Kriteria Penampakan Hilal untuk Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal

- Editor

Rabu, 7 Juni 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

BERPUASALAH karena rukyat (melihat) hilal dan berbukalah karena melihatnya pula, jika tertutup hilal (Ramadhan) atasmu, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban 30 hari. (H B. Bukhary dan Muslim)

Kutipan hadits Nabi Muhammad SAW ini menunjukkan, umat Islam harus memulai ibadah shaum dalam bulan Ramadhan setelah melihat hilal dan mengakhirinya juga setelah melihat hilal. Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana hilal bisa dilihat. Dari artikel Kontroversi Sekitar Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal di halaman 9 harian ini disinggung, meskipun hasil perhitungan (hisab) menunjukkan saat Matahari terbenam Bulan masih berada di atas ufuk (horison), namun belum tentu hilal dapat dilihat walaupun dalam keadaan langit cerah. Melihat hilal (rukyat) memang bukan pekerjaan mudah karena banyak faktor mempengaruhi penampakan hilal, seperti kemampuan mata manusia, kecerlangan langit senja, paralaks horizon, refraksi angkasa, kedalaman horison (DIP), jarak sudut antara Bulan-Matahari dan ketinggian Bulan di atas ufuk.

Kemampuan mata manusia melihat suatu obyek akan berbeda dari satu orang dengan yang lainnya, tetapi untuk mata normal perbedaan ini sangat kecil. Walaupun demikian kemampuan mata manusia bisa melihat juga harus diperhitungkan. Kecerlangan langit senja juga akan mempengaruhi pengamatan hilal, kondisi langit yang redup akan memberikan kesempatan mata manusia dapat melihat hilal dengan baik. Kondisi langit yang redup itu terjadi pada saat Matahari terbenam, karena itu untuk dapat melihat hilal dengan baik diperlukan pengetahuan cara penentuan waktu Matahari terbenam. Pengaruh kecerlangan langit senja dalam pengamatan hilal akan dapat diperkecil apabila beda sudut antara Bulan dan Matahari cukup besar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selain pengaruh kecerlangan Iangit senja, juga paralaks horison akan mempengaruhi penampakan hilal. Paralaks horison ini disebabkan karena adanya perbedaan acuan dalam penentuan posisi benda-benda langit yang menggunakan pusat bumi sebagai acuannya dan posisi pengamat yang ada permukaan Bumi. Perbedaan acuan antara pusat Bumi dan permukaan Bumi ini tidak berpengaruh dalam pengamatan benda langit yang jauh seperti bintang, akan tetapi untuk pengamatan benda langit yang dekat seperti Matahari dan Bulan, efek paralaks horison sangat berpengaruh.

Sebagai contoh koreksi paralaks horison untuk Matahari adalah sekitar 9” (sembilan menit busur), tetapi untuk Bulan, bisa mencapai 1 (satu) derajat.

Dalam perjalanan ke permukaan Bumi, cahaya benda-benda langit akan melewati angkasa Bumi. Angkasa Bumi bersifat membiaskan atau merefraksikan cahaya, dan akibatnya pengamat di Bumi akan melihat benda langit lebih tinggi dari seharusnya. Efek refraksi angkasa Bumi ini akan semakin besar didekat horison yaitu sekitar 34 menit busur.

Dalam pengamatan hilal, ketinggian pengamat dari permukaan laut mempengaruhi pengamatan. Pengamat yang berada pada lokasi lebih tinggi, akan mempunyai ufuk (horison) pengamat lebih dalam daripada pengamat yang berlokasi di tempat lebih rendah. Akibatnya, pengamat di tempat lebih tinggi mempunyai kesempatan lebih lama mengamati benda langit yang berada di sekitar ufuk. Dengan demikian kedalaman horison akan mempengaruhi penampakan hilal.

Yang palin berpengaruh dalam penampakan hilal adalah basar jarak sudut antara Bulan dan Matahari serta ketinggian hilal di atas ufuk pada saat Matahari terbenam (lihat gambar 1). Berdasarkan data pengamatan hilal yang dilakukan selama bertahun-tahun, orang Babilonia kuno menyimpulkan biasanya hilal mulai dapat dilihat setelah umur Bulan lebih dari 24 jam setelah konjungsi. Dengan pengandaian Bulan dan Matahari terpisah dalam bujur langit dengan kecepatan satengah derajat per jam, maka kriteria Babilonia untuk menentukan awal bulan ini dapat diperjelas sebagai berikut: Awal bulan dimulai jika beda asensiorekta antara Bulan dan Matahari sekurang-kurangnya 12 derajat. Kriteria ini masih dipakai para ahli hisab sampai abad XV.

Badasarkan hasil pengamatan orang di Yunani, Fotheringham (Mon. Not. Roy. Astron. Soc.,70, p527, 1910) menurunkan kriteria penampakan hilal berdasarkan beda azimut antara Bulan dan Matahari, dan ketinggian hilal dari horison. Kriteria Fortheringham ini kemudian diperbaiki Maunder (JBAA, 21, p355, 1911) yang selanjutnya dikembangkan lagi dalam Indian Astronomical Ephemeris, 1979. Ketiga kriteria ini diperlihatkan dalam tabel dan dari tabel ini dapat dibaca hilal akan tampak apabila tinggi Bulan dari ufuk dan beda azimut antara Bulan dan Matahari (dAz) lebih besar daripada nilai-nilai yang ada dalam tabel tersebut.

Peneliti Perancis, A. Danjon dalam tahun 1932 mengadakan penelitian terhadap hasil pengamatan Bulan sabit muda yang telah diIakukan bertahun-tahun. Danjon lalu memberikan kriteria penampakan hilal berdasarkan jarak sudut antara BuIan dan Matahari yaitu, hilaI akan tampak apabila jarak sudut antara Bulan dan Matahari lebih besar dari 7 derajat. Pada tahun 1988, hasil penelitian Danjon diperbaiki peneliti Malaysia, Ilyas, yang mengatakan hilal akan dapat dilihat apabila jarak sudut antara BuIan dan Matahari lebih besar dari 10 o,5.

Konferensi Kalender Islam di Istanbul pada tahun 1976 yang juga diikuti utusan Indonesia, menetapkan kriteria penampakan hilal sebaggal berikut: Awal bulan dimulai jika jarak busur antara Bulan dan Matahari lebih besar dari 8o dan tinggi Bulan dari ufuk pada saat Matahari terbenam lebih besar dari 5o.

Dari pembicaraan di atas tampak, tidak ada kriteria jelas mengenai kapan tepatnya hilal dapat dilihat dengan mata bugil. Akan tetapi dari kriteria tersebut dapat disimpulkan hilal hanya dapat dilihat apabila ketinggiannya di atas horison lebih besar dari 5o.

Kriteria Indonesia
Sekarang bagaimana kriteria yang dianut di Indonesia? Secara langsung, Departemen Agama RI (Depag) memang belum menetapkan kriteria penampakan hilal, namun dari pengalaman yang lalu tampaknya Depag menggunakan kriteria tinggi hilal minimal 2o di atas ufuk mar-ie sebagai patokan awal bulan dan dengan prinsip penggabungan hisab dan rukyat, maka meskipun tinggi hilal kurang dari 2o, jika ada laporan keberhasilan rukyat yang sah maka akan dijadikan patokan untuk penetapan awal bulan.

Sebagai contoh pada tahun 1970 Depag menetapkan tanggal 31 Oktober 1970. Penetapan ini berdasarkan laporan terlihatnya hilal pada saat Matahari terbenam tanggal 30 Oktober 1970(lihat Almanak Hisab Rukyat yang diterbitkan Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam tahun 1981). Apablla ditelusur kembali posisi Bulan saat itu yaitu tanggal 30 Oktober 1970, maka didapatkan ketinggian Bulan adalah 0o,22 (13″,2). Menurut kriteria yang diberikan peneliti seperti disebutkan di atas, dengan posisi Bulan seperti itu, hilal tidak mungkin dapat dilihat, akan tetapi ternyata ada pengamat hilal di Indonesia yang melaporkan melihat hilal sehingga pemerintah menetapkan awal Ramadhan jatuh pada 31 Oktober 1970.

Kalau pada saat itu hilal benar-benar dapat dilihat, memang sangat mangagumkan, karena orang-orang dari negara lain tidak ada yang bisa melihat hilal pada ketinggian itu, dan juga dari segi ilmu pengetahuan hal ini sangat mustahil, karena berdasarkan kriteria astronomi, bulan sabit terkecil yang dapat dilihat dengan mata bugil normal adalah apabila cahayanya sudah mencapai 1 persen dari total cahaya Bulan dan hal ini terjadi pada saat ketinggian Bulan mencapai sekitar 7 derajat di atas ufuk pada saat Matahari terbenam.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, adalah, apakah yang dilihat pengamat hilal tersebut benar-benar hilal? Banyak kemungkinan terjadi, karena mungkin saja yang dilihat tersebut hanya sinar pantulan cahaya Matahari pada awan, atau hanya sugesti karena tenpengaruh hasil hisab, dan banyak lagi kemungkinannya.

Sebenarnya banyak cara untuk membuktikan kebenaran laporan si pengamat. Sebagai contoh si pengamat tersebut diminta menggambarkan bentuk hilal yang dilihatnya. Karena laporan dari pengamat hilal yang dapat diterima harus berasal dari sekurang-kurangnya tiga pengamat yang melihat, maka
jika gambar hilal yang dibuat ketiga pengamat tersebut berbeda, laporannya kemungkinan besar tidak benar. Meskipun pengamat tersebut mengamati pada lokasi babeda, namun jika perbedannya tidak terlalu jauh, misalkan antara Surabaya dan Jakarta, maka gambamya tetap tidak berbeda jauh, apalagi kalau lokasi pengamatannya sama. Jika ternyata gambamya sama, maka yang harus diperiksa adalah orientasi sabitnya, karena hilal akan mempunyai orientasi dan posisi khas relatif terhadap Matahari dan titik Barat.

Alat bantu
Dari pembicaraan di atas tampak bagaimana kompleksnya melihat hilal. Akhir-akhir ini dibicarakan berbagai kemungkinan menggunakan alat bantu untuk melihat hilal, di antaranya dengan menggunakan teropong inframerah dan sinar laser. Apakah alat bantu ini dapat memecahkan persoalan dalam melihat hilal?

Saya rasa meskipun digunakan alat canggih apa pun tidak akan memecahkan persoalan, karena persoalannya terletak dalam perbedaan konsep dan keyakinan, selain itu dengan digunakannya alat baru kemungkinan akan muncul persoalan baru. Sebagai contoh, kalau digunakan teleskop inframerah, yang akan terekam teleskop bukan hanya hilal-nya saja, tetapi keseluruhan Bulan akan terekam.

Seperti dibicarakan di atas, yang menjadi masalah adalah bagaimana melihat hilal yang kecerlangan cahayanya kurang 1 persen dari keseluruhan total cahaya bulan pumama, karena hilal dengan kecerlangan lebih dari 1 persen bisa dilihat dengan mata bugil. Jadi karena cahaya hilal tersebut sangat lemah, maka apabila dilihat dengan teropong inframerah, maka cahaya di sekitar hilal yang sangat lemah yang berasal dari bagian bulan yang gelap (bagian bulan yang gelap, tidak pernah benar-benar gelap) akan ikut tampak. Masalah baru sekarang muncul, apakah penampakan hilal seperti itu dapat diterima umat atau tidak, karena sekarang yan terlihat bukan lagi hilal, tetapi bulan secara keseluruhan.

Selain itu persoalan lain adalah, apakah juga penggunaan alat seperti teropong inframerah dapat diterima atau tidak, apalagi jika teropongnya menggunakan detektor lain, seperti kamera dengan monitornya dan apalagi jika menggunakan teknik pengolahan citra sehingga yang dimunculkan hanya bagian hilalnya saja.

Jika menggunakan sinar laser untuk membuktikan keberadaan hilal, juga masalahnya sama. Karena menurut apa yang saya dengar, cara membuktikannya adalah dengan menembakkan sinar laser ke bulan, kemudian pantulannya dideteksi. Jika hal ini yang akan dilakukan, persoalan yang akan muncul adalah bagaimana meyakinkan orang, yang ditembak laser tersebut benar-benar Bulan. Selain itu juga bagi masyarakat yang bersiteguh dengan hadits, sudah tentu tidak akan menerimanya, karena dalam hadits dikatakan melihat hilal, artinya harus ada visualisasinya secara langsung.

Dari pembicaraan di atas, dapat dilihat dengan alat canggih apa pun belum bisa mamecahkan kontroversi penampakan hilal. Dan yang paling utama dalam penggunaan alat canggih ini apakah para akhli hisab dan rukyat bisa menerimanya. Dalam hal ini penulis mempunyai pengalaman, yaitu mamasyarakatkan penggunaan komputer untuk menghitung saat terjadi konjungsi. Ternyata walaupun hasilnya jelas-jelas lebih akurat, tetapi masih sukar dapat diterima para ahli hisab dan mereka masih tetap bersiteguh mempertahankan cara perhitungan tradisional. Karena itu penggunaan alat canggih ini harus dipikirkan masak-masak, jangan sampal biaya yang dikeluarkan sia-sia seperti halnya teropong untuk pengamatan hilal yang ada di Pelabuhan Ratu.

Departemen Agama
Sebenarnya yang paling bisa berperan dalam memecahkan masalah penampakan hilal ini, dan yang bisa menyatukan berbagai pendapat mengenai penentuan awal bulan hijriyah, terutama awal Ramadhan dan Syawal adalah Departemen Agama.

Dalam hai ini Departemen Agama harus mulai mengorganisir peneiitian menentukan kriteria penampakan hilal di Indonesia dengan melibatkan ahli, muiai dari hisab rukyat, astronomi dan lainnya. Jadi bukan hanya melalui seminar saja.

Hal ini sangat penting, karena berdasarkan hasil perhitungan saat terjadinya konjungsi sampai tahun 2000 nanti posisi bulan saat matahari terbenam, akan selalu mengundang terjadi kontroversi dalam penentuann awal bulan Ramadhan atau Syawal. Mari menunggu tanggapan dari penentuan awal Ramadhan dan Syawal 1415 ini. Wallahu a’lam bishshawaab.

(Djoni N. Dawanas, staf Jurusan Astronomi dan Observatorium Bosscha ITB, dan Purwanto alumnus Jurusan Astronomi, ITB)

Sumber: Kompas MINGGU, 29 JANUARI 1995

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 13 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB