Pada bulan Desember lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan rencana pemerintah untuk melonggarkan pembatasan universitas asing dalam pendidikan tinggi di Indonesia (“Kompas”, 21/12/2017).
Meski belum ada rincian apa pun, kabar ini mengundang reaksi dari sejumlah kalangan akademisi Indonesia. Hampir setiap hari muncul artikel yang memperingatkan konsekuensi buruk bagi universitas dan mahasiswa nasional jika negara mengizinkan universitas asing masuk ke dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Reaksi berlebihan ini sulit dipahami, sebab usulan pemerintah sebenarnya sangat moderat dan masuk akal. Menurut Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, usulan yang sedang dikaji ini akan membatasi partisipasi perguruan tinggi asing (PTA) hanya dalam bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM), dan mewajibkan PTA bermitra dengan perguruan tinggi lokal (PTL). Sampai sekarang, belum ada rencana untuk mengizinkan PTA membuka kampus cabang atau melakukan investasi langsung luar negeri (FDI) di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Reformasi komprehensif
Mengapa ada sekelompok akademisi Indonesia yang begitu meragukan manfaat kemitraan dengan PTA? Salah satu fakta yang menjadi alasan jelas adalah proteksionisme akademisi yang berlangsung di Indonesia selama ini, yang menghambat kerja sama internasional antara PTA dan PTL di negeri ini. Hambatan tersebut membuat kualitas mahasiswa, dosen dan universitas kita tidak kompetitif secara global.
Menurut Survei Keterampilan Orang Dewasa dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD, 2016), kemampuan matematika dan literasi lulusan universitas di Jakarta tak jauh berbeda dengan siswa setingkat SMP di Eropa. Selain itu, belum satu pun universitas nasional masuk dalam daftar Times Higher World University Top 800 tahun ini. Hanya tiga universitas kita yang masuk dalam QS World University Ranking Top 500. Indonesia akan sangat sulit bersaing dalam kompetisi global di dalam ekonomi baru yang bertumpu pada iptek apabila negara ini tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan tingginya.
Meningkatkan kualitas pendidikan tinggi bukan pekerjaan mudah. Diperlukan upaya reformasi komprehensif, antara lain meningkatkan tata kelola, mendorong transparansi, memberikan informasi yang lebih rinci dan terbaru mengenai hasil pembelajaran siswa, memberikan insentif kepada guru besar dan dosen untuk meningkatkan keluaran riset dan mengintegrasikan kemajuan ilmiah ke dalam pengajaran mereka, memperketat kriteria akreditasi, serta memperkuat peran dunia usaha dan masyarakat sipil dalam menaikkan standar yang ada.
Apakah PTA dapat berperan dalam proses reformasi pendidikan tinggi nasional? Berdasarkan sejarah dan praktik, baik di Indonesia serta di negara Asia lainnya, ada banyak contoh di mana PTA dapat memainkan peran yang relatif kecil tetapi efektif dalam meningkatkan kualitas PTL di negara-negara tersebut.
PTA tidak akan mendirikan kampus cabang. Selain karena tidak diperbolehkan pemerintah, tetapi juga karena PTA tidak punya minat akan hal tersebut. hal ini mengingat membuka kampus cabang memerlukan investasi awal yang sangat besar. Jarang ada PTA yang berani melakukannya tanpa subsidi pemerintah setempat.
Perlu membuka diri
Kita bisa melihat pengalaman Pemerintah Qatar yang telah memberikan dukungan besar kepada 15 PTA membuka cabang di negerinya, termasuk institusi terkenal seperti Georgetown University dan University College London. Dubai International Academic City, misalnya, telah menarik lebih dari 20 mitra internasional sejak pertama kali dibuka di tahun 2007. Pendanaan Pemerintah Singapura juga berperan vital dalam pembentukan Yale-NUS, sebuah kampus “liberal arts” di bawah National University of Singapore.
Jadi dapat disimpulkan, berdasarkan alasan politik dan ekonomi, kampus cabang bukan merupakan pilihan tepat untuk PTA beroperasi di Indonesia. Jika pembatasan terhadap partisipasi PTA dapat dilonggarkan, kemungkinan besar PTL dan PTA dapat merespons dengan pembentukan kemitraan mengajar dan riset dalam bidang akademis yang dianggap paling penting bagi Indonesia.
Mengacu pada prioritas pemerintah, bidang yang kemungkinan besar akan mendapat peluang kemitraan tersebut adalah sains dan teknik.
Satu contoh yang menarik di ASEAN adalah Higher Engineering Education Alliance Program (HEEAP) di Vietnam, suatu program kemitraan antara Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Vietnam, Arizona State University di Amerika Serikat, USAID, dan Intel Corporation. HEEAP melatih lebih dari 1.000 dosen teknik Vietnam dan membantu peningkatan kurikulum di universitas nasional Vietnam untuk memperoleh akreditasi internasional. Program tersebut berhasil meningkatkan kualitas pengajaran dan riset di universitas Vietnam dan memperkuat profil internasional Arizona State University, yang diakui sebagai salah satu universitas paling inovatif di Amerika Serikat.
PTA dan PTL dapat juga berkolaborasi dalam mengembangkan materi kursus daring dalam bahasa Indonesia, terutama di bidang matematika dan iptek. Kursus matematika daring, misalnya, membuat siswa dapat belajar sesuai kecepatan mereka masing-masing, dan memberikan informasi bagi pengajar atas perkembangan siswa yang detail. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa program pendidikan digital yang dirancang dengan baik dapat menjadi lebih efektif daripada pembelajaran dengan tatap muka.
Di era perubahan teknologi yang cepat ini, tidaklah masuk akal bagi Indonesia untuk menutup diri dari inovasi pengetahuan global. Kemitraan dengan PTA tidak akan memecahkan seluruh masalah yang dihadapi oleh pendidikan tinggi di Indonesia, akan tetapi kemitraan tersebut berpotensi membantu PTL mencapai standar pengajaran dan riset yang lebih baik dan memperbaiki kualitas lulusan perguruan tinggi di Indonesia.
JONATHAN PINCUS, PRESIDEN RAJAWALI FOUNDATION DAN PENASIHAT PUSAT TRANSFORMASI KEBIJAKAN PUBLIK
Sumber: Kompas, 6 April 2018