Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi kembali mengeluarkan daftar peringkat perguruan tinggi secara nasional.
Daftar peringkat ini dikeluarkan pada 17 Agustus 2018. Tentu saja ini hal yang sangat membanggakan dan membahagiakan bagi perguruan tinggi (PT) yang peringkatnya tinggi. Kita ucapkan selamat kepada PT yang masuk empat besar: ITB, UGM, IPB, dan UI.
Sebaliknya, sesuatu yang menyakitkan dan menyesakkan dada terjadi pada PT, khususnya perguruan tinggi negeri (PTN), yang berperingkat rendah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Oleh sebab itu, beberapa pertanyaan terkait kebijakan pemeringkatan PT ini pantas kita pertanyakan. Untuk kepentingan apa peringkat ini dibuat? Apakah untuk mencari justifikasi agar dana bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) dapat diberikan kepada yang kuat dengan jumlah yang sangat banyak? Sampai kapan kebijakan ini terus dipertahankan?
Kualitas PTN
Dari tahun ke tahun, PTN-PTN kuat, seperti ITB, UGM, IPB, dan UI, tidak berubah secara signifikan peringkatnya. Dan, PTN lemah rasanya sangat sulit mendekati kedigdayaan PTN kuat ini. Tampak dari tahun ke tahun, PTN kuat semakin kuat, PTN lemah semakin lemah. Kalau kebijakan pemerintah tetap berlangsung seperti ini, dapat dipastikan peringkat PTN kita tidak akan berubah banyak sampai kiamat nanti.
Di samping itu, pertanyaan mendasar perlu juga kita ajukan. Apakah struktur PTN yang tercipta seperti ini merupakan cita-cita luhur para pendiri negara dan bangsa kita? Apakah struktur ini merupakan cita-cita luhur Pancasila? Apakah struktur PTN seperti ini merupakan tujuan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945?
Mengapa sebuah PTN bisa menjadi PTN yang kuat? Jawabnya sederhana sekali. Sebuah PTN menjadi kuat karena dua hal. Pertama, PTN menjadi kuat karena mempunyai dosen dan staf administrasi yang hebat. Kedua, PTN menjadi kuat karena mahasiswa baru yang masuk mempunyai kualitas yang tinggi. Andai kata PTN kuat hanya didukung oleh dosen dan staf administrasi yang kuat saja, tetapi mempunyai mahasiswa baru berkualitas rendah, maka kualitas PTN kuat akan terpuruk juga.
Faktor kualitas mahasiswa baru yang masuk ini sangat penting. Sebab, mahasiswa ini yang membantu dosen untuk mengeksekusi penelitian yang dilakukan oleh dosen.
Pada artikel berjudul ”Masa Depan Indonesia 2045” (Kompas, 21 September 2016), saya menemukan bahwa 75 persen mahasiswa baru yang saya uji kemampuan berhitungnya tidak mempunyai kompetensi untuk lulus SD dan 95 persen mahasiswa baru itu tidak memiliki kompetensi untuk lulus SMP. Dengan modal kualitas mahasiswa baru yang seperti ini, sebuah PT sangat sulit untuk ditingkatkan kualitasnya. Bahkan seorang dosen cenderung jadi frustrasi.
Sementara PTN kuat tidak perlu membuat program khusus untuk menarik minat mahasiswa baru masuk ke PTN mereka. Semua putra-putri terbaik bangsa akan memilih PTN kuat. Alhasil, semua siswa terbaik bangsa akan tersedot ke PTN-PTN kuat. Sebaliknya, PTN lemah sangat sulit mendapatkan mahasiswa baru yang bermutu.
Pemerintah harus serius untuk berbuat sesuatu agar PTN lemah pun dapat ditingkatkan kualitasnya setara dengan PTN kuat. Caranya dengan mengangkat dosen dan staf administrasi yang punya potensi sangat tinggi. Dengan demikian, kita harapkan kualitas dosen dan staf administrasi di PTN lemah suatu saat akan sama kualitasnya dengan yang ada di PTN kuat.
Untuk meningkatkan kualitas mahasiswa baru yang masuk, pemerintah pun harus memperkuat kualitas semua SD, SMP, dan SMA di seluruh Tanah Air. Dengan semakin banyak siswa yang bermutu, akan semakin bermutu pula mahasiswa baru yang masuk ke PTN di seluruh Indonesia. Kita tak boleh lagi bermain-main dengan kualitas pendidikan di Tanah Air. Kita harus pastikan seluruh anak bangsa mendapat pendidikan yang bermutu dan adil.
Refleksi 73 tahun Indonesia merdeka
Banyak kisah heroik yang telah ditorehkan oleh anak-anak bangsa ini untuk mendirikan negara dan bangsa yang sangat kita cintai ini. Tak terkirakan bagaimana perjuangan dan pengorbanan yang telah diberikan oleh seluruh elemen dan lapisan bangsa untuk mencapai kemerdekaan.
Tak terhitung berapa nyawa telah melayang, berapa galon air mata dan darah telah tumpah untuk mendirikan negara dan bangsa yang kita cintai ini. Ini adalah saham kita bersama, milik seluruh anak bangsa ini. Tidak boleh ada yang mengklaim bahwa seseorang, suatu suku, suatu agama, suatu provinsi merasa lebih banyak menanam sahamnya di republik ini.
Para pejuang itu, kita yakini bahwa mereka, berjuang dengan sangat ikhlas dan tanpa pamrih. Itu semua agar generasi yang hidup setelah mereka dapat menikmati hidup lebih tenang, bersatu, adil, makmur, sejahtera, dan berbahagia.
Lalu apa rahasianya sehingga para pejuang kita bisa sukses membukukan kemenangan? Jelas sekali: kekompakan di antara mereka. Hanya perjuangan yang ikhlas, kompak, dan bahu-membahu yang bisa memerdekakan negara seluas Indonesia. Tanpa itu semua, mustahil NKRI dapat ditegakkan.
Setelah kemerdekaan tercapai, tampaknya kita cepat sekali lupa bahwa kita harus tetap kompak dan tetap bahu-membahu dalam membangun bangsa dan negara kita. Kebijakan pendidikan tinggi kita yang sangat kapitalis dan menganut asas free fight liberalism ini sungguh sangat kejam dan sangat jauh bahkan berlawanan dengan semangat dan nilai-nilai luhur perjuangan bangsa, Pancasila, dan tujuan UUD 1945.
Di negara-negara maju seperti di Eropa Barat, semua penduduk diberi kesempatan yang sama untuk maju dalam hal pendidikan. Di Jerman, misalnya, di semua level pendidikan, dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, semuanya dimiliki negara. Semua sekolah dan perguruan tingginya mempunyai kualitas yang relatif sama.
Maka, di negara kita seharusnya terasa aneh kalau ada sekolah yang dimiliki negara, tetapi tak memiliki kualitas yang standar di seluruh Tanah Air. Demikian juga di level pendidikan tinggi, seharusnya semua PTN berkualitas relatif sama. Kalau belum sama, pemerintah harus punya visi untuk menyamakannya. Pemerintah harus berupaya keras mewujudkan visi tersebut karena ini adalah amanat Pancasila dan UUD 1945.
Kalau kita bolak-balik lagi buku sejarah perjuangan bangsa kita yang menggambarkan kekompakan kita pada waktu yang lalu, realitas yang kita hadapi sekarang sungguh sangat menyakitkan. Ironisnya, ini terjadi justru ketika kita memperingati 73 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
Syamsul Rizal Profesor di Universitas Syiah Kuala; Alumnus ITB dan Universitaet Hamburg, Jerman
Sumber: Kompas, 28 September 2018