Perkuliahan digital atau jarak jauh tidak sekadar mengganti medium dari buku fisik ke buku elektronik. Perkuliahan juga tidak harus sepenuhnya berbentuk digital, perlu ada tatap muka.
Kuliah jarak jauh bukan berarti memindahkan segala hal ke internet dan menggelontorkannya dalam bentuk modul, melainkan mengembangkan berbagai metode pengemasan materi yang sesuai dengan target capaian setiap tahap perkuliahan.
“Kesalahan utama dosen dan perguruan tinggi dalam mengembangkan program perkuliahan jarak jauh adalah hanya mengunggah semua teks ke internet,” kata Dosen Pascasarjana Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta Yudha Prapanca ketika berbicara dalam seminar “Digitalisasi Pendidikan Tinggi Indonesia: Inivasi di Era 4.0” di Jakarta, Sabtu (16/2/2019). Acara ini merupakan bagian dari Pameran Pendidikan dan Pelatihan Internasional Indonesia 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR –+Pendiri Haruka Edu, Gerald Ariff (berdiri) menjelaskan konsep perkuliahan jarak jauh pada seminar “Digitalisasi Pendidikan Tinggi Indonesia: Inovasi di Era 4.0” di Jakarta, Sabtu (16/2/2019).
Mayoritas dosen beranggapan perkuliahan digital serupa dengan buku digital, yaitu hanya mengganti medium dari buku fisik menjadi buku elektronik seperti arsip berupa PDF yang bisa diunduh dari dunia maya. Yudha menjelaskan, memang bagian dari perkuliahan digital ialah menyebarluaskan silabus di internet. Akan tetapi, itu hanya faktor kecil dari keseluruhan konsep perkuliahan.
“Langkah awal ialah memetakan kembali materi perkuliahan dan membaginya ke dalam tahap-tahap penyampaian yang lebih kecil,” tutur Yudha. Setiap tahap harus memiliki target capaian yang terukur, baik berupa pengetahuan maupun keterampilan.
Setelah itu, dosen memetakan kemampuan digital mahasiswanya. Misalnya, ketika berada di wilayah dengan koneksi internet yang buruk, berarti materi tidak bisa diramu dalam bentuk video karena membutuhkan bita internet yang besar.
“Sebenarnya, tidak semua materi perlu disampaikan dalam bentuk audio, video, maupun grafik. Kalau sekadar definisi, bisa berupa teks, bahkan tidak perlu juga diunggah ke internet. Mahasiswa justru diminta memanfaatkan perpustakaan maupun sumber-sumber bacaan di sekitar mereka,” papar Yudha.
Selain itu, sebaiknya perkuliahan tidak sepenuhnya berbentuk digital. Pertemuan tatap muka tetap harus dijadwalkan setiap semester guna memastikan pendalaman materi dan evaluasinya bisa berjalan baik.
Sementara itu, Kepala Bidang Konferensi Asosiasi Dosen Indonesia Husni Teja Sukmana mengungkapkan bahwa perkuliahan digital memang memudahkan dari segi akses kuliah. Akan tetapi, membutuhkan dosen yang kompeten dan kreatif.
Hal ini karena materi perkuliahan perlu ditinjau ulang. Perkembangan teknologi yang pesat membuat segala informasi kini tersedia di internet. Dosen hendaknya menyadari fenomena ini. Ada materi yang mahasiswa bisa mencari sendiri di internet. Dosen menyediakan materi yang lebih mendalam dan tidak bisa ditemukan dalam situs-situs internet umum.
“Bagaimanapun juga, yang bisa mendudukkan konteks dari segala informasi yang ada adalah dosen,” ujarnya.
Efisien
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti dalam sambutannya mengatakan bahwa perguruan tinggi diharapkan mulai mengembangkan sarana dan prasarana perkuliahan jarak jauh. Metode ini selain efisien juga memungkinkan akses pendidikan lebih luas dan mengembangkan kedisiplinan mahasiswa untuk belajar secara mandiri. Syaratnya adalah mata kuliah yang dikembangkan menjadi perkuliahan jarak jauh harus memenuhi standar mutu yang memadai.
Gerald Ariff, pendiri perusahaan teknologi pendidikan jarak jauh Haruka Edu dan Pintaria.com menerangkan, mutu dijaga sejak perencanaan penyampaian suatu mata kuliah dalam bentuk perkuliahan digital. Di dalamnya mencakup pelatihan dosen untuk bisa mengolah materi dan melakukan evaluasi.
“Kendala di masyarakat Indonesia bukan di kemampuan memakai gawai, tetapi di kemauan memakai gawai untuk pendidikan dan komitmennya,” ujarnya.
Oleh LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 18 Februari 2019