Presiden Joko Widodo menilai masyarakat Indonesia di luar negeri bisa berkontribusi untuk membantu pemerintah menghadapi persaingan global.
Presiden juga mengajak profesor asal Indonesia yang sedang berkarya di Amerika Serikat untuk bekerja di dalam negeri (Kompas, 18/8/2017).
Di AS saja, imigran yang berasal dari Indonesia sudah lebih dari 100.000 dan setiap tahun ada lebih dari 130.000 orang Indonesia yang datang ke AS, termasuk para mahasiswa dan pekerja ilegal yang berpotensi untuk mengajukan status imigran. Setiap tahun ada sekitar 3.000 orang Indonesia dapat status permanent resident (2016 Yearbook of Immigration Statistics). Jumlah ini sebetulnya relatif kecil dibandingkan China dan India. Angka ini juga kecil dibandingkan total populasi Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, dalam hal potensi kontribusi, penting untuk memikirkan langkah strategis untuk merawat relasi dengan manusia Indonesia yang hidup di luar negeri seperti yang telah dilakukan China dan India yang menganggap para diaspora mereka sebagai aset global dalam akselerasi menjadi kekuatan dunia.
Yang perlu diperhatikan juga adalah generasi kedua dan ketiga orang Indonesia yang hidup di luar negeri. Mereka generasi milenial yang sedang merintis karier atau bisnis mereka dan berpotensi menghasilkan berbagai terobosan cemerlang dalam satu-dua dekade mendatang. Studi kami terhadap generasi kedua manusia Indonesia berusia 15-25 tahun yang hidup di AS memberikan beberapa temuan menarik (Lie, Wijaya, dan Kuntjara, Indonesian Journal of Applied Linguistics 8(1), Mei 2018, dx. doi.org/10.17509/ijal.v8i1.11468).
Penelitian kualitatif kami menyoroti penguasaan bahasa Indonesia dan transformasi identitas kultural anak-anak Indonesia yang lahir dan tumbuh di AS. Orangtua mereka datang ke negara itu karena berbagai alasan: studi, bekerja, atau mengungsi setelah peristiwa Mei 1998. Generasi pertama umumnya masih menunjukkan keterikatan kuat dengan Indonesia. Di kota di mana terdapat konsentrasi orang Indonesia, mereka membentuk dan terlibat dalam komunitas-komunitas Indonesia.
Dalam pertemuan di komunitas ini, mereka menggunakan bahasa Indonesia dan kadang kala campuran bahasa daerah. Mereka mengikuti berita-berita seputar Indonesia dan secara berkala pulang ke Tanah Air. Bahkan sebagian dari mereka mengatur cuti kerja berdasarkan rencana reuni dengan teman-teman sekolah di Indonesia. Melalui berbagai aplikasi teknologi dan medsos, generasi pertama ini masih berinteraksi secara intensif dengan teman dan sanak keluarga di Indonesia. Ketika ada musibah atau bencana di Indonesia, mereka tak ragu-ragu bergerak menggalang dana bantuan.
Sayangnya, tidak semua anak generasi kedua masih mempertahankan bahasa Indonesia. Sebagian sudah tidak bisa berbahasa Indonesia secara aktif. Fenomena ini bukan hanya keprihatinan khas Indonesia. Studi-studi tentang bahasa leluhur/warisan di kalangan imigran dari sejumlah negara asal menunjukkan pelunturan bahasa ibu terutama ketika bahasa ibu dianggap kurang bergengsi dibandingkan bahasa yang digunakan di negara domisili.
Beberapa komunitas imigran dan perwakilan resmi pemerintah merespons keprihatinan ini dengan menyelenggarakan sekolah bahasa leluhur. Terlepas dari pelunturan bahasa Indonesia, yang menggembirakan adalah anak-anak generasi kedua masih mengakui identitas mereka sebagai orang Indonesia.
Pertalian dengan Indonesia
Mudik ke Indonesia merupakan kenangan manis masa kecil generasi kedua. Subyek penelitian kami bervariasi dalam kemampuan bahasa Indonesia mereka, mulai dari yang sangat fasih sampai yang hanya bisa memahami percakapan sangat sederhana. Namun, mereka semua mempunyai kesamaan rasa pertalian dengan Indonesia. Mereka semua menyukai orang, budaya, dan masakan Indonesia.
Ketidakmampuan berbahasa Indonesia tak membuat mereka ragu-ragu bahwa mereka masih merasakan sebagai orang Indonesia karena pertalian dengan keluarga besar di Indonesia, ikatan budaya, dan kenikmatan makanan Indonesia. Status mereka sebagai warga negara AS juga tak membuat mereka mengingkari identitas asal mereka. Secara sosio-kultural, masyarakat AS pada umumnya adalah masyarakat imigran. Jadi, identifikasi asal- usul bisa terintegrasi dengan keamerikaan mereka dengan relatif baik. Tindakan politis administrasi Trump yang anti-imigrasi bukan cermin sikap masyarakat Amerika pada umumnya.
Walaupun sebagian besar anak-anak generasi kedua lebih nyaman berbahasa Inggris dan sudah mengadopsi gaya hidup sebagai orang Amerika, mereka tetap membanggakan budaya Indonesia. Mereka bisa melihat dan menghargai beberapa nilai budaya Indonesia secara positif, misalnya hormat kepada orang tua, kesantunan, keramahtamahan, dan kepedulian terhadap saudara/teman. Bahkan mereka tidak ragu-ragu untuk menunjukkan perbedaan sikap di antara teman-teman di Amerika yang juga berasal dari latar belakang warisan budaya yang beragam.
Sekali lagi, hidup di tengah-tengah masyarakat yang menghargai perbedaan memberikan ruang bagi generasi kedua Indonesia untuk menunjukkan kebanggaan mereka sebagai bagian dari budaya Indonesia.
Transformasi identitas
Tampak ada kompleksitas transformasi identitas karena generasi kedua mengalami proses kebingungan di antara dua budaya, negosiasi nilai dan norma, integrasi budaya, serta transformasi identitas seiring dengan proses pertumbuhan mereka. Karena lahir, sekolah, dan bertumbuh dewasa di AS, mereka tidak ragu mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Amerika.
Namun, sebaliknya, perasaan sebagai orang Amerika menjadi muncul ketika orang-orang Indonesia mengenali mereka sebagai orang asing karena perbedaan logat serta cara bicara dan bersikap. Jadi, identifikasi diri juga berinteraksi dengan penerimaan orang lain. Kompleksitas bertambah pada subyek yang orangtuanya berasal dari keturunan China dan masih merawat tradisi budaya. Menariknya, pada umumnya, para subyek merasakan keraguan untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Amerika-China dan lebih mantap menganggap diri mereka sebagai orang Amerika-Indonesia.
Akhirnya, subyek penelitian kami tidak menutup kemungkinan suatu saat bisa berkarya di Indonesia. Generasi kedua dan ketiga orang Indonesia yang hidup di luar negeri bisa menjadi aktor strategis bagi pertumbuhan Indonesia di masa depan. Dalam dunia generasi milenial, peran dan kontribusi bisa sangat cair menembus batasan negara.
Beberapa negara lain sudah melihat peluang ini dan melakukan investasi dengan memfasilitasi sekolah bahasa melalui perwakilan resmi pemerintah, kunjungan ke Tanah Air bagi anak-anak diaspora, dan memberikan status kewarganegaraan khusus sementara Indonesia masih tergagap dengan politisasi asing-asli.
Anita Lie Guru Besar Universitas Katolik Widya Mandala
Sumber: Kompas, 3 Juli 2018