PADA bulan Juli 1999 yang lalu The MIT Press di Cambridge, Mass, Amerika Serikat, menerbitkan The MIT Encycloipedia of the Cognitive Sciences disunting oleh Robert A Wilson dan Frank C Keil. Yang dimaksud dengan cognitive sciences atau ilmu pengetahuan kognitif ialah ilmu tentang akal budi dan proses mental manusia. Ensiklopedia yang memuat 471 entri itu mencakup enam bidang ilmu pengetahuan kognitif, yakni (istilah aslinya tidak diterjemahkan) (1) computational intelligence, (2) culture, cognition, and evolution (3) linguistics and language, (4) neuroscience, (5) philosophy, (6) psychology.
Di antara topik-topik yang dibahas, di samping tokoh-tokoh ilmu dalam bidang-bidang itu, terdapat behavior-based robotics, mobile robotics, cultural relativism, animal communication, phonology, code switching, pragmatics, neurobiology of consciousness, structure from visual information sources, logic, ethics and evolution, taste, mental models, dan sebagainya –bidang-bidang yang di negeri kita tidak pernah disadari mempunyai inti masalah bersama, yakni akal budi dan mental manusia, dan yang tidak pernah menjadi pembahasan dialogis para ahli ilmu di Indonesia. Bahkan yang namanya ilmu pengetahuan kognitif belumlah menjadi bagian kosa kata ilmiah sehari-hari di negeri kita.
Jelas buku sejenis itu mamperlihatkan betapa dewasa ini batas-batas ilmu menjadi sangat kabur dan memperlihatkan trend terbalik yang masih dianut banyak orang di negeri kita yang gemar mengkotak-kotakkan bidang ilmu, yang mencari pembenaran pada apa yang disebut ”pohon ilmu” yang dibawa-bawa pula ke struktur birokrasi pendidikan. Bila ada yang akan meneliti sesuatu, pertanyaan pertama ialah ”topik ini masuk bidang apa?”, dan bukannya apa persoalannya dan bagaimana kemungkinan memecahkannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih parah dari itu, suatu cabang ilmu sering diklaim oleh seorang tokoh sebagai bidangnya dan bukan bidang orang lain, sehingga di perguruan tinggi kita banyak bertahta raja-raja kecil yang menutup diri bagi dialog antar-ilmu dan yang pada akhimya membawa kebuntuan pada pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi. Ternyata kecenderungan semacam itu ditemukan juga di banyak perguruan tinggi di luar negeri.
BATAS di antara pelbagai ilmu menjadi perhatian banyak ilmuwan selama ini, dan tidak kurang dari badan internasional seperti UNESCO yang berusaha memberi jalan dengan memberi tugas pada ilmuwan besar Jean Piaget untuk memberikan pendapatnya. Dalam laporannya pada tahun 1960 sarjana Swiss itu membagi ilmu pengetahuan atas, (1) ilmu pengetahuan formal, yang mencakup matematika dan logika simbolik, (2) ilmu pengetahuan alam, dan (3) ilmu pengetahuan kemanusiaan.
Di luar itu, penulis mencatat belasan klasifikasi ilmu pengetahuan menurut para pemikir sejak zaman purba hingga zaman modern ini, seperti klasifikasi yang dibuat oleh Muhammad al Khwarizmi, St Isidorus, Francis Bacon, dan Samuel Coleridge. Banyak di antara para pemikir tidak menggolong-golongkan ilmu, melainkan topic-topik yang dibahas, seperti yang dilakukan oleh Aristoteles, Ibn Qutaiba, Alfred North Whitehead, dan Ludwig Wittgenstein. itu pula yang ditampilkan dalam beberapa buku rujukan, seperti Roget’s Thesaurus Encyclopedia Britannica, dan Multimedia Encyclopedia. Namun, kita tahu bahwa tidak ada satu pun perguruan tinggi di dunia ini yang mengikuti pembagian ilmu itu. Tidak terkecuali di Indonesia, klasifikasi ilmu yang diwujudkan secara birokrasi dalam jurusan atau fakultas di perguruan tinggi, biasanya didasarkan pada tiga hal, yakni administrasi, politik, atau retorik.
Pembagian jurusan atau fakultas atas dasar administrasi sudah lazim seperti sekarang ini. Itu sebabnya tidak dipersoalkan, misalnya, apakah ilmu ekonomi merupakan ilmua sosial atau bukan, sehingga fakultas ekonomi selalu lepas dari fakultas ilmu sosial. Keluarnya jurusan antropologi dari fakultas sastra dan masuknya ke fakultas ilmu sosial (dan ilmu politik) pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Nugroho Notosutanto lebih didasarkan pada pertimbangan politik. Salah satu perguruan tinggi yang mempertahankan keberadaan jurusan antropologi di fakultas sastra ialah Universitas Gadjah Mada (Catatan: penggunaan nama “fakultas ilmu sosial dan ilmu Politik” menyiratkan seolah-olah ilmu politik tidak tergolong ilmu sosial). Digolongkannya ilmu hukum sebagai iImu pengetahuan budaya didasarkan semata-mata atas dasar retorik, yakni oleh Prof Harsja Bachtiar yang mengusulkannya tanpa kertas kerja ilmiah apa pun, yang anehnya diterima begitu saja oleh beberapa program pascasarjana tanpa kritik.
KLASIFIKASI ilmu tentulah tidak sama dan sebangun dengan pembagian fakultas atau jurusan di sebuah perguruan tinggi. Pengembangan ilmu mempersyaratkan pandangan jauh ke depan yang meluas dan mendalam, yang harus membuka diri bagi kemungkinan munculnya topik dan bidang baru yang belum ada labelnya, atau tumbuhnya bidang-bidang yang menafikan sekat-sekat yang selama ini ditegakkan orang. Tiadanya batas cakrawala akal budi manusia yang memungkinkan ilmuwan menciptakan bidang apa pun –khususnya dalam ilmu pengetahuan budaya– diungkapkan secara bernas oleh Ferdinand de Saussure pada awal abad ini, bahwa ”Sudut pandang menciptakan obyek penelitian”.
Lain lagi dengan fakultas atau jurusan: penamaan ilmu yang melekat harus dianggap sebagai label praktis semata. Sebagai unit manajerial dan administratif dewasa ini fakultas dan jurusan di perguruan tinggi negeri maupun swasta harus dapat menjadi wadah bagi pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak terduga arahnya itu; bersamaan dengan itu harus dikelola secara ekonomis rasional, agar sebagai unit yang efisien dapat bergerak lincah dalam persaingan untuk mencerdaskan umat manusia.
Harimurti Kridalaksana, guru besar/ koordinator ilmu pengetahuan budaya pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Sumber: Kompas, 27 Agustus 1999