Dua perempuan yang memelopori kemajuan teknologi rekayasa genetika itu, yaitu Emmanuelle Charpentier (51) dan Jennifer Doudna (56), mendapatkan Hadiah Nobel Kimia tahun ini.
Setelah teori evolusi oleh Charles Darwin, atas kontribusi Alfred Russel Wallace, rekayasa genetika bisa dianggap sebagai terobosan terbesar sekaligus paling kontroversial dalam ilmu hayati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika teori evolusi menjelaskan terbentuknya ragam hayati melalui seleksi alam yang berlangsung ribuan hingga jutaan tahun, rekayasa genetika memberi jalan bagi manusia mengubah makhluk hidup dalam sekejap.
Dua perempuan yang memelopori kemajuan teknologi rekayasa genetika itu, yaitu Emmanuelle Charpentier (51) dan Jennifer A Doudna (56), mendapatkan Hadiah Nobel Kimia tahun ini. Pemilihan Charpentier oleh Komite Nobel, ilmuwan Perancis yang bekerja di Unit Max Planck untuk Ilmu Patogen di Berlin, dan Doudna, profesor di Universitas California, Berkeley, menjadi pengakuan terbesar atas pekerjaan mereka mengembangkan alat pengeditan gen CRISPR/Cas9.
Dengan metode ini, para peneliti bisa mengubah DNA hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme dengan presisi yang sangat tinggi. Dalam berbagai aplikasi ilmiah, metode ini kemudian digunakan untuk memodifikasi genetik tanaman, hingga dikembangkan untuk terapi baru kanker. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengambil sel punca yang membuat darah baru dan memperbaiki mutasi yang terjadi sebelumnya.
Ketua Komite Nobel Kimia 2020, Claes Gustafsson, mengatakan, penemuan pasangan itu memungkinkan kita untuk membelah urutan apa pun dalam genom dan kemudian menyusun ulang urutannya. ”Ada kekuatan luar biasa dalam alat genetik ini yang memengaruhi kita semua. Ini tidak hanya merevolusi ilmu pengetahuan dasar, tetapi juga menghasilkan tanaman yang inovatif hingga mengarah pada perawatan medis baru yang inovatif,” katanya.
AP PHOTO/MARKUS SCHREIBER—Emmanuelle Charpentier, ilmuwan Perancis, peraih Nobel Kimia 2020.
Tak terbantahkan lagi, temuan ini memang revolusioner. Namun, selain kehebatan penemuan ini, penghargaan Nobel Kimia 2020 bisa dianggap sebagai ”kemenangan bersejarah”, karena kedua juaranya adalah ilmuwan wanita.
Dengan raihan ini, untuk pertama kalinya dua wanita berbagi Nobel Kimia. Keduanya merupakan wanita keenam dan ketujuh yang dianugerahi Hadiah Nobel Kimia di abad ke-21, dari lebih dari 50 penerima.
”Harapan saya, ini akan memberikan pesan positif kepada para gadis muda yang ingin mengikuti jalur sains dan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa perempuan dalam sains juga dapat memberikan dampak melalui penelitian yang mereka lakukan,” ujar Charpentier seusai pengumuman.
AP/HENRIK MONTGOMERY—Profesor Pernilla Wittung Stafshede (kiri) dan Goran K Hansson, Secretary General of the Academy of Sciences, saat mengumumkan peraih Nobel Kimia 2020 di Royal Swedish Academy of Sciences, Stockholm, Swedia, Rabu (7/10/2020).
Kolaborasi
Charpentier dan Doudna sebenarnya menemukan CRISPR/Cas9 secara tidak sengaja. Sebelumnya, Charpentier, seorang ahli mikrobiologi, menghabiskan beberapa tahun mempelajari Streptococcus pyogenes, spesies bakteri yang menyebabkan sejumlah penyakit.
Saat memeriksa DNA mikroba itu pada 2006, dia menemukan serangkaian segmen berulang yang membingungkan. Beberapa ilmuwan telah mempelajari segmen ini sejak 1980-an dan menemukan adanya potongan materi genetik virus di dalamnya. Entah bagaimana, bakteri tersebut mengambil sedikit gen virus dan menyimpannya, serta apa fungsinya.
Francisco Mojica, seorang ahli mikrobiologi di Universitas Alicante di Spanyol, termasuk yang paling getol menelisik segmen DNA ini dan memberi nama ”kelompok pengulangan palindromik pendek yang bersilangan secara teratur” atau disingkat CRISPR (clustered regularly interspaced short palindromic repeats) pada 2000.
Harapan saya, ini akan memberikan pesan positif kepada para gadis muda yang ingin mengikuti jalur sains dan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa perempuan dalam sains juga dapat memberikan dampak melalui penelitian yang mereka lakukan.
Dengan ketekunannya, Charpentier akhirnya menemukan, bakteri ternyata menggunakan potongan genetik virus ini untuk bertahan dari serangan di masa depan.
Sekalipun mulai menemukan titik terang dan menulis makalah tentang penemuannya pada tahun 2011, Charpentier menyadari dia perlu berkolaborasi dengan pakar molekul RNA. Itulah yang kemudian mempertemukannya dengan Doudna.
Keduanya bertemu di sebuah kafe di Puerto Riko pada 2011 saat menghadiri konferensi ilmiah bersama dan segera berkolaborasi untuk memahami cara kerja CRISPR. Tak berselang lama, mereka menyadari bahwa molekul ini merupakan senjata ampuh dari bakteri untuk melawan virus. Jadi, bakteri membuat molekul RNA-asam ribonukleat, sepupu DNA-itu untuk mengenali gen virus yang menginfeksi.
Persenjataan itu mencakup enzim yang disebut Cas9 yang mampu memotong materi genetik virus. Eureka! Jika bakteri bisa memanfaatkan molekul RNA guna memotong materi genetik virus, artinya ini juga dapat dipakai untuk mencari dan mengubah setiap bagian DNA. Bukan hanya virus, melainkan gen apa pun.
Pada 2012, mereka akhirnya membuktikan konsep ini bisa berhasil menciptakan metode baru pengeditan DNA yang dinamai CRISPR/Cas9. Jika kita bisa memotong di dua lokasi yang berdekatan pada sepotong DNA lalu menyisipkan potongan DNA baru sebagai pengganti yang telah dihapus, ini berarti kita bisa melangkah jauh pada penciptaan organisme.
Apa yang dimulai sebagai sistem pertahanan antivirus kuno dengan cepat menjadi salah satu alat pengeditan genom paling kuat dan tepat yang tersedia untuk sains. CRISPR/Cas9 bukanlah alat pertama yang ditemukan para ilmuwan untuk mengubah DNA. Namun, metode sebelumnya melibatkan mesin dan bahan yang mahal dan rumit.
BRIAN ACH / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / AFP—Jennifer A Doudna, profesor kelahiran Amerika Serikat yang mengajar di University of California, Berkeley, peraih Nobel Kimia 2020.
Bisa dikatakan, teknologi temuan kedua perempuan ini bisa menjadi jalan pintas operasi genetik. Karena itu, dalam waktu kurang dari satu dekade, CRISPR/Cas9 telah menjadi hal biasa di laboratorium di seluruh dunia.
Namun, CRISPR/Cas9 juga menjadi teknologi yang paling kontroversial karena potensinya untuk mengubah keturunan manusia. Pada tahun 2018, ilmuwan China, He Jiankui, mengumumkan telah menggunakan teknologi tersebut untuk mengedit gen embrio manusia, yang menghasilkan bayi hasil rekayasa genetika pertama di dunia. Eksperimen.
He dikecam oleh banyak komunitas ilmiah sebagai tidak bertanggung jawab dan berbahaya. Pengadilan di China, akhirnya memvonis He dengan hukuman tiga tahun penjara dan denda 3 juta yuan atau sekitar Rp 6 miliar. Ia dianggap bersalah memalsukan dokumen persetujuan dewan pengawas etika untuk merekrut pasangan yang menjadi eksperimen penciptaan bayi manusia dengan penyuntingan gen pertama di dunia (Kompas, 8 Januari 2020).
Mengomentasi hukuman He saat itu, Jennifer Doudna mengatakan, ”Saya tak setuju melihat ilmuwan dipenjara, tetapi ini kasus tak biasa. (Pekerjaannya) salah pada banyak jalan.”
Sejak awal, Charpentier dan Doudna mengenali potensi bahaya dari teknologi yang mereka ciptakan. Pada 2017, Doudna ikut menulis sebuah buku, A Crack in Creation, untuk menggambarkan harapan dan bahaya CRISPR/Cas9. Namun, dia terkejut setahun kemudian ketika He Jiankui mengumumkan percobaan cerobohnya di China.
”Kami sebagai komunitas (ilmuwan) perlu memastikan bahwa semuanya menyadari dan bertanggung jawab atas teknologi yang sangat kuat,” kata Doudna. ”Saya harap pengumuman ini membangkitkan niat itu.”
Ya, ilmu pengetahuan dan teknologi selalu bermata ganda. Kini, tergantung kita, apakah akan melangkah jauh untuk membuka kotak pandora penciptaan untuk tujuan kemanusiaan atau menggunakannya untuk kehancuran.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: MARIA SUSY BERINDRA
Sumber: Kompas, 9 Oktober 2020