Oleh Clayton M Christensen, pengembang teori inovasi disruptif, perguruan tinggi yang menerapkan teknologi disruptif dijuluki sebagai PT inovatif, bukan disruptif, seperti dalam buku karyanya bersama Henry J Eyring, The Innovative University (2011).
Dalam buku itu, inovasi disruptif diwakili oleh kehadiran lembaga perguruan tinggi (PT) dan berbagai peranti pembelajaran daring. Dua konsep kunci dalam PT inovatif, menurut Christensen dan Eyring, adalah: (1) inovasi disruptif membawa ke pasar produk dan jasa yang tidak sebagus produk terbaik yang ditawarkan secara tradisional; (2) pembelajaran daring adalah teknologi disruptif yang memaksa PT mengevaluasi model pendidikan yang mereka tawarkan.
Namun, entah kenapa, belakangan yang menguat justru sebutan PT disruptif dan PT 4.0 merujuk pada Revolusi Industri 4.0. Tampaknya, julukan ”disruptif” dan ”4.0” terkesan lebih menggugah perbincangan soal pendidikan tinggi di negeri ini. Gairah ini tecermin dari dua tulisan di harian ini, ”Pendidikan Tinggi 4.0” oleh Waras Kamdi (3/3/2018) dan ”Kampus Disruptif” oleh Arif Satria (19/4/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sindrom ”anak durhaka”
Kita memang selalu terbilang cepat dan gesit dalam mengikuti perkembangan teknologi. Sayangnya, kecepatan dan kegesitan itu lebih banyak dalam kapasitas sebagai konsumen. Kita mudah tergiur oleh kedigdayaan (omnipotence) teknologi dan cenderung ingin segera melahapnya. Kedigdayaan teknologi seolah dianggap sebagai keniscayaan yang harus diterima begitu saja.
Saat ini, misalnya, jargon-jargon seperti Revolusi Industri 4.0, the internet of thing, big data, artificial intelligence, dan industry 4.0 bertebaran di mana-mana. Bahkan Presiden Joko Widodo bisa dikatakan cukup getol mengucapkannya dalam sejumlah kesempatan. Kalangan kampus pun tak terkecualikan dan terkesan ikut ”heboh” dengan kehadiran inovasi disruptif.
Banyak tokoh kampus menyerukan penerapan teknologi disruptif dalam model bisnis pendidikan tinggi. Alih-alih menawarkan inovasi yang berwatak pengganggu (disruptive), yang menguat justru kepanikan. Padahal, jika terus diembuskan, kepanikan ini justru memunculkan kampus yang terganggu (disrupted). Kepanikan dalam menghadapi terjangan inovasi disruptif serta-merta mewujud dalam litani tentang betapa usang model pendidikan tinggi yang ada sekarang ini.
Tulisan Waras Kamdi (Kompas, 3/3/2018) menggambarkan dengan baik litani itu. Ketika yang menyuarakan litani keusangan itu adalah tokoh kampus sendiri, bukankah ini pertanda lahirnya sindrom ”anak durhaka” dalam dunia pendidikan tinggi kita? PT, sang almamater, sedang dihujat dan dikuliti keusangannya oleh para dosennya sendiri, yang notabene juga hasil gemblengan PT. Apakah memang begini nasib yang harus ditenggang oleh PT untuk selalu didurhakai dari anak-anak kandungnya?
Memang sejarah selalu berulang. Tentu kita masih ingat, ketika kesiapan lulusan PT dipertanyakan sehingga muncul istilah ”lulusan tidak siap pakai”, almamater dicerca habis oleh para pemuka bisnis dan industri yang notabene juga lulusan PT. Begitu pula ketika soft skills dianggap lebih menentukan kiprah lulusan seseorang dalam dunia kerja, lagi-lagi almamater jadi bulan-bulanan para penguasa lapangan kerja kerah putih, yang semuanya juga lulusan PT. Akibatnya, semua PT lintang pukang berusaha mengembangkan program soft skills di kampus masing-masing.
Kedurhakaan kepada almamater semakin diperparah dengan terbatasnya kerja sama dan dukungan sang anak dalam bentuk yang lebih dari sekadar sumbang saran dalam seminar dan ceramah. Kesempatan untuk magang dan kerja sama penelitian yang benar-benar berorientasi pada pemecahan masalah serta penciptaan produk dan jasa yang baru dan unik masih sangat terbatas—untuk tidak mengatakan sekadar gimmick.
Yang tidak kalah penting, jangan sampai euforia kalangan kampus terhadap inovasi disruptif ini kemudian menghasilkan sindrom lain, yaitu ”rabun dekat”. Saat para tokoh kampus sibuk terhanyut oleh visualisasi tentang kampus disruptif, ada risiko: mereka justru melupakan kekayaan yang sudah dimiliki. Seperti diungkapkan Bill Fischer di majalah Forbes (19/1/2012), dalam transisi teknologi yang berlangsung sangat masif saat ini pemimpin PT harus bergerak cepat dan bahkan melakukan pertaruhan yang besar, tetapi sekaligus mempertahankan warisan paling bernilai dari lembaga yang mereka pimpin.
Rumah (tempat) belajar
Warisan itu adalah universitas magistrorum et scholarium—almamater sebagai rumah perjumpaan para guru dan murid. Perjumpaan itu dijiwai oleh rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan dan semangat sukacita dalam belajar. Sebenarnya di balik euforia terhadap konsep kampus disruptif ada suatu blessing in disguise, yaitu universitas harus kembali ke hakikat utamanya sebagai rumah belajar. Peran pembelajaran (teaching) dan pengajar (teacher) justru semakin utama. Bill Fischer menyebutnya: ”a renaissance of great teaching”.
Orientasi yang berlebihan pada akreditasi, pemeringkatan, dan produktivitas ilmiah telah menjauhkan universitas dari jati dirinya sebagai rumah belajar. Kampus dan dunia pendidikan tinggi semakin didominasi oleh sosok para peneliti yang lebih mengutamakan publikasi ilmiah dalam jurnal bereputasi dan kemampuan meraup dana penelitian dari berbagai sumber. Akibatnya, pengajaran sering harus dikorbankan.
Saat ini ada perubahan tuntutan. Peneliti yang hebat harus sekaligus juga guru yang baik. Dia harus mampu mengajarkan pengetahuan, termasuk temuan penelitiannya, dengan jelas dan memikat. Dengan tergerusnya batas-batas ruang dan waktu oleh teknologi, dia juga harus mengajar—baik secara tatap muka maupun digital—menggunakan bahasa yang dipahami banyak orang di dunia. Singkatnya, yang ditunggu saat ini adalah kembalinya para guru hebat.
Berseminya seri kuliah TED dan sejenisnya di sejumlah kota dan kampus di dunia, yang sekaligus diunggah ke media sosial, menunjukkan adanya kehausan dalam masyarakat terhadap kuliah yang bermutu sekaligus memikat. Dengan makin terbukanya peluang untuk menawarkan perkuliahan secara global, yang bisa menjangkau hampir siapa saja yang memiliki akses teknologi internet, akan bermunculan para guru yang hebat. Bill Fischer menyebut mereka ”rockstar” academic deliverers.
Para guru hebat ini dituntut untuk bisa menyampaikan bahan pengajaran yang bermutu dan bernas sekaligus juga harus bisa mengajarkannya secara jelas dan memikat. Untuk yang terakhir ini, ungkapan klasik ”mengajar dengan hati” seolah lahir kembali. Mungkin pada saat itulah baru akan disadari nilai penting guru dan pengajaran.
Budi Widianarko Dosen Unika Soegijapranata; Guru Besar Tamu di Providence University, Taiwan
Sumber: Kompas, 14 Mei 2018