Pemerintah akah menggelar sidang isbat atau penetapan 1 Ramadhan 1439 Hijriah, Selasa (15/5/2018). Awal dan akhir Ramadhan tahun ini hingga tahun 2021 diprediksi sama. Setelah itu potensi perbedaan kembali ada.
Meski penetapan 1 Ramadhan 1439 Hijriah baru akan dilakukan Kementerian Agama, Selasa (15/5/2018) petang, awal dan akhir Ramadhan ini diprediksi dijalani mayoritas umat Islam Indonesia bersamaan. Itu akan bertahan sampai tahun 2021.
Karena itu, saat ini adalah momentum tepat untuk menyatukan sistem kalender hijriah di Indonesia. Kesamaan awal Ramadhan ini bukan karena ada kesepakatan antarorganisasi massa Islam soal kriteria awal bulan (month) kalender hijriah, tapi diuntungkan posisi Bulan (moon) jauh dari batas kriteria dan kerap memicu perbedaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ijtimak atau kesegarisan Matahari, Bulan, dan Bumi, sebagai penanda datangnya Ramadhan 1439 H terjadi pada Selasa (15/5/2018) atau 29 Sya’ban 1439 pukul 18.48 WIB. Sementara Matahari terbenam paling akhir di wilayah Indonesia pukul 18.47 WIB di Sabang, Aceh.
Itu berarti, saat Matahari tenggelam, di seluruh Indonesia belum ada ijtimak dan hilal atau Bulan sabit tipis penanda awal bulan hijriah tak bisa terlihat.
Jika ada laporan melihat hilal Selasa sore, berdasar pengalaman selama ini, kesaksian itu akan ditolak karena ijtimak yang menandakan siklus Bulan baru belum terjadi. Posisi Bulan saat itu juga tak memenuhi berbagai kriteria awal bulan.
Dengan demikian, Sya’ban 1439 H akan berusia 30 hari dan 1 Ramadhan 1439 H jatuh pada Kamis (17/5/2018). Namun karena awal hari dalam kalender hijriah dimulai setelah Matahari terbenam, sholat tarawih akan mulai dilakukan pada Rabu (16/8/2018) malam. Data itu bersesuaian dengan kalender berdasarkan sistem hisab yang dikeluarkan Kementerian Agama, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam.
Posisi Bulan saat Matahari terbenam pada Rabu petang di seluruh Indonesia mencapai ketinggian 10-13 derajat, jarak sudut Matahari 11-14 derajat dan umur Bulan mencapai 20-24 jam. Dengan posisi itu, peluang Bulan bisa diamati besar.
Meski demikian, putusan resmi 1 Ramadhan 1439 tetap harus menanti ketetapan sidang isbat. Demikian pula awal Syawal 1439 H yang diprediksi jatuh pada Jumat (15/6/2018).
Penyatuan
Perbedaan penentuan awal bulan hijriah, khususnya yang terkait pelaksanaan ibadah wajib, yaitu Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah sudah jadi soal kronis di Indonesia. Setiap kali terjadi perbedaan, muncul kegaduhan di masyarakat. Tak jarang, perbedaan itu jadi guyonan.
Pemerintah sudah berusaha menyatukan perbedaan itu. Ormas-ormas Islam pun menyatakan keinginannya agar ada kalender hijriah tunggal yang berlaku bagi semua, bahkan dalam lingkup global.
Namun, perkembangan upaya menyatukan kalender hijriah itu lambat. Karena itu, persamaan awal dan akhir Ramadhan yang berlangsung sejak 2014 sampai 2021, meski ada beberapa kali beda Idul Adha, jadi momentum tepat menyatukan sistem kalender hijriah di Indonesia.
“Diharapkan, setelah tahun 2021, ada kriteria bersama sehingga bisa memasuki dan mengakhiri Ramadhan bersama-sama,” kata anggota Badan Hisab Rukyat Kemenag yang juga Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaludddin, di Jakarta, Senin (14/5/2018).
Diharapkan, setelah tahun 2021, ada kriteria bersama sehingga bisa memasuki dan mengakhiri Ramadhan bersama-sama.
Penyatuan kalender hijriah membutuhkan tiga syarat utama, yaitu ada otoritas tunggal, batas wilayah hukum jelas dan kriteria disepakati. Dari tiga syarat itu, hanya kriteria wilayah hukum tak memicu perbedaan.
Dalam aspek otoritas saja, pemerintah belum sepenuhnya dipercaya. Banyak umat mempercayakan ketetapan awal bulan hijriah pada ketetapan masing-masing ormas meski Majelis Ulama Indonesia sudah memfatwakan menaati ketetapan pemerintah.
Terkait kriteria awal bulan hijriah, tiap ormas kukuh dengan kriteria yang mereka anut. Meski kalangan astronom berusaha mengenalkan kriteria baru yang lebih memiliki landasan ilmu pengetahuan astronomi modern dan tetap mengakomodasi ketentuan dalam hukum agama, tetap sulit diterima.
Ketidakpercayaan pada pemerintah tetap ada. Kecurigaan antarormas terus berkembang. Namun, ormas pun kesulitan menawarkan kriteria baru yang mengakomodasi kepentingan sebagian besar ormas Islam.
Rekomendasi Jakarta 2017 dari Seminar Internasional Fikih Falak di Jakarta pada 28-30 November 2017 mengusulkan kriteria masuknya awal bulan hijriah jika ketinggian Bulan minimal 3 derajat dan elongasi atau jarak sudut Matahari-Bulan minimal 6,4 derajat. Markaz atau lokasi penentuannya ialah kawasan barat Asia Tenggara.
Sementara batas tanggal yang dipakai ialah garis tanggal internasional di Samudera Pasifik. Otoritas tunggalnya ialah Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk global, Majelis Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) bagi regional dan pemerintah untuk lokal.
“Rekomendasi itu mengakomodasi berbagai wacana penyatuan kelander diusulkan berbagai ormas Islam,” kata Thomas.
Hal yang diakomodasi itu salah satunya adalah keinginan salah satu ormas yang selama ini memakai kriteria terbentuknya hilal atau wujudul hilal untuk mengegolkan konsep “Satu Hari Satu Tanggal”. Konsep ini menghendaki jika pada hari sama di seluruh dunia, tanggal pada kalender hijriahnya sama.
Saat ini, awal kalender hijriah di seluruh dunia berbeda. Pada Sya’ban 1439 lalu, Indonesia dan mayoritas negara muslim menetapkan 1 Sya’ban pada 17 April 2018. Sementara Maroko, Iran, Nigeria, Pakistan, dan Australia menetapkan pada 18 April.
Dengan Rekomendasi Jakarta, konsep itu diwujudkan dengan menjadikan area barat Indonesia sebagai basis perhitungan. Jika di barat Indonesia tinggi Bulan di atas 3 derajat, di wilayah garis tanggal internasional, hilal sudah terbentuk.
Sementara ormas yang memakai kriteria kemungkinan hilal bisa diamati atau imkanur rukyat dan mewacanakan pengamatan (rukyat) hilal yang bermutu, dengan syarat elongasi dan tinggi Bulan lebih besar, kemungkinan terlihatnya hilal saat diamati jauh lebih besar.
Basis sains
Anggota Badan Hisab Rukyat Kemenag yang juga dosen Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung Moedji Raharto mengakui sulitnya menawarkan kriteria hilal berbasis ilmu astronomi. “Jika yang jadi fokus dalam penentuan awal bulan hijriah adalah hilal, maka harus bisa memahami sifat alamiah hilal,” ujarnya.
Untuk mewujudkan kalender hijriah tunggal, maka kriteria hilal yang digunakan harus bisa berlaku global. Karena itu, pengamatan hilal harus mampu mengakomodasi pengamatan hilal di wilayah dan kondisi ekstrem di Bumi, seperti di negara-negara belahan utara saat musim panas ketika Matahari tidak pernah tenggelam.
Kriteria itu juga harus mengakomodasi berbagai kesulitan pengamatan hilal akibat mendekatnya jarak Matahari dengan Bumi yang memengaruhi cahaya senja. Dengan kondisi itu, kriteria elongasi atau jarak sudut Bulan-Matahari dinilai lebih konsisten dan bisa diterima di mana pun.
Kriteria bersifat lokal seperti tinggi Bulan dinilai sulit digunakan karena tinggi Bulan di setiap daerah pada jam sama akan berbeda-beda. Namun, penggunaan kriteria tinggi Bulan itu sulit dihilangkan karena menjadi tradisi dalam penentuan awal Bulan di berbagai negara sejak berabad-abad lalu.
“Upaya mengenalkan sifat alamiah hilal secara sederhana tanpa menyalahi tradisi yang dilakukan selama ini memang tidak mudah,” kata Moedji.
Di sisi lain, sebagian besar ormas menganggap kriteria awal bulan hijriah itu sebagai harga mati. Itu membuat upaya penyatuan kriteria sulit dilakukan.
Moedji mengakui, pemerintah tak mudah dan tak bisa serta merta mengubah kriteria awal bulan yang digunakan. Selama ini, kriteria itu jadi dasar penentuan kebijakan sehingga banyak aspek sosial dan politik harus dipertimbangkan jika kriteria itu akan diubah.
Meski demikian, jika pemerintah dan masyarakat ingin menyatukan kalender hijriah, maka langkah penyatuan harus segera dirumuskan. Dengan demikian, keinginan menyatukan kalender hijriah tak jadi wacana.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 15 Mei 2018