Indonesia adalah negara kepulauan. Lautan dan perairan selalu berada di sekitar kita, bahkan lebih dominan daripada daratan. Nyanyian ”Nenek Moyangku Seorang Pelaut” ciptaan Ibu Sud menjadi ironi karena nyatanya kita agak abai terhadap laut.
Kita menganggapnya sebagai halaman belakang yang jarang ditengok meskipun lautan itu justru menjadi ”jalan raya” antarpulau. Pendidikan di bidang kemaritiman mengalami imbas dari persepsi tersebut.
Temuan studi yang dilakukan Analytical & Capacity Development Partnership (ACDP) Indonesia—lembaga tangki pemikir sektor pendidikan lintas empat kementerian: Kemdikbud, Kemristek-Dikti, Kemenag, dan Bappenas—pada akhir tahun lalu menyimpulkan, kita sebenarnya kelebihan tenaga kerja di sektor maritim. Melawan pendapat umum selama ini, menurut studi ACDP-026 itu, saat ini tercatat 635.000 pelaut yang terdaftar di pelayaran komersial. Padahal, kebutuhan dan daya serap kegiatan kapal komersial saat ini hanya 380.000-450.000 pelaut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih detail lagi, menurut studi tersebut, Indonesia sebetulnya kelebihan perwira pelaut (tenaga kerja yang skilled dan highly skilled). Estimasi ada sekitar 38.000 perwira tersedia, tetapi kebutuhannya hanya sekitar 19.000 untuk kapal dalam negeri. Pada 2020 diestimasikan akan ada sekitar 47.000 perwira tersedia, tetapi kebutuhan hanya kira-kira 23.500 perwira.
Bom waktu
Indonesia belum memiliki informasi yang akurat dan waktu nyata mengenai pasokan dan kebutuhan tenaga pelaut untuk pelayaran komersial. Perhitungan tersebut harus memperhitungkan lima hal, yaitu jumlah kapal yang beroperasi sekarang, jumlah kapal yang sedang dibangun, rata-rata usia pelaut, durasi pelatihan wajib dan pengalaman di laut, serta sekolah pelayaran yang dilengkapi dengan data tingkat penurunan karier para pelaut yang ada saat ini.
Persoalan yang akan jadi bom waktu adalah pelaut kita masih banyak yang belum memenuhi sertifikasi internasional. Hal ini akibat sistem pendidikan yang belum memadai, termasuk fasilitas pelatihan dan pengujian yang belum memenuhi persyaratan organisasi internasional seperti Standards of Training, Certification, and Watchkeeping Code (STWC) sesuai arahan Organisasi Maritim Internasional (IMO). Sertifikasi tenaga pelaut di Indonesia masih belum sempurna. Dengan standar IMO tersebut, Kemenhub baru mengakui sekitar 50 dari 250 lembaga pendidikan kelautan dari tingkat SMK hingga politeknik, sekolah tinggi atau akademi yang sebenarnya sudah diakreditasi Kemdikbud dan Kemristek-Dikti.
IMO mengakreditasi negara dan sistem pendidikannya. Risiko apabila Indonesia gagal dalam audit IMO, semua pelaut kita akan kehilangan keabsahannya sebagai pelaut. Dampaknya, pelaut asal Indonesia tidak boleh bekerja di kapal asing atau memasuki pelabuhan asing.
Oleh karena itu, menurunkan standar demi menaikkan jumlah lulusan adalah pilihan yang amat berisiko. Menurut studi ACDP, ”dispensasi” yang diberikan pemerintah hanyalah solusi sementara atas kurang tersedianya pendidikan dan pelatihan yang diakui Kemenhub. Pengoperasian kapal oleh awak yang tidak disertifikasi sesuai tugas pokok dan fungsinya akan berujung sanksi berat. Bahkan, masyarakat pelayaran global akan memboikot pelayaran di Indonesia karena dianggap tidak aman.
Padahal, sektor maritim berkontribusi 7,8-11 persen dalam PDB (2016) dan ini terus meningkat sekitar 25 persen per tahun sampai 10 tahun mendatang. Tak salah kalau Presiden Joko Widodo mencanangkan ”Poros Maritim Dunia” agar menaikkan citra dunia maritim kita.
Menko Kemaritiman yang baru ada di pemerintahan Jokowi-Kalla merupakan terobosan penting, tetapi masih belum ada gebrakan yang signifikan selain langkah Menteri Susi Pudjiastuti di Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mengamankan ikan kita.
Ada pekerjaan rumah, antara lain, setiap tahun ada sekitar 10.000 lulusan sekolah pelayaran yang memerlukan pekerjaan. Mampukah dunia usaha pelayaran menyerapnya? Masih ada peluang karena peringkat Indonesia di Indeks Kinerja Logistik di regional ASEAN masih di urutan ke-63 dari 160 negara. Kita masih di bawah Thailand, Singapura, dan Malaysia.
Tiga masalah, empat solusi
Ada tiga masalah dalam pendidikan pelayaran kita. Pertama, tidak selarasnya wewenang pendidikan yang terbagi antara Kemdikbud, Kemristek-Dikti, dan Kemenhub. Padahal, hanya lulusan yang diakui Kemenhub yang dapat bekerja sebagai pelaut karena mereka sudah mengikuti peraturan yang ditetapkan IMO sehingga berhak mendapatkan COC (sertifikat kompetensi).
Kedua, konflik kurikulum khususnya di tingkat SMK. IMO mensyaratkan satu tahun menjalani latihan di laut, sedangkan SMK dengan Kurikulum 2013 tidak memungkinkan hal itu. Beberapa SMK menawarkan ”magang di laut” selama dua minggu hingga tiga bulan yang tidak memenuhi syarat IMO.
Ketiga, ketidakcocokan antara pasokan dan kebutuhan tenaga pelaut. Akibat rendahnya mutu pendidikan, banyak lulusan yang belum layak COC. Kalaupun mendapatkan COC, tidak lulus tes tingkat perusahaan.
Studi ACDP tersebut memberikan beberapa opsi untuk perbaikan. Pertama, pembenahan desain pendidikan pelaut yang masih rancu tata kelola dan sistem birokrasinya. Tiga kementerian (Kemdikbud, Kemristek-Dikti, dan Kemenhub) harus duduk bersama untuk menghasilkan SK bersama lintas kementerian untuk menaikkan kompetensi lulusan SMK, politeknik, sekolah tinggi, atau akademi pelayaran. Lebih lanjut, Direktur Pembinaan SMK di Kemdikbud, yang menurut Inpres No 9/2016 jadi motor perbaikan mutu SMK, segera mengajak mitra di Kemenhub dalam Pokja Revitalisasi SMK.
Kedua, bekukan SMK atau pendidikan tinggi yang tidak memenuhi syarat IMO agar mutu lulusan pelaut terjaga.
Ketiga, mendesain ulang program pendidikan pelaut agar memenuhi syarat satu tahun pelatihan di laut. Jika perlu, ada SMK yang berjalan empat tahun untuk keperluan tersebut.
Keempat, pemerintah, dalam hal ini Kemenhub, melakukan pre-audit terhadap semua lembaga pendidikan pelaut, mulai dari tingkat SMK sampai perguruan tinggi, untuk antisipasi audit resmi IMO. Kebijakan memberikan ”dispensasi” kepada lulusan yang sebenarnya belum kompeten sesuai standar COC selama ini sangat berisiko terhadap dunia pelayaran Indonesia.
Kita harus mendukung penuh upaya pemerintah dalam meningkatkan sektor kelautan atau maritim dalam pembangunan ekonomi nasional. Mutu SDM di sektor pelayaran komersial menjadi salah satu masalah yang harus dipecahkan. Kebiasaan menutup mata terhadap lulusan sekolah atau akademi pelaut hendaknya dihentikan karena hal itu berbahaya bagi masa depan dunia kemaritiman Indonesia.
TOTOK AMIN SOEFIJANTO, WAKIL REKTOR AKADEMIK DAN KEMAHASISWAAN; DIREKTUR RISET PARAMADINA PUBLIC POLICY INSTITUTE (PPPI)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul “Peliknya Pendidikan Maritim Kita”.