Komitmen sejumlah perusahaan multinasional untuk turut mengatasi sampah plastik diragukan. Tindakan mereka cenderung masih sebatas pada mengubah kemasan produk dari plastik sekali pakai ke kertas, bioplastik, ataupun daur ulang kimiawi. Tindakan ini dianggap belum menyentuh akar masalah.
Demikian laporan penelitian terbaru yang diinisiasi oleh Greenpeace Amerika Serikat (AS) berjudul Throwing Away the Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution ”Solutions” dan dirilis pada Selasa (1/10/2019).
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Sampah plastik bermunculan dari dasar situ akibat surutnya air Situ Cibeureum di Desa Lambang Sari, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (17/9/2019). Selain permasalahan alih fungsi lahan yang makin menyempit akibat dikembangkan menjadi kawasan perumahan, sampah juga menjadi masalah klasik akibat kurangnya kepedulian publik yang berkunjung ke situ terhadap sampah. Jumlah timbulan sampah di Indonesia setiap tahun 65,8 juta ton, 15 persennya terdiri atas sampah plastik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Terlepas dari meningkatnya kajian ilmiah tentang dampak sampah plastik terhadap lingkungan dan masyarakat yang sulit dipulihkan, produksi plastik diproyeksikan tetap meningkat secara signifikan di tahun-tahun mendatang,” kata Spesialis Riset Senior Greenpeace AS Ivy Schlegel, yang menulis laporan tersebut.
Menurut dia, produsen barang konsumen multinasional terus mempromosikan yang mereka sebut sebagai alternatif berkelanjutan. Namun, solusi ini justru akan memberikan tekanan besar pada sumber daya alam, seperti hutan dan lahan pertanian, yang telah dieksploitasi secara berlebihan.
Solusi ini justru akan memberikan tekanan besar pada sumber daya alam, seperti hutan dan lahan pertanian, yang telah dieksploitasi secara berlebihan.
Dalam studi ini disebutkan, banyak perusahaan berskala global telah menyatakan akan membuat kemasan plastik yang dapat didaur ulang, dapat digunakan kembali, lebih mudah terurai, atau dari konten daur ulang. Namun, di sisi lain, mereka juga tetap melanjutkan, bahkan meningkatkan, pembuatan produk yang dibungkus dengan plastik sekali pakai atau kemasan sekali pakai yang terbuat dari bahan lain.
Menurut Yayasan Ellen MacArthur, seperti termuat dalam laporan, sampai saat ini tidak ada perusahaan multinasional yang berkomitmen mengurangi volume total atau jumlah unit kemasan sekali pakai yang dijualnya. Mereka juga belum berinvestasi secara signifikan dalam sistem pengiriman yang dapat digunakan kembali dan diisi ulang, serta hanya segelintir perusahaan yang sudah mengungkapkan jejak plastik mereka.
Laporan juga menemukan, ada perusahaan berinvestasi dalam teknologi daur ulang dengan bahan kimia yang berisiko. Hal ini dinilai menawarkan harapan palsu dan tetap tidak mengubah permintaan untuk kemasan plastik.
Menurut Pemimpin Kampanye Plastik Global Greenpeace AS Graham Forbes, beralih ke bioplastik, kertas, 100 persen kemasan dapat didaur ulang, insinerasi, dan daur ulang bahan kimia, akan menyebabkan krisis lingkungan menjadi lebih buruk. ”Kita hanya akan melihat perubahan nyata ketika perusahaan besar menghentikan ketergantungan pada plastik dan berinvestasi besar-besaran dalam sistem yang mengutamakan penggunaan kembali.”
Beralih ke bioplastik, kertas, 100 persen kemasan dapat didaur ulang, insinerasi, dan daur ulang bahan kimia, akan menyebabkan krisis lingkungan menjadi lebih buruk.
Menurut laporan ini, pada akhir 2019 secara global, produksi dan pembakaran plastik akan memancarkan karbon setara dengan 189 pembangkit listrik batubara. Diperkirakan, pada tahun 2050, akan ada 12 miliar ton sampah plastik di lingkungan.
Hingga saat ini, lebih dari 4 juta orang di seluruh dunia telah menuntut agar perusahaan mengambil tindakan untuk mengakhiri krisis polusi plastik dengan menandatangani petisi internasional yang digalang Greenpeace.
”Demi mengatasi krisis sampah plastik, Greenpeace mendorong produsen serta peritel untuk mengurangi ketergantungannya terhadap kemasan plastik sekali pakai, segera menerapkan sistem pengantaran alternatif, dan transparan akan volume serta komposisi plastik sekali pakai yang digunakan sebagai kemasan,” sebut Muharram Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia.
AHMAD ARIF
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 2 Oktober 2019