Presiden Joko Widodo telah menegaskan komitmennya untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam lima tahun mendatang.
Komitmen ini akhirnya akan bertumpu pada keberdayaan ribuan K empat tinggi (PT) dalam menghasilkan lulusan dan penelitian yang bermutu. Masalahnya, Indonesia memiliki lebih dari 4.500 PT yang sebagian besar masih berjuang menjadi organisasi sehat. Kabinet baru Jokowi harus merumuskan kerangka pengembangan PT yang sesuai dengan keadaan, yakni jumlah sangat banyak, beragam dari berbagai sisi, dan belum bermutu baik. Mengimpor rektor sebagai sebagai jadi tampak aneh di tengah realitas ini.
Berdasarkan Pangkalan Data Dikti, saat ini ada 4.680 lembaga pendidikan tinggi dalam bentuk universitas, institut, politeknik, akademi, dan sekolah tinggi. Dari jumlah itu, hanya ada sekitar 400 PTN. Meski jumlahnya sangat besar bahkan lebih besar daripada di China, PT sebanyak itu hanya mampu menampung kurang dari 30 persen lulusan SMU.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Persoalan daya tampung PT sangat penting, tetapi hal yang lebih mendesak adalah meningkatkan mutu kegiatanTridharma. Masalah daya tampung akan terselesaikan jika ribuan PT dengan jumlah mahasiswa aktif kurang dari 500 dapat membaik mutunya sehingga meningkat pula jumlah mahasiswanya. Andaikan saja hanya ada 2000 PT yang masing-masing dapat menerima minimal 500 mahasiswa baru per tahun, maka PT akan mampu menampung setidaknya 50 persen lulusan SMU yang berjumlah sekitar 2 juta.
Kerangka keberagaman
Kerangka pengembangan PT seperti apa yang sesuai dan mampu meningkatkan mutu secara keseluruhan? Pencarian kerangka pengembangan ini mendesak dilakukan mengingat saat ini hanya ada satu kerangka pengembangan, yakni penjaminan mutu lewat akreditasi.
Kerangka pengembangan harus berangkat dari realitas besarnya variasi situasi PT kita. Karena itu, saya mengusulkan kerangka keberagaman. Ini berarti harus ada model pengembangan PT yang sesuai untuk setiap PT yang berbeda kualitas, jenis, dan ukurannya. Memakai kerangka ini, sebenarnya langkah awal sudah dilakukan dengan benar oleh pemerintah lewat klusteri: sedemikian rupa sehingga PT di satu kluster punya kualitas yang mirip. Sayangnya, langkah ini belum ditindaklanjuti dengan program pengembangan yang sesuai untuk setiap kluster. Malahan, klusterisasi dipahami sebagai perankingan
yang menimbulkan persoalan.
Banyak orang bicara ranking seolah ada perbedaan mutu signifikan antara PT beranking 1 dan 10 meski keduanya ada di kluster yang sama. Jika algoritma klusterisasi yang digunakan cukup baik, mestinya semua PT dalam kluster yang sama punya kualitas yang cenderung sama. Jika tidak, algoritmanya kurang baik. Memang PT di kluster yang sama dapat diurutkan sesuai skornya, tetapi selisihnya akan sangat kecil. Meski kondisi PT Indonesia sangat beragam, secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, PT yang mampu berkontribusi mengatasi persoalan pembangunan bangsa. Kedua, PT yang masih berjuang mengatasi persoalan manajerial organisasinya. Ketiga, PT yang masih berkutat mencukupi kebutuhan dasarnya.
Pengelompokan di atas lebih sederhana dibandingkan hasil klusterisasi terakhir yang memuat lima kluster untuk 2.010 PT non-vokasi. Hanya ada 14 PTN di kluster I, 72 PTN dan PTS di kluster 11, 299 PT di kluster III, dan 1.725 PT di kluster IV dan V. Kluster I dapat disejajarkan dengan kelompok pertama dalam usulan saya, kluster II dan III sejajar dengan kelompok kedua, serta kluster IV dan IV menjadi kelompok ketiga.
PT di kelompok pertama paling sesuai dikembangkan menjadi universitas riset, khususnya untuk membantu mengatasi persoalan pembangunan yang kian kompleks. PT di kelompok ini sebaiknya fokus pada pengembangan program S-2 dan S3 dan karena itu tak perlu menyibukkan diri dengan program diploma. PT di kluster ini lebih baik didorong menjalin kerja sama dengan luar negeri dan diharapkan bisa punya kualitas global sehingga mampu meraih status universitas berkelas dunia. Pemerintah dapat memberi dukungan dengan meminta semua kementerian menggandeng PT ini menyelesaikan persoalan pembangunan yang menjadi kewajibannya, terutama yang bersifat strategis seperti pangan, kesehatan, energi, teknologi, pendidikan, dan kebudayaan.
PT di kelompok ini tak perlu mengikuti akreditasi institusi dari BAN, tetapi difasilitasi untuk dapat akreditasi internasional. Supaya dapat terus berkiprah di level global, sebaiknya program $-2
dan S-3 di PT ini diselenggarakan menggunakan standar internasional serta bahasa pengantar Inggris. Dengan scenario pengembangan ini, PT kluster pertama akan sejajar dengan banyak PT unggul di
luar negeri.
PT di kelompok dua, yakni yang masih perlu meningkatkan produktivitas dan kualitas kegiatan Tridharma-nya agar menjadi PT kluster I, kerangka pengembangan yang cocok untuknya adalah penerapan manajemen strategis sebagaimana dulu ditawarkan lewat berbagai hibah kompetitif. Semoga pemerintah memiliki dana untuk membantu PT kelompok ini mewujudkan keunggulannya dengan penerapan manajemen strategis. Sejalan dengan itu, akreditasi dari BAN dapat jadi sarana efektif meningkatkan kualitas Tridharma-nya.
Penggabungan PT
Kelompok terakhir memuat PT yang masih berjuang mencukupi pendanaan operasionalnya. Jumlah PT ini sangat banyak, tetapi mahasiswanya sangat sedikit. Kerangka pengembangan untuk PT anggota kluster ini butuh pendekatan out of the box. Gagasan saya, memfasilitasi terjadinya penggabungan PT yang dekat baik dari sisi program studi yang dimiliki maupun kedekatan organisasi penyelenggaranya.
Kerangka pengembangan lewat penggabungan ini sudah diluncurkan pemerintah, tetapi kurang dapat tanggapan karena insentifnya kurang menarik. Gagasan saya adalah memberi insentif merger yang sangat menarik. Pertama, pemerintah mendorong kabupaten/kota meminjamkan tanah minimal 50 ha.
Tanah ini tetap milik kabupaten/kota, tetapi digunakan sebagai lahan kampus. Kedua, PTS yang bergabung dan menempati lahan ini harus disyaratkan mampu menerima mahasiswa baru minimal 3.000. Jika PT mampu menerima 3.000 per tahun, masyarakat akan sanggup mendanai kuliahnya dan PT dapat mencukupi biaya — operasionalnya. Ketiga, kampus yang bergabung akan tetap berstatus swasta dengan manajemen baru, tetapi dibantu oleh pemda/kota.
Apakah skenario ini tak merugikan kabupaten/kota? Pasti tidak karena kehadiran 3.000 mahasiswa per tahun akan memberikan dampak ekonomi signifikan bagi pertumbuhan kabupaten/kota. Untuk menjamin lahan yang dipinjamkan tak beralih tangan, perlu ada perjanjian yang jelas dan kalau perlu ada wakil dari pemkab/pemkot dalam struktur organisasi penyelenggara PTS itu. Dengan lahan seluas ini, saya membayangkan akan lahir kampus yang layak karena dapat jadi kawasan khusus baik untuk kepentingan kegiatan Tridharma maupun pendukungnya, seperti asrama, sarana olahraga, dan fasilitas lain.
Lahan yang seluas ini mungkin hanya tersedia di wilayah pinggiran, tetapi justru menjadi keuntungan supaya ada suasana yang khusus dari sebuah kampus, yakni jauh dari hiruk-pikuk perkotaan sehingga kondusif untuk belajar.
Penyediaan lahan minimal 50 ha sebenarnya terlalu kecil untuk sebuah kampus yang bermutu. Di banyak Negara yang lebih kecil dari Indonesia, banyak kampus yang lahannya ratusan hektar. Sebagai bangsa yang besar, sudah saatnya kita bermimpi besar, lebih-lebih untuk pendidikan yang memang memerlukan investasi besar dalam jangka panjang.
Kerangka pengembangan PT yang terakhir ini hanya mungkin jika pemerintah memandang PTS sebagai mitra sejajar dalam memenuhi amanat UU mencerdaskan kehidupan bangsa. PTS merupakan wujud konkret partisipasi masyarakat membantu pemerintah mendidik bangsa sehingga sudah selayaknya pemerintah membantu dengan berbagai fasilitasi yang mungkin.
Johanes Eka Priyatma, Rektor Unversitas Sanata Dharma Yogyakarta. Anggota Pusat Kajian Pendidikan Tinggi Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia
Sumber: Kompas, 26 Agustus 2019