Semua suka makanan dan minuman manis. Meski pola diet tinggi gula itu dalam jangka panjang bisa memicu obesitas, kerusakan gigi, dan penyakit degeneratif, banyak orang sulit menghindari makanan dan minuman manis.
KOMPAS/STEFANUS OSA TRIYATNA–Makanan manis menjadi favorit saat berbuka, padahal tak selalu menyehatkan. Teh manis ditambah camilan manis dijadikan sajian awal berbuka puasa setelah seharian menahan lapar dan dahaga. Antrean meraih manisnya sajian ini terlihat dalam sebuah acara berbuka puasa bersama yang diselenggarakan agen pemegang merek Mitsubishi di sebuah restoran di Jakarta, pada Juni 2018.
Kesukaan akan rasa manis merupakan bawaan lahir, diwariskan lintas generasi. Sebagai pengumpul makanan, nenek moyang manusia tahu makanan manis jadi sumber energi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Amy Reichelt, ahli neurosains Universitas Western, Ontario, Kanada, dalam theconversation.com, Jumat (15/11/2019), mengatakan, saat rasa manis dicecap, sistem penghargaan otak aktif, melepaskan dopamin dan memunculkan rasa senang.
Di masa lalu, sumber utama rasa manis hanya didapat dari aneka buah. Gula pasir baru menyebar ke seluruh dunia sekitar abad ke-18 setelah sejumlah negara kolonial mengintensifkan penanaman tebu di negara jajahannya.
Konsumsi gula jadi berlebih dan menimbulkan risiko obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular.
Rasa manis yang semula susah didapat kini bisa diakses siapa pun dan kapan pun dengan harga murah. Berbagai penganan dan minuman menjadikan gula sebagai bahan dasar untuk memunculkan rasa bahagia setelah mengonsumsinya.
Meski cara mendapat rasa manis berubah, kegemaran manusia pada rasa manis tetap. Akibatnya, konsumsi gula jadi berlebih dan menimbulkan risiko obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular. Gula berlebih juga meningkatkan agresivitas, sulit membuat putusan, mempercepat penuaan, dan menurunkan daya tahan tubuh.
Tubuh tetap butuh gula. Fungsi otak untuk berpikir, merekam memori, dan belajar tergantung kadar glukosa, satu bentuk gula. Fungsi itu berjalan jika kadar glukosa terpenuhi dan otak efisien memakai glukosa jadi bahan bakar. ”Tidak mungkin otak bekerja tanpa gula,” kata Vera Novak dari Sekolah Kedokteran Harvard, Amerika Serikat.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Peserta Danamon Run 2019 melakukan senam bersama setelah menyelesaikan perlombaan. Ajang lari yang diselenggarakan di Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Minggu (10/11/2019). Aktivitas fisik dapat mengurangi keinginan mengonsumsi makanan manis.
Meski gula dibutuhkan dalam jumlah cukup, sebagian besar orang susah mengendalikan diri. Aktifnya sistem penghargaan di otak membuat orang yang makan manis terdorong makan manis kembali hingga berlebihan. Konsumsi gula berlebih terjadi di semua negara. Menurut Atmarita dkk, pada publikasi di Gizi Indonesia (2016), rata-rata konsumsi gula di Indonesia 25,61 gram per orang per hari. Ada 11,8 persen orang mengonsumsi lebih dari 50 gram gula per hari, batas yang dianjurkan Kementerian Kesehatan.
Konsumsi gula berlebih terjadi saat stres, lapar, atau selera mereka digugah tampilan makanan dan minuman manis. Bahkan, studi Anayanci Masis-Vargas dan rekan dari Belanda-Perancis pada 2019 menunjukkan, paparan cahaya biru gawai memicu hasrat mengonsumsi asupan yang manis.
Meski konsumsi tak terkendali menjadikan gula sebagai ”racun putih”, manusia bisa membatasi penggunaannya. Sifat otak yang plastis atau mudah berubah membuat upaya membatasi konsumsi gula bisa dilakukan. Aktivitas fisik dan olahraga mengendalikan hasrat mengonsumsi makanan manis. Konsumsi makanan kaya lemak omega-3, seperti minyak ikan dan kacang, membentuk sel saraf baru yang dirusak gula. Itu disertai membatasi penggunaan gawai.
Kebiasaan mengonsumsi makanan manis bisa diubah. Negara harus hadir melalui penegakan aturan pembatasan gula karena tak adil jika menyerahkan upaya pengurangan konsumsi gula berdasarkan kesadaran individu semata.–Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 20 November 2019