Selalu menarik dan penting mencetuskan sesuatu yang baru, entah itu ide, program atau kebijakan.
Biasanya untuk peluncurannya, sebuah acara dikemas dan dihelat dengan melibatkan tokoh penting dan tentu saja liputan media multikanal. Meski tak seheboh perhelatan Making Indonesia 4.0 yang menggemakan peta jalan pengembangan Industri 4.0, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) telah lebih awal meluncurkan instrumen Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi versi terbaru yang disebut AIPT 3.0. Tentu lebih daripada gema pemberitaan, pencetusan ide dan kebijakan baru ditujukan untuk menghasilkan perubahan berupa perbaikan dan kemajuan signifikan, bahkan kalau bisa sangat radikal.
Proses dan output
Membaca siaran pers BAN-PT, AIPT 3.0 lebih mengukur proses dan output pendidikan tinggi (dikti) dibanding dengan instrumen sebelumnya (AIPT 2.0) yang lebih menekankan aspek-aspek input seperti ketersediaan tenaga pendidik (rasio dosen dan mahasiswa), sarana-prasarana, dan berbagai instrumen regulasi dan dokumentasi pendukung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Logikanya sederhana dan sangat jelas, proses dikti yang baik akan menentukan luaran (output) berupa antara lain jumlah lulusan atau jumlah penelitian dan publikasi yang baik dan pada gilirannya akan bermuara pada hasil (outcome) berupa kualifikasi kompetensi lulusan pendidikan tinggi. Ini akan ditunjukkan antara lain oleh tingkat keterserapan (employability) dunia kerja terhadap lulusan perguruan tinggi dalam waktu kurang dari tiga bulan setelah lulus. Tak hanya itu, tetapi juga kesesuaian antara bidang pendidikan yang ditempuh dengan bidang pekerjaan yang dimasuki sebagai pekerjaan pertama (first job).
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir (kelima dari kiri) berfoto dengan perwakilan 11 perguruan tinggi badan hukum usai penandatanganan nota kesepahaman kerja sama PTN-BH, Rabu (4/4/2018) di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Jawa Timur. 11 PTN-BH sepakat bersinergi di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Penekanan AIPT3.0 pada luaran tampak jelas sangat sejalan dengan kebijakan yang tertuang dalam Perpres No 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Bidang. Dua peraturan lanjutan dari peraturan ini adalah Permendikbud No 73 Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Bidang Pendidikan Tinggi dan Permenristekdikti No 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti).
Secara umum peraturan-peraturan itu menetapkan jenjang kualifikasi yang dimiliki lulusan dari setiap jenjang pendidikan. Untuk pendidikan tinggi, jenjang kualifikasi bergerak dari level 4 dan 5 (lulusan pendidikan vokasi atau diploma), level 6 (pendidikan sarjana), level 8 (magister) dan level 9 (doktor). Pendidikan profesi dan spesialis dapat menempati level 7, 8, atau 9.
Masing-masing level menunjukkan kualifikasi atau kompetensi tertentu mulai dari mengaplikasikan pengetahuan, menganalisis dan mengambil keputusan atas pengetahuan dan informasi, mengatasi persoalan yang muncul, hingga mengembangkan (ilmu) pengetahuan. Dalam konteks pendidikan formal, khususnya yang terkait dengan desain kurikulum, kompetensi tersebut dijabarkan dalam Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) yang harus diukur baik dalam hal sikap, pengetahuan, maupun keterampilan lulusan.
Penerapan AIPT3.0 yang berdasar pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan SN Dikti punya implikasi lebih jauh dalam rangka penyandingan dan penyetaraan lulusan pendidikan tinggi Indonesia dengan lulusan pendidikan tinggi negara-negara lain. Realitas dan semangat globalisasi dan integrasi regional atau internasional telah mengesampingkan sekat-sekat isolasi, eksklusivitas, dan nasionalitas yang dinilai tak saja proteksionis tetapi juga restriktif.
Pada saat yang sama, globalisasi dan integrasi juga membuka ruang dan kesempatan yang sama bagi setiap orang (lulusan dikti) untuk bekerja dan berkarya secara lintas batas negara. Penyandingan dan penyetaraan demikian menjadi sangat penting dilakukan melalui perjanjian saling pengakuan (Mutual Recognition Agreement) antara Indonesia dengan negara-negara lain, baik melalui aransemen bilateral maupun multilateral. Di sini identitas, standar, dan kualifikasi ke-Indonesia-an sesungguhnya dipertaruhkan.
Langkah lanjutan tapi juga strategis adalah penyandingan, penyataraan, dan penyesuaian KKNI bidang pendidikan tinggi terhadap sektor atau bidang lain, khususnya dunia kerja. Permenakertrans No 21 Tahun 2014 tentang Pedoman Penerapan KKNI secara jelas telah membuat ketentuan umum tentang jenjang atau level kualifikasi kerja yang sejalan dengan KKNI lulusan pendidikan tinggi. Untuk itu setiap sektor dan bidang usaha, melalui asosiasi usaha dan asosiasi profesi, diwajibkan untuk membuat daftar kompetensi inti dan kompetensi pilihan yang harus dimiliki oleh para (calon) pekerja, termasuk lulusan dikti.
Penyetaraan, penjenjangan kualifikasi atau kompetensi kerja seperti itu harus pula diikuti oleh regulasi yang terkait dengan penggajian dan pemberian insentif. Kementerian PAN-RB dan Kementerian Keuangan memainkan peran penting dalam hal ini. Kualifikasi pendidikan (CPL) dan kompetensi kerja menjadi titik awal penentuan pengupahan yang dalam perkembangan selanjutnya dipengaruhi oleh jenis pekerjaan, masa kerja, dan variabel-variabel lainnya, termasuk kondisi perekonomian makro. Dunia industri pun perlu mencermatinya.
Making Indonesia 4.0 melalui pengadopsian Industry 4.0 yang juga dikenal sebagai Internet of Things ((IoT) pada hakikatnya memproyeksikan bahwa perekonomian dan industri Indonesia akan kian kuat dan kompetitif dalam setiap aspek dan sektor produksi apabila ditopang oleh SDM yang kompeten. Dalam bahasa lain, Industry 4.0 yang berbasis pada data dan pemanfaatan data bertujuan untuk mengonversi kebanggaan lama di mana Indonesia merupakan kekuatan ekonomi yang lebih bermakna sebagai pasar bagi produk asing dan bukan sebagai produsen.
Tanpa mengurangi arti selera dan peningkatan daya beli masyarakat, kekuatan pasar nasional hendaknya berubah atau berkembang menjadi kekuatan penghasil produk mulai dari tingkatan atau jenis yang paling rendah dalam skema sebagai substitusi impor hingga produk-produk inovatif yang dapat membentuk selera baru dan pasar-pasar baru. Dengan kebijakan industri semacam itu Indonesia dapat menjadi pemain setara dalam kompetisi terbuka pasar bebas global. Itulah yang akan mengantar Indonesia menjadi kekuatan ekonomi dunia yang sejati.
Insentif untuk pendidikan tinggi
Paparan di atas menunjukkan sekuens yang jelas tetapi membutuhkan kebijakan nasional yang lebih terkoordinasi dan terintegrasi. Sementara kebijakan insentif pajak (baik dalam bentuk tax holiday, tax deduction, reduction, atau exception) telah ditawarkan oleh pemerintah kepada para investor dan pelaku dunia industri, alokasi anggaran pemerintah (APBN) berupa insentif bagi pendidikan tinggi perlu diupayakan. Itu bisa berupa kebijakan nasional (bukan diserahkan kepada daerah) untuk pembebasan pajak bumi dan bangunan dari perguruan tinggi.
Pajak penghasilan atas tunjangan sertifikasi dosen pun sangat pantas untuk dinyatakan final apalagi dibebaskan. Insentif dan fasilitasi yang mendorong penelitian, khususnya yang bersifat hilir dan aplikatif, juga menjadi pilihan kebijakan yang tepat. Hasil-hasil penelitian perguruan tinggi mestinya tak berhenti pada publikasi, prototipe, paten, atau hak cipta. Perguruan tinggi pun dapat dimungkinkan mempunyai industri atau pabrik sendiri yang dapat memanfaatkan hasil-hasil penelitian menjadi produk yang siap dilempar ke pasar.
Jika capaian semacam itu sulit diwujudkan, kolaborasi dengan dunia industri layak mendapatkan credit point yang tinggi di dalam setiap proses akreditasi AIPT 3.0. Dibutuhkan deskripsi dan pengukurun yang lebih rinci tentang korelasi antara AIPT 3.0 yang menekankan pada proses, output dan outcome pendidikan tinggi dengan Industri 4.0 yang menekankan pada efisiensi dan inovasi-inovasi produk yang berbasis pada IoT.
Mangadar Situmorang, Rektor Universitas Katolik Parahyangan
Sumber: Kompas, 4 Mei 2018