Suhu Global Meningkat 1,1 Derajat Celsius

- Editor

Kamis, 5 Desember 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Suhu rata-rata global pada Januari hingga Oktober 2019 telah mencapai 1,1 derajat celsius lebih panas dibandingkan dengan periode pra-industri tahun 1850-an.

Suhu-rata-rata-global_1575461145-720x408.png–Suhu global terus meningkat yang memicu krisis iklim. Data Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), suhu rata-rata tahun 2019 sudah lebih panas 1,1 derajat celsius dibandingkan dengan tahun 1850-an. Sumber: WMO, 2019

Satu dekade terakhir ini menjadi rekor tahun terpanas, penyusutan es, dan kenaikan permukaan laut. Suhu rata-rata global pada Januari hingga Oktober 2019 telah mencapai 1,1 derajat celsius lebih panas dibandingkan dengan periode pra-industri tahun 1850-an.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Memburuknya krisis iklim ini dilaporkan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) di Madrid, Spanyol, Rabu (4/12/2019). ”Jika kita tidak mengambil tindakan segera, kita sedang menuju peningkatan suhu lebih dari 3 derajat celsius pada akhir abad ini, dengan dampak yang semakin berbahaya pada kesejahteraan manusia,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.

Laporan sementara dari WMO ini merupakan sumber informasi resmi untuk Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCC) atau COP25 yang berlangsung di Madrid dari 2 Desember hingga 13 Desember. Ini melengkapi laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim.

Jika kita tidak mengambil tindakan segera, kita sedang menuju peningkatan suhu lebih dari 3 derajat celsius pada akhir abad ini dengan dampak yang semakin berbahaya.

Sejak 1980-an, setiap dekade terus memanas dibandingkan dengan sebelumnya. Satu dekade terakhir merupakan tahun-tahun terpanas yang tercatat di bumi, di mana tahun 2019 menjadi tahun kedua.

Lautan menyerap lebih dari 90 persen panas yang terperangkap dalam sistem bumi dengan meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca. Kandungan panas lautan mencapai tingkat rekor lagi pada 2019.

Laporan sementara ini juga menyebutkan, selama dekade 2009-2018, lautan menyerap sekitar 22 persen emisi karbon dioksida (CO2) tahunan. Hal ini menyebabkan pH air laut menurun atau dikenal sebagai pengasaman laut. Pengamatan dari sumber laut terbuka dalam 30 tahun terakhir menunjukkan penurunan yang jelas pH rata-rata, yaitu 0,017-0,027 unit pH per dekade sejak akhir 1980-an.

Ancaman berikutnya berupa menyusutnya lapisan es di Kutub Utara dan Antartika. Pada 2019, luasan es laut di kutub mencapai tingkatan terendah.

Meningkatkan bencana
Dampak dari perubahan iklim ini adalah meningkatkan intensitas dan frekuensi bencana hidrometeorologi. Taalas menyebutkan, gelombang panas dan banjir yang dahulu merupakan peristiwa sekali dalam seabad menjadi kejadian yang lebih rutin. Negara-negara mulai dari Bahama, Jepang, hingga Mozambik menderita efek dari badai tropis yang menghancurkan. Kebakaran hutan melanda Kutub Utara dan Australia.

”Setiap hari, dampak perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem dan tidak normal,” sebut Taalas.

Lebih dari 10 juta orang mengungsi antara Januari dan Juni 2019 akibat bencana hidrometeorologi. Sebanyak 7 juta orang yang mengungsi dipicu oleh bencana topan Idai di Afrika bagian tenggara, topan Fani di Asia Selatan, serta badai Dorian di Karibia, banjir di Iran, Filipina, dan Ethiopia.

Sedangkan panas ekstrem juga semakin sering melanda dengan dampak lebih besar. Pada 2018, jumlah korban terpapar gelombang panas mencapai rekor 220 juta orang, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata untuk baseline 1986-2005.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Sesaat sebelum diguyur hujan, awan hitam disertai kilatan petir menghiasi langit di kawasan Kuningan, Jakarta, Sabtu (30/11/2019). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan puncak musim hujan akan berlangsung mulai Februari 2020 di wilayah DKI Jakarta. Meski belum memasuki puncak musim hujan, BMKG mengimbau masyarakat tetap mewaspadai potensi banjir sejak masa transisi saat ini.

Frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi juga terus meningkat dan mendominasi 99 persen kejadian bencana alam di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang tahun 2019 telah terjadi 3.415 kali kejadian bencana, terdiri dari 1.138 kali puting beliung, 738 kebakaran hutan dan lahan, 696 kali banjir, 669 kali tanah longsor, 121 kali kekeringan, 29 kali gempa bumi, 17 kali gelombang pasang atau abrasi, serta 7 kali letusan gunung api. Jumlah korban akibat bencana 462 orang meninggal, 107 orang hilang, 3.343 orang luka-luka, serta 5.970.137 orang menderita dan mengungsi.

Oleh AHMAD ARIF

Editor YOVITA ARIKA

Sumber: Kompas, 4 Desember 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 17 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB