya, ini akan memberikan pesan positif kepada para gadis muda yang ingin mengikuti jalur sains, dan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa perempuan dalam sains juga dapat memberikan dampak melalui penelitian yang mereka lakukan.”

Dia melanjutkan, ”Ini bukan hanya untuk perempuan, melainkan kami melihat kurangnya minat yang jelas untuk mengikuti jalur ilmiah, yang sangat mengkhawatirkan.”

Selama ini penghargaan Nobel dan penghargaan dalam Ilmu Ekonomi baru diberikan kepada 57 perempuan dari sekitar 900 orang yang pernah mendapatkan penghargaan ini dalam kurun tahun 1901 dan 2020. Hanya satu perempuan, Marie Curie, yang dianugerahi dua kali, dengan Hadiah Nobel 1903 dalam Fisika dan Hadiah Nobel 1911 dalam Kimia. Ini berarti total 56 perempuan telah dianugerahi Hadiah Nobel antara tahun 1901 dan 2020.

Bahaya teknologi
Teknologi CRISPR/Cas9 yang ditemukan Charpentier dan Doudna terbukti menjadi revolusi di bidang molekuler dan menjanjikan kemampuan untuk mengobati atau bahkan menyembuhkan penyakit bawaan. Misalnya, teknologi ini kini sedang dikembangkan untuk mengobati anemia bulan sabit, kelainan darah yang memengaruhi jutaan orang di seluruh dunia.

Namun, tanpa regulasi, teknologi ini juga bisa digunakan untuk merekayasa penciptaan embrio manusia, yang menabrak norma etis, seperti dilakukan ilmuwan biofisika China He Jiankui pada tahun 2019. He berargumen, pengeditan DNA embrio manusia yang dilakukannya bertujuan agar bayi yang lahir kebal pada infeksi HIV karena ayahnya mengidap HIV.

Hal itu dilakukan dengan menonaktifkan gen CCR5, yang mengode protein dan memungkinkan HIV masuk sel. Namun, penon-aktifan gen memicu mutasi bagian lain genom dengan dampak kesehatan tak terduga karena gen CCR5 melawan infeksi lain.

Pada Januari 2020, Pengadilan di China akhirnya memvonis He dengan hukuman tiga tahun penjara dan denda 3 juta yuan atau sekitar Rp 6 miliar. Ia dianggap bersalah memalsukan dokumen persetujuan dewan pengawas etika untuk merekrut pasangan yang menjadi eksperimen penciptaan bayi manusia dengan penyuntingan gen pertama di dunia (Kompas, 8 Januari 2020).

Mengomentari hukuman He saat itu, Jennifer Doudna mengatakan, ”Saya tak setuju melihat ilmuwan dipenjara, tapi ini kasus tak biasa. (Pekerjaannya) salah pada banyak jalan.”

Oleh AHMAD ARIF

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 8 Oktober 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 6 April 2022 - 14:26 WIB

IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya

Selasa, 8 Februari 2022 - 10:57 WIB

Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB